Rahadi Oesman
Rahadi Osman merupakan seorang pejuang kemerdekaan dari Kalimantan Barat. Ia lahir pada tanggal 1 Agustus 1925 di Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat. Lahir dari pasangan suami-istri bernama Ismail Osman dan Sutinah Harjo Soegondho. Keluarga Ismail Osman dikaruniai tujuh orang anak. Pada mulanya, Rahadi Osman diberi nama Abdul Syukur atau dengan nama kecil sering dipanggil ”Tjong”.
Abdul Syukur merupakan nama pemberian kakek dari ayahnya yang bernama Haji Osman bin Walhidin yang berasal dari Yogyakarta. Tetapi kemudian, oleh kakek dari sebelah ibunya memberi nama Rahadi Osman dan akhirnya jadilah nama tersebut seperti nama yang kita kenal sampai saat ini.
Rahadi Osman merupakan putra pertama dan satu-satunya anak laki-laki yang lahir dalam keluarga Ismail Osman. Saudaranya yang lain adalah Rahajoe Osman, Rahajeng Rachman Arif, Rahasri Ibrahim Saleh, Rahapik Badra, Rahaloes Rusadi dan Rahani A. Syafei. Ayah Rahadi Osman merupakan seorang pengusaha yang ternama. Ia pernah duduk sebagai sekretaris dalam organisasi Persatuan Anak Borneo (PAB) Kalimantan Barat yang pada saat itu ketuanya Raden Muslim Nalaprana yang dibantu oleh Gusti Putra sebagai pemimpin pemuda.
Pada waktu Jepang berkuasa di Kalimantan Barat, Ismail Osman termasuk orang yang ditangkap oleh tentara Jepang. Setelah ditangkap oleh tentara Jepang, Ismail Osman tidak diketahui lagi keberadaannya. Kemungkinan Ismail Osman telah dibunuh oleh Jepang. Rahadi Osman memiliki perawakan tubuh yang besar, tinggi, tegap dan berkacamata. Kepribadian, gaya hidup dan penampilannya sederhana. Ia Pertama-tama mengenyam pendidikan di Europesche Langere School (ELS) di Pontianak. Sekolah ELS adalah sekolah setingkat dengan sekolah dasar yang khusus bagi anak-anak Eropa. Di samping itu, kepada anak-anak pembesar pribumi juga diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan di ELS.
Bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Belanda sehingga sudah sepantasnya apabila Rahadi Osman dapat menggunakan bahasa Belanda. Ia dapat bersekolah di ELS karena tidak terlepas dari peranan dan kedudukan orang tuanya, Ismail Osman, yang pada waktu itu termasuk orang yang sukses dalam dunia usaha percetakan dan juga sering berhubungan dengan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang memerlukan jasa perusahaannya. Ia termasuk anak yang rajin dan berprestasi. Ia dapat menyelesaikan sekolahnya di ELS dengan baik selama tujuh tahun (1930 – 1937), sesuai dengan waktu yang ada dalam kurikulum sekolah itu. Setelah tamat dari ELS, pada tahun 1937 ia melanjutkan pendidikannya ke Hongere Burgerlijke School – Koning Willem III (HBS – K.W. III) selama lima tahun di Jakarta. Sejak ia menuntut ilmu di HBS, ia aktif sebagai anggota dalam organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) di Jakarta. Kegiatan organisasi KBI adalah untuk membangkitkan rasa kebangsaan bagi pemuda-pemuda Indonesia. Selanjutnya Rahadi melanjutkan pendidikannya ke Geneeskundinge Hoge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta.
Pada zaman Jepang sekolah ini bernama Ika Dai Ghaku dan pada saat sekarang sekolah ini bernama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang terletak di Jalan Salemba Jakarta. Selama kuliah di sekolah kedokteran di Jakarta, ia melakukan berbagai pengabdian untuk bangsanya. Sebagai tanda bukti pengakuan dari pengabdiannya, nama Rahadi Osman tercantum pada urutan pertama dalam sebuah batu prasasti yang ada di ruang sebelah kiri gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Selama di Jakarta, ia pernah tinggal di Asrama Prapatan 10 Jakarta. Asrama ini merupakan asrama mahasiswa kedokteran Jakarta yang biasa digunakan sebagai pusat kegiatan pemuda pelajar dan mahasiswa pada saat-saat menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Asrama tersebut sebagai markas gerakan bawah tanah dalam menyusun kegiatan dan strategi perjuangan. Oleh karena itu, pada zaman Jepang tempat tersebut selalu mendapat pengawasan. Rahadi Osman juga bergabung dalam gerakan pemuda Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni. Pada tanggal 15 Agustus 1945, dalam perang Asia Timur Raya Jepang menyerah kalah kepada Sekutu. Meskipun demikian, Jepang masih tetap bersikap keras terhadap bangsa Indonesia. Para pemuda pejuang yang menginginkan bangsa Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan Jepang kemudian mengadakan rapat untuk membicarakan persiapan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Rapat tersebut antara lain dihadiri oleh Adam Malik, Wibowo, Djohar Noor, Dick Soedarsono, Ali Akbar, Rahadi Osman dan Ridwan. Rapat yang kedua pada keesokan harinya dihadiri antara lain oleh Syahrir, Darwis, Ridwan, Chaerul Saleh, Eri Sadewo dan lain-lain. Rapat yang kedua pada tanggal 16 Agustus 1945 tersebut menghasilkan keputusan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 akan dilangsungkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Setelah teks proklamasi dikumandangkan, para pemuda pejuang segera menyebar ke seluruh kota di Indonesia untuk mempropagandakan teks proklamasi. Berita proklamasi juga akan disiarkan melalui radio dari studio radio di Jakarta. Hasil keputusan rapat lainnya adalah akan dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dikemudian hari berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Setelah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, pada hari itu juga, Chairul Saleh memerintahkan Des Alwi, Ridwan dan Rahadi Osman membawa teks proklamasi untuk disiarkan melalui studio radio Jepang yang ada di Jakarta.
Pekerjaan Rahadi Osman dan teman-temannya tersebut penuh dengan tantangan karena di dalam dan sekitar lokasi studio radio selalu ada serdadu Jepang yang berjaga-jaga. Melalui usaha keras, akhirnya teks proklamasi berhasil dibawa ke dalam studio radio Jepang dan warta berita teks proklamasi berhasil disiarkan pada jam 1 siang tanggal 17 Agustus 1945. Dengan menyadari arti penting perjuangan kemerdekaan, Rahadi Osman cepat mengerti akan situasi dan keadaan. Kehancuran Republik berarti kembalinya penjajahan di bumi Indonesia. Oleh karena itu, Rahadi Osman menerjunkan diri bersama teman-teman dan lapisan masyarakat dalam kancah perjuangan mempertahankan proklamasi. Sebagai langkah pertama perjuangannya di Kalimantan Barat, pada awal bulan Oktober 1945, Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangannya menggabungkan diri dalam Palang Merah Indonesia (PMI). Pemakaian nama PMI ini hanya suatu siasat saja untuk memudahkan Rahadi Osman dan teman-temannya sampai di Kalimantan Barat. Usaha tersebut mendapat restu dan persetujuan dari Pangeran Muhammad Noor, yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan pada waktu itu. Sebelum pergi ke Kalimantan Barat, atas rekomendasi dari Ir. P. Muhammad Noor, Rahadi Osman dan rombongan diminta untuk menghadap Menteri Pertahanan Mr. Amir Syarifuddin.
Rahadi Osman dan Machrus Effendi kemudian pergi menghadap Mr. Amir Syarifuddin yang pada waktu itu selain menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Soekarno juga menjabat sebagai Menteri Penerangan. Setelah mereka menguraikan maksud dan tujuannya untuk berangkat ke Kalimantan Barat maka Mr. Amir Syarifuddin menyetujui dan memberikan sebuah mandat yang berisikan : “Boleh mempergunakan senjata dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) serta membentuk pemerintahan setempat”. Selanjutnya, menjelang pertengahan bulan November 1945, sebanyak 30 orang pemuda telah dipersiapkan untuk berjuang ke Kalimantan Barat. Pemuda-pemuda tersebut tidak hanya berasal dari Kalimantan Barat saja, tetapi ada yang berasal dari Jawa dan Sumatera. Namun rencana keberangkatan ekspedisi pejuang ini tidak terlaksana karena pasukan Belanda tidak mengizinkan keberangkatan kapal motor rombongan ekspedisi dari Tanjung Priok ke Kalimantan Barat. Karena keberangkatannya dihalang-halangi dari Jakarta, Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangan akhirnya memilih jalan melalui Pelabuhan Tegal menuju Kalimantan Barat.
Tepat pada tanggal 23 November 1945, jam 16.00 Wib, dari Pelabuhan Tegal diberangkatkan dua buah perahu kapal motor. Kapal Motor pertama bernama “Sri Kayung” yang ditumpangi oleh Rahadi Osman dan rombongan sebanyak 43 orang. Kapal ini diarahkan menuju Ketapang, sedangkan perahu yang satunya lagi diarahkan menuju Pontianak. Adapun perlengkapan yang dibawa terdiri dari : satu buah radio pengirim, satu buah radio penerima, beberapa peti alat penerangan, lima pucuk pistol, dua buah granat tangan buatan Jepang, yang ternyata rusak dan tidak boleh dipergunakan serta sejumlah parang. Keberangkatan rombongan ekspedisi ini dilepas oleh Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor dan pada waktu pemberangkatannya, Gubernur memberikan petuah kepada rombongan, yang bunyinya antara lain : “Saya bangga terhadap keinsyafan dan kesadaran yang saudara-saudara miliki, padahal saya tahu bahwa di seberang (maksudnya di Kalimantan), saudara berjuang menyabung nyawa, tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan dari pemerintah. Tetapi insya Allah, perjuangan maupun pengorbanan saudara tidak sia-sia. Selamat jalan dan selamat berjuang”.
Setelah mendengar petuah tersebut, sebagai komandan, Rahadi Osman tampil sambil berkata : “Apa yang kami lakukan sekarang ini adalah hanya sekedar menunaikan tugas dan kewajiban. Kami sudah terpanggil melaksanakan ini, karena hal ini merupakan aspirasi rakyat dari rakyat yang telah merdeka dan berdaulat. Kami hanya ingin doa restu, semoga perjuangan kami berhasil sebagaimana yang kami harapkan”.
Keberangkatan rombongan Rahadi Osman ini merupakan pasukan ekspedisi pertama yang secara resmi dikirim oleh pemerintah Republik Indonesia ke Kalimantan dalam usaha mengemban tugas-tugas tertentu demi negara. Rombongan yang berjumlah 43 orang ini dipimpin oleh Rahadi Osman sebagai komandan dan Machrus Effendi sebagai kepala staf serta dibantu oleh tiga orang asisten, yaitu Abdul Kadir Kasim, Jafar Said dan A. Tambunan. Sedangkan anggota pasukan lainnya, antara lain tercatat nama Gusti Usman Idris, Haji Abdul Kadir, Rahat Lumbanpea, Soeminta, Tarmizi Arsyad, Hasan Thalib dan lain sebagainya. Pada tanggal 30 November 1945, rombongan Rahadi Osman berhasil mendarat di pantai kampung Sungai Besar, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang. Setibanya rombongan di Sungai Besar, mereka diterima dan disambut baik oleh kepala kampung Sungai Besar yang bernama Haji Abdul Rahim Saleh. Seluruh anggota rombongan ditempatkan di sebuah pondok yang berjarak sekitar 2 km dari kampung Sungai Besar.
Berdasarkan informasi dari Haji Abdul Rahim Saleh, Rahadi Osman dan rombongan mengetahui bahwasanya kota Ketapang telah diduduki oleh pasukan Belanda yang datang dari Pontianak.
Rahadi Osman kemudian memutuskan kampung Sungai Besar ditetapkan sebagai markas pertahanan sementara bagi pasukan Rahadi Osman. Keputusan tersebut didukung oleh rombongan pasukannya dan penduduk disekitar kampung Sungai Besar. Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangannya segera menyusun strategi untuk menghadapi Belanda di Ketapang. Akan tetapi akhirnya Belanda mengetahui adanya aktivitas pejuang yang akan menentang Belanda di Ketapang.
Setelah mengetahui markas persembunyian Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangannya, Belanda mulai melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Serangan ini menimbulkan kepanikan terhadap anggota pasukan Rahadi Osman. Hal ini terjadi karena ketiadaan senjata untuk menghadang musuh dan ditambah lagi dengan kurangnya pengalaman dalam bertempur. Dalam serangan itu, Belanda kehilangan 3 orang pasukannya. Belanda semakin menekan pasukan Rahadi Osman hingga mengakibatkan Rahadi Osman gugur tertembak. Pasukan Rahadi Osman yang tersisa kemudian mengundurkan diri ke Pulau Bawal. Sungguh mulia perjuangan Rahadi Osman. Ia tewas akibat tertembak oleh pasukan Belanda dalam pertempuran di Sungai Besar Ketapang.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 7 Desember 1945 di daerah Sungai Besar, Kabupaten Ketapang. Lokasi ini letaknya sekitar 18 kilometer dari kota Ketapang. Setelah mendengar berita meninggalnya Rahadi Osman, ibu dan adik-adiknya merasa terkejut seakan-akan tidak percaya. Tetapi setelah si pembawa berita berhasil memperlihatkan gagang bekas kacamata Rahadi Osman, barulah ibu dan adik-adiknya yakin. Berita meninggalnya Rahadi Osman menambah duka cita ibu dan adik-adiknya karena belum lama sebelumnya, ayah mereka Ismail Osman telah ditangkap Jepang dan belum diketahui bagaimana nasibnya. Menurut keterangan dari pihak keluarga dan masyarakat setempat, jasad Rahadi Osman yang tewas bersimbah darah itu tetap tergeletak di tempat ia tertembak sampai malam hari.
Pada saat itu, tidak seorangpun dari teman seperjuangan atau rakyat setempat yang berani untuk mendekati mayatnya apalagi untuk mengangkatnya, karena pasukan Belanda selalu mengawasi tempat tersebut. Kemudian baru pada malam harinya di saat pasukan Belanda pergi, jenazah Rahadi Osman berhasil diangkat dan dikebumikan di Sungai Besar. Pada masa hidupnya, Rahadi Osman pernah mengatakan bahwa apabila ia tewas dalam pertempuran, permintaannya adalah agar ia dikubur di tempat tetes darahnya yang terakhir. Dengan alasan tersebut, maka jasad Rahardi Osman dikuburkan di kampung Sungai Besar Kabupaten Ketapang. Tetapi kemudian atas dasar kebijaksanan pemerintah Republik Indonesia bahwa pengumpulan jasad para pahlawan yang gugur di medan pertempuran perlu segera dilakukan dan disatukan dalam suatu tempat pemakaman yaitu Taman Makam Pahlawan. Dengan dasar inilah maka pada saat sekarang jenazah Rahadi Osman telah dipindahkan dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Tanjung Pura yang letaknya sekitar 5 kilometer dari kota Ketapang.
Upacara pemakaman kembali kerangka jenazah tersebut berlangsung secara militer dan yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah Gubernur Kalimantan Barat Parjoko. Dengan meninggalnya Rahadi Osman, berarti kita telah kehilangan seorang tokoh muda yang memiliki rasa nasionalisme tinggi. Generasi muda diharapkan mampu mengikuti jejak perjuanganya dan dan menjadikannya suri tauladan. Sebagai bangsa yang besar, sudah sepantasnya kita menghargai jasa-jasa para pahlawan dan berterimakasih kepada mereka selaku pejuang bangsa.
0 comments:
Post a Comment