Upah Buruh Bengkayang Naik 20.000, F Hukatan - KSBSI Bengkayang Berang

Sejarah yang kelam buat buruh atau pekerja di kabupaten bengkayang provinsi kalimantan barat bertepatan pada Rabu (24/11/202) Celakanya Upah buruh / Pekerja Di kabupaten Bengkayang tahun 2022 cuma naik 20.000 yang berdasarkan pada hasil rapat dewan pengupahan bertempat di ruang rapat sekretaris daerah Kabupaten Bengkayang.

yang dihadiri oleh Unsur dewan pengupahan kabupaten bengkayang seperti Sekretaris Daerah Kabupaten Bengkayang Obaja, Kepala BPS Kabupaten Bengkayang Ahmad Badar, sekretaris Dinas Koperasi, UKM, Tenaga Kerja, dan transmigrasi Kabupaten Bengkayang Edward Haris, Kabid Ketenagakerjaan Aleng, Apindo Bengkayang Zakarias, perwakilan dari Institut Shanti Buana, SBSI, SPSI, dan Dari DPC HUKATAN KSBSI Kabupaten Bengkayang. Pasalnya UMK Bengkayang yang diusulkan oleh Dewan pengupahan Kabupaten Bengkayang sebesar Rp. 2.586.291

Reza Satriadi sebagai Ketua Dewan Pengurus Cabang F HUKATAN - KSBSI Kabupaten Bengkayang mengungkapkan rasa berduka cita sedalam-dalamnya atas hilangnya rasa keadilan untuk kaum Buruh / Pekerja, Reza Mengatakan bahwa sektor unggulan kabupaten Bengkayang adalah Perkebunan Sawit dan Pengolahan CPO, Sekarang hatga Sawit lagi bagus-bagusnya mencapai harga Rp. 3.000an.

"Tapi tak pernah dinikmati oleh Kaum Pekerja/buruh, dulu pada tahun 2021 Upah Minimun Sektoral Kabupaten Bengkayang untuk perkebunan Sawit dan Pengelolaan CPO adalah Rp. 2.930.000, tapi sekarang UMSK dihapuskan, Pasalnya terganjal Regulasi UU no 11 tahun 2020 tentang cipta Kerja atau yang kita sebut Omnibuslaw, reza Juga menyampaikan Bahwa Putusannya Sekarang bukan Putusan Final Pasalnya pada tanggal 25 November 2021 kawan-kawan dari KSBSI akan mendengarkan sidang pleno Putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan Nomor Perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020 Pokok Perkara Pembentukan uu cipta kerja dan upah. Reza meminta jika gugat dikabulkan maka Dewan Pengupahan harus menjadwalkan kembali rapat dewan pengupahan. Pada akhir rapat reza Menyampaikan tidak akan menandatangani Berita acara Rapat dewan pengupahan ini, karna baginya ini sangat menyakiti hati para Pekerja/buruh," tutur Reza.

( Sumber : BengkayangPost) 

Asal-Usul Pekong Sam Po Kong Sungai Raya

Dari kejauhan terlihat sebuah bangunan tepat di kaki gunung di pinggir jalan raya yang tampak megah disinari mentari pagi. Walaupun warnanya sudah agak kusam, tetapi bangunan tersebut masih menjadi sebuah tempat beribadah yang layak bagi agama penganutnya. Bangunan tersebut terletak di Desa Sungai Raya, tepatnya di Dusun Pembangunan. Bangunan itu terkenal dengan sebutan “Pekong Kaki”. Sejarah bangunan Pekong Kaki sudah berusia ratusan tahun. Berawal dari seorang tokoh bernama Sam Po Kong. Konon, orang tersebut mempunyai kesaktian yang sangat luar biasa.

Menurut legenda, sewaktu beliau berangkat dari negeri Tiongkok, Sam Po Kong berlayar bersama cucunya menuju bumi nusantara. Dalam pelayaran, Sam Po Kong bersama cucunya berlayar bukan menggunakan sebuah kapal ataupun perahu layar tetapi mereka menaiki sebuah lesung yang amat besar. Lesung tersebut dijadikan seperti perahu layar umumnya. Mereka pun mulai berlayar dan mengarungi samudera menggunakan lesung tersebut.

Selang beberapa waktu pelayaran, tibalah mereka di pulau Kalimantan.

“Bagaimana kita akan melewati dataran tersebut sedangkan kita jauh dari laut dan tidak melewati sungai?” tanya sang cucu.

“Cucuku kamu tenang dan jangan khawatir. Kamu turuti saja perintah kakek dan jangan sekali-kali kamu melanggarnya.” Jawab sang kakek.

Lalu cucunya kembali bertanya, “Apakah gerangan yang harus saya lakukan kek?”

“Kamu pejamkan saja matamu dan jangan buka sampai kakek memerintahkan untuk membukanya!” perintah sang kakek.

Lalu si cucu pun memejamkan matanya sehingga ia tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Setelah itu, sang kakek langsung menerbangkan lesung yang mereka kendarai menggunakan kesaktian yang ia miliki.

Selang beberapa waktu, timbul rasa penasaran di dalam benak sang cucu untuk mengetahui apa gerangan yang sedang terjadi. Tanpa sepengetahuan sang kakek si cucupun membuka matanya. Alangkah terkejutnya ia setelah mengetahui sebuah peristiwa yang aneh sedang berlangsung di dalam perjalanannya dengan sang kakek. Sang cucu merasa sangat terkejut karena perahu yang mereka gunakan untuk berlayar tadi kini sedang terbang di udara.

Karena cucu Sam Po Kong telah melanggar perintah sang kakek, maka apa yang ditakutkan Sam Po Kong pun terjadi. Lesung yang mereka tumpangi tiba-tiba saja jatuh sehingga sang kakek secara spontan melompat dari lesung dan jatuh tepat di atas bongkahan batu besar (Gunung Bunga/Gunung Gosong). Teringat akan cucunya yang masih ada di dalam lesung, Sam Po Kong pun berusaha untuk menahan lesung agar tidak hancur karena terhempas ke tanah.

Sam Po Kong berpijak sangat kuat disebuah batu. Saking kuatnya menahan lesung. Kini batu bekas pijakan meninggalkan bekas berbentuk telapak kaki Sam Po Kong. Setelah berhasil menyelamatkan cucunya, Sam Po Kong dan cucunya kembali melanjutkan perjalanan melalui sungai (Sungai Raya) melewati Selat Karimata dan menuju ke Pulau Jawa.

Untuk mengenang peristiwa tersebut maka didirikanlah sebuah vihara kecil atau yang kita kenal dengan nama pekong. Nama Pekong Kaki digunakan karena di tempat tersebut terdapat sebuah batu besar yang berbekas telapak kaki Sam Po Kong. Menurut kepercayaan orang-orang Tionghoa, kejadian luar biasa itu dianggap sebuah keramat. Oleh sebab itu, sampai saat ini di Desa Sungai Raya setiap tanggal 10 bulan 10 kalender Imlek selalu mengadakan sebuah upacara atau peringatan hari besar yang diberi nama Hari Sam Po Kong.


Sumber : 

Pengarang

 Zulkifli, dkk

Judul

Pekong Kaki : Antologi Cerita Rakyat Sui. Raya Kepulauan

Edisi/Cet.

Cet. 1, Oktober 2016

Impresum

Pontianak : Balai Bahasa Kalimantan Barat, 2016

Kolasi

x, 140 hlm.; 21 cm

ISBN

978-602-60408-1-7

BUKAN PERJUMPAAN BIASA

Bukan Perjumpaan Biasa
Sebenarnya ini perjumpaan biasa, tapi entah kenapa aku ingin menyebutnya sebagai bukan perjumpaan biasa. Karena semua berawal dari tulisan.
Sabtu, 18 Februari 2017 kami bertemu setelah sebelumnya sempat komunikasi via facebook.
Aku mengenal Reza dari temanku, Fauzi. Mereka berteman dalam organisasi. Aku dan Fauzi sering ngopi bareng, kadang di Warkop Sahabat, Warkop Timur Tengah, dan Warkop Alam Gemilang.
Reza cerita pernah membaca beberapa catatanku di facebook, terutama yang menyangkut Karimunting. Kulihat profilnya dia pernah sekolah di MTs YPPU Karimunting. Tempat dimana aku juga pernah sekolah di sana. Berarti kami satu kampung, dan satu almamater. Aku alumni 90-an, dia alumni 2000-an.
Setelah janjian siangnya, maka sekitar jam 8 malam kami bertemu di Warkop Timur Tengah. Reza bersama temannya, panggilannya Beben. Rupanya dia juga bukan orang jauh. Dia berasal dari Sungai Ambawang Kubu Raya, menikah dengan perempuan Karimunting yang ternyata cucu dari (alm.) Mbah Marna. Sedangkan Mbah Marna merupakan adik dari nenekku, (almh.) Mbah Fatimah.
Kami cerita tentang banyak hal. Tentang masa kecil di Karimunting. Tentang guru, tentang tetangga, tentang kawan-kawan, dan tentu tentang Karimunting. Desa di pesisir Bengkayang yang suasana alamnya pematang mirip Belitung, Bumi Laskar Pelangi itu.
Karimunting memang terlalu manis untuk dilupakan. Wajah tulus guru-guruku. Tawa riang teman-temanku. Deburan ombak di tepi pantai. Semilir angin di kala sore. Klakson mobil di jalan raya. Iring-iringan anak muda bersepeda berangkat sekolah. Guyuran hujan di musim durian. Suara pungguk di bulan purnama. Desiran air sungai saat dilalui kayu rakit. Bahkan bunyi kelapa jatuhpun mengingatkanku pada Karimunting. Bagiku Karimunting bukan sekedar kenangan masa lalu, tapi juga masa kini dan masa yang akan datang. Karimunting memang sering hadir dalam mimpiku. Sampai saat ini. Karimunting tumpah darahku.
Empat tahun lalu, saat aku bekerja di Kota Singkawang. Hari itu persis tanggal lahirku. Aku naik bis antarkota dari Singkawang ke Karimunting. Duduk di pasar. Menumpahkan kerinduan. Dan kembali lagi ke Singkawang.
Karimunting. Di sana tempat lahir beta. Tembuniku ditanam di sana.
Masihkah buahmu yang manis itu?

#Penulis Subro

Biografi J.C. Oevaang Oeray

Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray atau yang lebih dikenal dengan J. C. Oevaang Oeray merupakan salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat. Ia lahir pada tanggal 18 Agustus tahun 1922 di Tanjung Kuda, desa Melapi I, Kabupaten Kapuas Hulu. 

       Ayah dan ibunya bernama Ledjo dan Hurei yang beragama Khatolik. Kedua orangtuanya berasal dari suku Dayak yang bekerja sebagai penoreh karet dan petani ladang berpindah. Ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Saudaranya yang lain adalah Ding Oeray, Mering Oeray dan Tepo Oeray. Sejak kecil Oevaang Oeray telah menunjukkan semangat yang tinggi bagi diri dan bangsanya untuk terlepas dari kehidupan yang tertinggal. Ia mempunyai sikap tidak mudah berputus asa dan berpandangan luas. Penampilannya sederhana, ramah, ulet, berjiwa sosial dan suka menolong siapa saja yang memerlukan bantuannya. Keinginan untuk maju menjadi tekad utamanya karena ia tidak ingin kehidupannya, baik secara pribadi maupun sukunya tetap tertinggal di mata bangsa penjajah Belanda. Oevaang Oeray mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) yang ada di desanya. Setelah menyelesaikan sekolah rakyat selama enam tahun, ia melanjutkan ke Sekolah Guru dan Sekolah Seminari Nyarumkop selama 6 tahun. Setelah tamat dari Sekolah Seminari, ia sempat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pastor. Tetapi karena terjadi perbedaan pendapat antara dirinya dengan salah seorang Pastor Belanda, maka ia dihukum dan tidak diperbolehkan meneruskan sekolah Pastornya. 

           Sejak masih bersekolah di Seminari Nyarumkop, Oevaang Oeray sudah mempunyai pemikiran untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat Dayak melalui perjuangan politik. Pada tahun 1941, ia pernah menulis surat kepada para guru sekolah-sekolah Katholik se-Kalimantan Barat yang sedang mengadakan retreat tahunan di Sanggau untuk mengajak mereka peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak. Pemikirannya tersebut disambut baik oleh peserta retreat yang pada waktu itu dipimpin oleh tokoh-tokoh guru Khatolik seperti A.F. Korak, J. R. Gilling dan M. Th. Djaman. Dari pertemuan tersebut berhasil dicetuskan suatu kebulatan tekad yang menyatakan bahwa seluruh peserta retreat bersepakat memperjuangkan nasib masyarakat Dayak melalui perjuangan politik. 

                Peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari pertumbuhan Partai Persatuan Dayak (PD), yang sebelumnya didahului dengan kelahiran Dayak In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 30 Oktober 1945 di Putussibau di bawah pimpinan F. C. Palaunsuka, salah seorang guru sekolah rakyat. Pertumbuhan organisasi Dayak In Action (DIA) yang kemudian menjadi Partai Persatuan Dayak (PD) mengalami perkembangan, dimana pada setiap benua atau desa dibentuk komisariat yang kedudukannya disejajarkan dengan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Akibat perkembangan politik yang meningkat, maka pada akhir Desember 1946, Partai PD mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan keputusan untuk memindahkan kedudukan partai dari Putussibau ke Pontianak. Kemudian melalui keputusan musyawarah bersama pada tanggal 1 Januari 1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD. Setelah menyelesaikan sekolahnya, Oevaang Oeray bekerja sebagai guru di kampungnya. Kemudian beliau diangkat menjadi pegawai negeri. Pekerjaan ini terus dilakukannya sampai kedatangan bangsa Jepang di Kalimantan Barat. Ia mempersunting Bernadetha Boea, seorang gadis dari desanya sendiri. Ia dan istrinya beberapa kali berpindah tempat tinggal karena berbagai tugas yang diembannya. 

                Sampai akhir hayatnya, Oevaang Oeray dan istrinya belum dikaruniai anak sehingga mereka mengambil anak angkat yaitu David Dungo Ding, Anna Maria dan Hubertus Tekuwan. Pada tahun 1946, ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan selama satu tahun di MOSVIA (Meddelbare Opleiding School Voor Indische Amtenaar) atau sekolah Pamong Praja di Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah selesai mengikuti pendidikan di MOSVIA, ia kembali ke Kalimantan Barat. 

                Pada tanggal 12 Mei 1947, Komisaris Jenderal Van Mook menandatangani Statuut Kalimantan Barat, dimana Karesidenan Kalimantan Barat berubah menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), dengan Kepala Daerah Sultan Hamid II dan wakilnya Mansyur Rifai. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Daerah dibantu oleh badan yang disebut Dagelijk Bestuur atau Badan Pemerintah Harian (BPH), yang terdiri dari Oevaang Oeray, A. F. Korak, Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun dan H. M. Sauk. Dengan diangkatnya Oevaang Oeray sebagai anggota BPH pada pemerintahan DIKB, maka sejak tanggal 12 Mei 1947, A. Djelani diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Dayak DIKB dan sekaligus sebagai Ketua Umum Partai PD menggantikan Oevaang Oeray. 

      Upaya Belanda membentuk DIKB mendapat tentangan keras dari berbagai organisasi politik yang ada di Kalimantan Barat. Mereka menilai dengan dibentuknya DIKB merupakan suatu usaha Belanda untuk menjauhkan rakyat Kalimantan Barat dari pemerintah Republik Indonesia. Pihak republiken menganggap bahwa perubahan status Kalimantan Barat menjadi DIKB merupakan suatu perjanjian politik (Politik Kontrak) antara Sultan Hamid II dengan Belanda. Dengan demikian berarti Belanda mengakui DIKB dengan pemerintah sendiri dan mengakui pula Dewan Kalimantan Barat (DKB) sebagai penyelenggara kekuasaan tertinggi. 

           Pada tanggal 23 Maret 1948, di Pontianak diadakan pemilihan anggota DKB untuk seluruh daerah Kalimantan Barat. Dari hasil pemilihan, suara terbanyak diperoleh dokter Soedarso dan Mansyur Rifai. Tetapi, karena dokter Soedarso masih berada di dalam penjara maka kedudukannya digantikan oleh Mansyur Rifai. Kemudian pada tanggal 12 Mei 1948, diumumkan susunan anggota DKB baru yang anggotanya ada yang diangkat oleh pemerintah DIKB dan ada yang dipilih. 

          Anggota DKB yang diangkat adalah Oevaang Oeray, Lim Bak Meng, Muhammad Saleh dan W. N. Nieuwenhuysen. Anggota DKB dari Swapraja yang diangkat oleh pemerintah adalah Tengku Muhammad, Ade Djohan dan Gusti Ismail. Sedangkan anggota DKB hasil pemilihan adalah F. C. Palaunsuka, Mansyur Rifai, Tio Khian Sun dan F. Bradenburg Van der Groden. Pembentukan DIKB dan DKB mendapat tentangan dari masyarakat dan berbagai organisasi politik seperti Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Persatuan Buruh Indonesia (PBI) dan Partai Rakyat Indonesia (PRI). Ketiga organisasi tersebut sangat mencela tindakan Sultan Hamid II yang telah menandatangani status itu. 

         Pada tanggal 26 November 1949, anggota-anggota GAPI yang berhaluan keras mendirikan Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) untuk menentang adanya DIKB dan DKB. Mereka mempunyai keinginan agar Kalimantan Barat bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan sebagai sebuah negara bagian. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, KNKB melakukan aksi pemogokan umum bersama-sama dengan buruh, pegawai pemerintah maupun swasta. Akibat aksi tersebut, ketenangan umum dan aktifitas perekonomian menjadi terganggu. Untuk memulihkan keadaan akibat aksi mogok umum tersebut, Pemerintah DIKB kemudian menangkap ketua KNKB, S. H. Marpaung beserta pengurus lainnya yang dianggap sebagai penggerak aksi pemogokan. 

        Pada tanggal 12 Maret 1950, Komisaris Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diwakili oleh Mr. Indra Kusuma dan M. Soeparto tiba di Pontianak. Kedatangan mereka untuk menangani ketegangan antara KNKB dengan pemerintah DIKB. Komisaris RIS kemudian mengadakan tatap muka dengan pemerintah DIKB dan KNKB. Perundingan berjalan dengan tegang karena pada prinsipnya KNKB tetap mempertahankan tuntutannya yang menginginkan Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perundingan antara pemerintah DIKB – Komisaris RIS - KNKB dilaksanakan kembali pada tanggal 17 Maret 1950. Perundingan yang kedua tersebut menghasilkan keputusan bahwa akan segera dibentuk sebuah Komisi oleh Menteri Dalam Negeri RIS yang akan membuat peraturan pemilihan anggota DKB. 

            Anggota Komisi tersebut beranggotakan 7 orang dengan perincian 3 orang dari DKB, 3 orang dari KNKB dan 1 orang dari RIS yang akan menjadi ketua Komisi. Berdasarkan hasil keputusan perundingan tanggal 17 Maret 1950 di atas, Menteri Dalam Negeri RIS kemudian membentuk suatu Komisi untuk pemilihan anggota DKB yang anggotanya terdiri dari Mr. R. Suwanjo dari RIS sebagai ketua Komisi, Oevaang Oeray, Ade Muhammad Djohan, Tio Khian Sun dari DKB dan S. H. Marpaung, Uray Bawadi dan Djenawi Tahir dari KNKB. 

          Pada akhirnya Komisi tersebut tidak berhasil menetapkan waktu pelaksanaan pemilihan anggota DKB yang baru karena antara KNKB dan DKB yang lama terjadi perbedaan pendapat mengenai waktu pemilihan, dimana KNKB menghendaki agar pemilihan anggota DKB yang baru dilaksanakan secepatnya sementara DKB yang lama meminta waktu selama tiga bulan untuk melaksanakan pemilihan DKB yang baru tersebut. 

             Di tengah-tengah kesibukan dan ketegangan perundingan antara KNKB dan DKB, kemudian terdengar berita mengenai penangkapan Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara RIS, yang dianggap terlibat dalam peristiwa Westerling pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung dan menyerbu sidang Dewan Menteri pada tanggal 24 Januari 1950. Sultan Hamid II ditangkap pada tanggal 5 April 1950. Dengan tertangkapnya Sultan Hamid II maka DIKB dan kerajaan-kerajaan Swapraja yang ada di Kalimantan Barat dinyatakan bubar. 

          Setelah DIKB dianggap bubar maka terhitung sejak tanggal 17 Agustus 1950, Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan bergabungnya Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka secara otomatis daerah Kalimantan Barat mengikuti peraturan dan kebijakan dari pemerintah pusat Republik Indonesia. Dalam bidang politik, pemerintah pusat menyelenggarakan Pemilihan Umum yang pertama pada tahun 1955 untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif. 

         Demikian juga di Kalimantan Barat diselenggarakan Pemilihan Umum pada tahun 1955. Melalui suara Partai PD dalam Pemilu tahun 1955, Oevaang Oeray berhasil diangkat menjadi Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat dengan dasar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 59/M tanggal 17 Maret 1959. kemudian pada tanggal 22 Juni 1959, bertempat di Gedung Pertemuan Umum Kotapraja Pontianak, ia dilantik menjadi Kepala Daerah oleh Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, R. M. Soeparto. Setelah selesai upacara pelantikan, diadakan serah terima jabatan Kepala Daerah dari Gubernur Jenderal Asikin Joedadibrata kepada Kepala Daerah yang baru Oevaang Oeray. 

            Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, DPRD Tingkat I Kalimantan Barat melalui sidang tanggal 14 November 1959, menetapkan nama calon Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat. Calon yang terpilih terdiri dari 2 orang, yaitu Oevaang Oeray (PD) dan R. P. N. L. Tobing (PNI). Dari dua calon tersebut ternyata sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember 1959, ditetapkan. Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960 s/d 1966. Perlu diketahui bahwa pada waktu itu kedudukan Gubernur dan Kepala Daerah adalah terpisah. 

          Gubernur adalah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sedangkan Kepala Daerah adalah aparat desentralisasi sebagai kepala daerah otonom. Dengan demikian Oevaang Oeray adalah Kepala Daerah Otonom Tingkat I Kalimantan Barat yang pertama dan terakhir, karena setelah itu jabatan Gubernur dan jabatan Kepala Daerah disatukan menjadi Gubernur Kepala Daerah yang mempunyai tugas rangkap yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Selama memangku jabatannya, Oevaang Oeray berusaha memajukan daerah Kalimantan Barat. Dalam bidang pendidikan, beliau bersama-sama dengan tokoh politik, tokoh masyarakat dan pemuka agama seperti dokter Soedarso, R. Wariban, Ibrahim Saleh, dan lain-lain mendirikan Universitas Daya Nasional yang sekarang bernama Universitas Tanjung Pura di Pontianak. 

          Dalam pembangunan sarana peribadatan, selain pembangunan gereja, ia juga memperhatikan pembangunan rumah ibadah umat Islam. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat, Oevaang Oeray dipercaya duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 1977-1982 mewakili Golongan Karya. Dan sampai akhir hayatnya, beliau masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan DPD Golkar Kalimantan Barat. 

          Oevaang Oeray meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 1986 di Pontianak karena sakit. Sehari sebelum Oevang Oeray meninggal dunia atau tepatnya pada hari Kamis, tanggal 17 Juli 1986, di ruang rapat Kantor Gubernur Kalimantan Barat diadakan pertemuan antara Gubernur Kalimantan Barat dengan Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) dan Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI). Dalam pertemuan tersebut, sebagai Ketua Eksekutif Apkindo, Oevaang Oeray berkesempatan melaporkan hasil perjalanannya di Jawa Timur, Bali dan Sumatera. Tetapi, sewaktu berbicara dalam pertemuan itu, ia menderita batuk-batuk dan sulit bernafas. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Sei Jawi Pontianak. Setelah segala upaya dan usaha dilakukan untuk penyembuhan, pada tanggal 17 Juli 1986 di RSU Sei Jawi Pontianak, ia akhirnya meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Katholik Santo Yosef di Sungai Raya Pontianak. 

         Dengan meninggalnya Oevaang Oeray, maka masyarakat Kalimantan Barat khususnya dan bangsa Indonesia umumnya telah kehilangan salah seorang putra terbaik bangsa yang turut berjuang memajukan harkat dan martabat rakyat melalui pendidikan dan pembangunan. Generasi muda dapat mengambil nilai-nilai perjuangan dan pengabdian Oevaang Oeray seperti sikapnya dalam usaha untuk maju dan berprestasi dalam menuntut ilmu sehingga dengan ilmu tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bangsa dan negara Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat.

Biografi Pangsuma

          Kegigihan seorang Pang Suma melawan tentara Jepang pada tahun 1945 telah membakar semangat masyarakat Kalbar yang lain ketika itu untuk mengusir penjajahan Jepang. Informasi kematian salah satu pejuang Kalbar dan Panglima Perang ini, tidak menyurutkan para anggota Perang Majang (pasukan pimpinan Pang Suma) saat itu untuk melanjutkan perjuangan. Mereka justru bergelora untuk mengusir Jepang dari Bumi Kalimantan Barat. Seperti di Ngabang yang dipimpin Panglima Batu, di Sanggau oleh Panglima Burung serta di Ketapang oleh Panglima Banjing dan Pang Layang. " Mereka lakukan agar Jepang mengakhiri kekejamannya dan pergi dari Kalbar," Pang Suma adalah tokoh pejuang dari suku Dayak yang tinggal di Dusun Nek Bindang di tepian Sungai Kapuas Desa Baru Lombak Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Anak ke-3 dari 6 bersaudara ini memiliki nama asli Bendera bin Dulung. Namun ada pula yang menyebutnya Menera. Arti nama Pang Suma sendiri adalah Bapak si Suma. Panggilan dengan mengguakan Pang merupakan satu kebiasaan penduduk setempat memanggil nama orang tua dengan menyebut nama anaknya yag paling besar. Ini dikarenakan agar lebih sopan daan hormat dari pada menyebut nama langsung orang tersebut. 
              
             Menjelang akhir hayatnya, ia telah mendapatkan pertanda buruk. Ujung Nyabur (pedang) yang dimilikinya patah, sebelum ia menyerbu markas Jepang di Kantor Gunco (Camat) Meliau pada 17 Juli 1945. Pertanda itu pun menjadi kenyataan. Sebuah peluru menembus pahanya yang konon merupakan rahasia kekuatan dari Panglima Perang ini. Namun, disaat menahan kesakitan itu, ia sempat berpesan kepada rekan seperjuangannya yang membopongnya dari lokasi perang. "Tinggal aja aku disito uda nada aku to idop lagi, pogilah kita, maju terus berjuang," pesan Pang Suma dalam bahasa Dayak seperti yang dikutip dari "Pangsuma Riwayat Hidup dan Pengabdiannya" yang artinya tinggalkan saja saya di sini saya tidak bisa hidup lagi pergilah kamu maju terus berjuang. 

         Perjuangannya adalah pengorbanan yang patut dijadikan berikan apresiasi bagi masyarakat Kalbar dan pemerintah meskipun dia dan keluarganya tidak mengharapkan imbalan apapun. Namun, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa dan pengorbanan pahlawannya. Sehingga tentunya patut diberikan. Dan generasi mendatang wajib mencontoh dan mengambil hikmah yang telah dikorbankan Pang Suma dalam membela bangsa dan tanah air. 

Biografi Siradj Sood

Siradj Sood merupakan salah seorang tokoh pejuang dari Kabupaten Sambas , Kalimantan Barat. Haji Muhammad Siradj Sood atau yang biasa dikenal dengan Siradj Sood lahir pada tanggal 27 Muharram 1320 Hijriyah di kampung Tumuk, Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Orangtuanya bernama Haji Sood dan Hajjah Zaenab, keduanya dari suku Melayu Kabupaten Sambas. Siradj Sood  merupakan anak kelima dari tigabelas bersaudara. Ayah Siradj Sood bekerja sebagai pedagang dan memiliki kebun karet yang luas. Ayah Siradj Sood pernah mendapat gelar kehormatan sebagai “Datuk Kaya Lela Mahkota” yang diberikan oleh Sultan Sambas yang bernama Sultan Muhammad Syafiuddin II dan diangkat sebagai penasehat di bidang perekonomian dan perdagangan di kerajaan Sambas.

                Siradj Sood pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR). Dalam pergaulannya, ia termasuk luwes dan banyak bergaul dengan teman-temannya. Ia suka memberi perhatian dan pertolongan bagi siapapun yang memerlukannya. Pada tahun 1921, Siradj Sood menunaikan ibadah haji di Mekah. Kemudian pada tanggal 14 Jumadil Awal 1342 Hijriyah, ia menikah dengan seorang gadis bernama Sakura. Istri Siradj Sood yang bernama Sakura ini meninggal dunia pada saat melahirkan anak mereka yang bernama Muhammad Sood. Dari pernikahannya dengan Sakura, Siradj Sood dikaruniai sebelas orang anak. Setelah kematian istrinya, Siradj Sood menikah kembali dengan Daeng Supiah. Pernikahannya yang kedua tidak berlangsung lama karena Daeng Supiah meninggal dunia dan tidak diperoleh keturunan darinya. Siradj Sood menikah untuk yang ketiga kalinya dengan Rasidah. Dari pernikahannya dengan Rasidah, ia memperoleh tiga orang anak. Siradj Sood bekerja mengelola tanah kebun miliknya. Ia pernah pula bekerja sebagai pemasok berbagai keperluan di sebuah perusahaan karet bernama Maskapai Naho Ben Zi San. Ia juga meneruskan usaha ayahnya dalam bidang hiburan dengan membuka usaha bioskop. Pada masa Jepang, dua anak Siradj Sood yaitu Muhtadi dan Abdul Salam pernah secara terpaksa menjadi anggota Heiho (tentara Jepang). Hal ini dilakukan sebagai jaminan agar Siradj Sood tidak ditangkap oleh Jepang yang menaruh curiga terhadap orang pribumi yang dianggap cerdik dan terpandang. 
         
         Di wilayah Sambas, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia baru dapat diterima pada bulan Oktober tahun 1945 melalui siaran radio Serawak, Malaysia Timur. Selain itu, berita proklamasi kemerdekaan juga dibawa oleh Ismail dan Zain Zakaria yang datang dari Pontianak ke Sambas. Dalam menyikapi berita kemerdekaan Indonesia tersebut, tokoh-tokoh pejuang pergerakan di Sambas segera membentuk sebuah organisasi bernama Persatuan Bangsa Indonesia Sambas (PERBIS) pada tanggal 13 Oktober 1945. Organisasi PERBIS ini dipimpin oleh Siradj Sood, Naim A. Razak, M. Kemat, M. Umar Sood dan Hamidi A. Rachman. Selanjutnya pada tanggal 15 Oktober 1945, PERBIS mengadakan rapat yang pertama untuk membicarakan tentang upaya penyebarluasan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat Sambas. Pada saat rapat berlangsung, Polisi Belanda mendatangi tempat pertemuan tersebut. Asisten Residen Brieckvild kemudian bertemu dengan Siradj Sood selaku pemimpin PERBIS untuk menawarkan kerja sama agar PERBIS membantu Belanda dalam menjalankan pemerintahannya di Sambas. Penawaran kerja sama Brieckvild tersebut tidak diterima oleh Siradj Sood dan kawan-kawannya dengan alasan bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka dan terlepas dari segala bentuk penjajahan dari bangsa manapun. 

            Karena organisasi PERBIS menolak untuk bekerjasama, Asisten Residen Brieckvild kemudian memerintahkan Kapten Van der Schoors untuk menghancurkan PERBIS yang dianggap melawan Belanda. Dalam usaha menghancurkan PERBIS, pasukan Belanda meminta bantuan kepada Polisi Keamanan Umum (PKO) yang dipimpin oleh seorang Indo Belanda bernama Rudolf van der Lief atau Tuan Dolof. Diceritakan bahwa pada tanggal 26 Oktober 1945, Muhammad Akir dan rombongannya dari Pemangkat datang ke Sambas untuk mengadakan rapat dengan PERBIS di Gedung Sekolah Tarbiyatul Islam Sambas. Mereka datang menggunakan sebuah truk yang dipadati oleh orang-orang yang cinta kemerdekaan. Di sepanjang perjalanan, rombongan itu mengibar-kibarkan bendera merah putih sambil meneriakkan “merdeka, merdeka, merdeka”. Kedatangan rombongan dari Pemangkat tersebut mendapat sambutan hangat dari seluruh masyarakat Sambas. Selanjutnya pada malam hari mereka mengadakan rapat di rumah Siradj Sood di kampung Tumuk untuk membicarakan segala rencana yang akan dilakukan dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia. 

               Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa akan diadakan rapat umum masyarakat Sambas pada tanggal 27 Oktober 1945, bertempat di gedung bioskop milik Siradj Sood. Tujuan diadakannya rapat umum itu adalah untuk menumbuhkan dan membakar semangat masyarakat Sambas dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan waktu yang disepakati, pada tanggal 27 Oktober 1945, pukul 08.00 WIB, masyarakat Sambas berkumpul di gedung bioskop Indonesia Theatre untuk mengikuti rapat umum yang diadakan oleh PERBIS. Kemudian pada pukul 11.00 WIB, dari gedung bioskop mereka berjalan menuju ke kantor Kontrolir Sambas. Di halaman kantor Kontrolir Sambas ternyata sudah berkibar bendera Belanda yang terdiri dari tiga warna yaitu merah, putih dan biru. Melihat bendera Belanda berkibar, masyarakat Sambas menjadi marah dan segera menurunkan bendera Belanda tersebut. Bendera Belanda kemudian disobek pada bagian yang berwarna biru dan dinaikkan kembali sehingga yang berkibar adalah bendera merah putih. Setelah mengibarkan bendera merah putih yang diiringi lagu Indonesia Raya disertai pekikan salam kemerdekaan, masyarakat kemudian memasuki kantor pemerintah Belanda dan memporakporandakannya. Pasukan Belanda melalui Van der Lief mengancam masyarakat Sambas yang sedang mengamuk di Kantor Kontrolir dengan pistol. Namun masyarakat tidak mempedulikan ancaman tersebut, bahkan massa semakin marah dan mengeroyok Van der Lief hingga tewas. Dari kantor pemerintah Belanda, masyarakat kemudian bergerak menuju ke kompleks Kesultanan Sambas guna mengibarkan bendera merah putih sebagai bukti bahwa Indonesia sudah merdeka. Namun di tengah perjalanan mereka dihadang oleh serdadu Belanda dibawah pimpinan Kapten Van der Schoor. Kapten Van der Schoor memerintahkan agar massa tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda dan mengurungkan niatnya untuk mengibarkan bendera merah putih di kompleks Kesultanan Sambas. Tetapi perintah Van der Schoor tersebut tidak dipedulikan oleh massa. Bahkan salah seorang anggota PERBIS yang bernama Tabrani Ahmad dengan gagah berani maju untuk mengibarkan bendera merah putih sambil berteriak lantang “merdeka, merdeka, merdeka”. Tindakan Tabrani Ahmad tersebut membuat pasukan Belanda marah dan kemudian menembak Tabrani Ahmad hingga tewas. Pada peristiwa berdarah tanggal 27 Oktober 1945, Siradj Sood mengalami luka parah akibat tertembak peluru Belanda. Hal tersebut terjadi pada waktu ia berlari untuk merebut bendera merah putih dari tangan Tabrani Ahmad yang ditembak Belanda dengan maksud agar bendera merah putih itu tidak jatuh ke tanah. Setelah tertembak, Siradj Sood berpura-pura mati dan tidak bergerak sehingga Belanda menganggapnya sudah tewas. Melihat Belanda telah pergi, Siradj Sood kemudian merangkak menuju ke belakang keraton dan di sana ia diselamatkan oleh orang-orang yang masih hidup. Siradj Sood dibawa ke kampung Tumuk dengan menggunakan sampan. Peluru yang bersarang di tubuh Siradj Sood berhasil dikeluarkan oleh Dr. Salekan yang dibantu oleh Mantri Saleh. Sedangkan Tabrani Ahmad, teman seperjuangan Siradj Sood, gugur ditembak Belanda. Menanggapi adanya perlawanan masyarakat Sambas dan agar perlawanan tersebut tidak menyebarluas maka Belanda kemudian menangkap Siradj Sood selaku pemimpin PERBIS. Ia dituduh sebagai otak penggerak perlawanan masyarakat terhadap Belanda di Sambas. Setelah ditangkap, Siradj Sood menjalani hukuman penjara selama 2 tahun di penjara Sungai Jawi Pontianak. Pada tahun 1949, Siradj Sood bebas dari penjara dan kembali ke Sambas. Beliau berkumpul kembali ke tengah-tengah keluarga dan bergabung dengan masyarakat Sambas. Pada tanggal 23 Maret 1972, Siradj Sood meninggal dunia karena sakit dan jenazahnya dimakamkan di kampung Tumuk Kabupaten Sambas. Perjuangan Siradj Sood untuk bangsa dan negaranya patut diteladani oleh generasi muda. Jiwa pengorbanan yang dimiliki oleh Siradj Sood membuat penjajah Belanda harus bersusah payah dalam upayanya menjajah kembali Kalimantan Barat khususnya di daerah Sambas. Jiwa kepahlawanan Siradj Sood dapat ditunjukkan ketika dirinya rela tertembak peluru Belanda demi meraih bendera merah putih agar tidak jatuh ke tanah. Bahkan pada akhirnya, dirinya dipenjara oleh Belanda karena dituduh sebagai salah satu tokoh penggerak peristiwa berdarah tanggal 27 Oktober 1945 di Sambas.

Biografi Mohammad Alianyang

Mohhamad Alianyang
Di beberapa tempat se-Kalbar ditemukan nama Jalan Ali Anyang. Nama tersebut dimaksudkan untuk mengenang jasa pejuang Kalbar yang lahir di Nanga Menantak Ambalau Sintang ini. Tujuannya, agar generasi muda Kalbar dapat mengingat jejak-jejak perjuangannya dalam menentang penjajahan. Ali Anyang lahir 20 Oktober 1920 di desa Nanga Menantak. Orangtuanya, Lakak dan Liang memberinya nama, Anjang. Dalam keluarganya yang suku Dayak ini, Ali Anyang merupakan anak kelima dari tujuh orang bersaudara.

          Pada usai 8 tahun, Ali Anyang menjadi anak angkat Raden Mas Suadi Djoyomiharjo, seorang kepala sekolah di daerah Sintang. Kemudian mengganti nama asli Ali Anyang yaitu Anjang menjadi Muhammad Ali Anyang. Ia memperoleh pengajaran agama Islam dari orangtua angkatnya. Dalam pendidikannya, Ali Anyang pernah bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS) di Pontianak. Setelah tamat dari HIS, melanjutkan ke Sekolah Juru Rawat Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichting (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pemerintah di Semarang. 

           Setelah tamat kembali ke Pontianak dan bekerja di Rumah Sakit Umum Sei Jawi Pontianak. Sebagai pemuda yang memiliki jiwa nasionalis tinggi, Ali Anyang tergerak hatinya untuk mengabdi dan berjuang membela kemerdekaan. Itu diwujudkan dengan bergabung bersama sejumlah pemuda yang menamakan diri Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Tujuan pembentukan PPRI tersebut adalah untuk menyebarluaskan berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh daerah di Kalbar. Sebagai anggota PPRI, Ali Anyang berperan dalam mencegah perebutan kekuasaan di Pontianak, yang akan dilakukan orang-orang Cina yang tergabung dalam organisasi Penjaga Keamanan Umum (PKO). Seperti diketahui, sejalan dengan diterimanya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Pontianak pada 27 Agustus 1945 terjadi kekosongan pemerintahan. Orang-orang Cina yang tergabung dalam PKO bermaksud menguasai sistem pemerintahan di Kalbar khususnya di Pontianak. Namun rencana PKO yang meresahkan masyarakat tersebut dapat dicegah oleh PPRI dengan melakukan penyergapan dan perlawanan terhadap anggota PKO. Pada 3–4 September 1945 terjadi pertempuran antara PPRI yang didukung oleh masyarakat pribumi menghadapi anggota PKO di sekitar Kota Pontianak.         Bentrokan tersebut mengakibatkan korban jiwa di kedua belah pihak. Mengetahui banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, dokter Soedarso sebagai ketua PPRI menginstruksikan Ali Anyang dan kawan-kawannya segera menghentikan pertempuran. Setelah pertempuran berhenti, anggota PKO melarikan diri ke luar Kota Pontianak. Pada Tanggal 29 September 1945, belum lama setelah tentara Jepang pergi, Kota Pontianak kedatangan tentara Australia dan Belanda (NICA) yang bermaksud mengambil alih kekuasaan yang sebelumnya dipegang penjajah Jepang. Kedatangan tentara Australia di Pontianak hanya berlangsung kurang lebih satu bulan. Selanjutnya pada Oktober 1945, kekuasaan atas Kalimantan Barat diserahkan kepada Belanda dengan Residennya yang bernama Van Der Zwaal.        Kedatangan NICA yang bermaksud menjajah kembali Kalbar, mendapat tantangan dari masyarakat. Ali Anyang beserta pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan lainnya berusaha menghalang-halangi maksud Belanda tersebut. Pada 12 November 1945, Ali Anyang bersama pejuang lainnya menyerbu ke tangsi dan gudang amunisi Belanda di Pontianak. Penyerbuan tersebut mengakibatkan beberapa orang pejuang mengalami luka berat dan ada yang gugur. Ali Anyang sendiri kemudian ditangkap dan ditahan di penjara Sei Jawi Pontianak. Beberapa bulan kemudian, tepatnya Februari 1946, Ali Anyang dibebaskan. Setelah keluar dari penjara, dokter Soedarso sebagai Ketua PPRI memerintahkan Ali Anyang untuk konsolidasi dan koordinasi kepada seluruh pejuang agar terus melakukan perlawanan terhadap Belanda di daerah-daerah. Karena di Kota Pontianak saat itu sudah sulit untuk melakukan pergerakan. Setelah menerima perintah dokter Soedarso, Ali Anyang pergi ke wilayah Pantai Utara Kalbar, antara lain ke Mempawah, Singkawang dan Sambas. Tiba di Singkawang. Ia ditetapkan sebagai Komandan Pemberontakan di Kalbar oleh organisasi Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). Selanjutnya ia menyusun dan mengkoordinir seluruh kekuatan yang ada. Pada 1 April 1946, terbentuklah sebuah organisasi diberi nama Barisan Pemberontak Indonesia Kalbar (BPIKB) yang bermarkas di Bengkayang yang dikomandani Ali Anyang.                  Pada 31 Agustus 1945, Ali Anyang dan pasukan BPIKB berencana menyerbu pasukan Belanda di Bengkayang yang sedang parade kemiliteran memperingati hari besar Ratu Wilhelmina. Namun penyerbuan itu gagal karena Belanda melakukan penjagaan ketat. Kegagalan serangan pertama tidak membuat pasukan Ali Anyang putus asa. Satu tahun kemudian tepatnya 8 Oktober 1946, Ali Anyang dan pasukannya kembali menyerbu tangsi militer Belanda di Bengkayang. Para pejuang berhasil menguasai Kota Bengkayang dan mengibarkan bendera merah putih diiringi lagu Indonesia Raya.            Penguasaan Kota Bengkayang oleh Ali Anyang dan pejuang lainnya tidak berlangsung lama, pasukan Belanda yang berasal dari Singkawang datang menggempur pasukan Ali Anyang. Pada 9 Oktober 1946, pasukan Belanda merebut kembali Kota Bengkayang. Pasukan Belanda kemudian mencari Ali Anyang yang dianggap sebagai aktor dari penyerbuan tersebut. Belanda mengeluarkan sayembara dengan hadiah 25.000 gulden bagi siapa saja yang berhasil menemukan Ali Anyang. Dalam pengejaran tersebut Ali Anyang dan pejuang lainnya tetap melakukan perlawanan. Hal ini dibuktikan dengan peristiwa penyerbuan tangsi Militer Belanda di Sambas pada 10 Januari 1949. Karena terdesak, Ali Anyang dan pasukannya mundur ke hutan-hutan. Pasukan Belanda terus mengejar hingga terjadi beberapa kali bentrokan senjata antara kedua belah pihak, yaitu 18 Januari 1949 di kampung Acan perbatasan Serawak dan 20 Maret 1949 bentrokan terjadi di kampung Camar Bulan. Pertempuran-pertempuran antara Ali Anyang dan pasukannya melawan Belanda akhirnya terhenti setelah pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.                      Setelah mendengar berita itu, Ali Anyang memerintahkan kepada seluruh anggota pasukannya untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Usai masa perang kemerdekaan, pada tahun 1950 Ali Anyang menikah dengan Siti Hajir seorang gadis asal Sambas. Dikarenakan tugasnya sebagai seorang perawat, Ali Anyang dan istrinya sering berpindah-pindah tempat. Di antaranya pernah ditugaskan ke Ciawi, Indramayu, Banjarmasin, Cililitan dan akhirnya kembali ke Kalbar. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai delapan orang anak yaitu Sri Endang Ratna Juwita, Ida Triwati, Mohammad Armin Ali Anyang, Rina Yulia, Rita Nuriati, Rini Nuraini, Siti Wahyuni dan Diah Purnama Wati. Semasa hidupnya, Ali Anyang pernah menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) II Kabupaten Sambas di Singkawang. Saat mengemban jabatannya tersebut, pada 7 April 1970 Ali Anyang meninggal dunia karena sakit. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing, Kota Singkawang. 

Sudahkah Anda Sholat !!!

Karimunting. Powered by Blogger.