Kerajaan Sanggau
1. Sejarah
Sanggau adalah sebuah nama sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang
terletak tidak begitu jauh dari Kota Pontianak. Sebelum berubah menjadi kabupaten,
di wilayah Sanggau berdiri suatu kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke-4
Masehi. Penyebutan “Sanggau” sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh di
tepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni Sungai Sekayam. Dalam
buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat karya J.U.
Lontaan disebutkan bahwa Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan
yang dipimpin Dara Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana,
Ketapang, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga (J.U.Lontaan,
1975:170). Namun ada juga pendapat yang meyakini bahwa nama “Sanggau” diambil
dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal
Baba Cinga (Primaswolo dalam www.kr.co.id).
a. Masa Awal
Kerajaan Sanggau
Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu
dengan orang-orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan
Patih Bangi. Rombongan Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan
sebuah tempat yang bernama Tampun Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung
dan bersama-sama mengarungi Sungai Sekayam. Di tengah perjalanan, ternyata di
aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak sungai. Rombongan besar ini
kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang dikenal dengan nama
Sungai Entabai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku
Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai
Entabai. Berkah bagi Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat menemukan
Babai Cinga.
Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya
suku-suku bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah
asal. Setelah beberapa saat menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan
Patih Bangi memutuskan untuk meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai
Kapuas. Kelak, rombongan Singa Patih Bardat menurunkan Suku Kematu, Benawas,
Sekadau, dan Melawang. Sedangkan rombongan Patih Bangi adalah leluhur Suku
Dayak Melawang yang menurunkan raja-raja Sekadau (www.pontianakonline.com).
Dara Nante tidak menetap selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante
memutuskan untuk pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai Sekayam.
Namun, di tengah perjalanan, tepatnya di sebuah tempat yang dikenal dengan nama
Labai Lawai, rombongan Dara Nante menghentikan perjalanannya dan membangun
suatu kerajaan kecil di tempat itu, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan
Sanggau. Rombongan Dara Nante sendiri sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai
dalam perjalanan pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.
Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan
Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu-batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante
dan Batu Babai Cinga. Batu-batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning
berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga
setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut
dengan memberikan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut (www.harianberkat.com).
Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur
mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika
Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Untuk
itu, maka pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan tiga etnis yang terdapat di
Sanggau, yaitu Melayu, Dayak, dan Tionghoa, menyepakati bahwa setiap tanggal 7
April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun hal ini masih
sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan pemerintah. Sedangkan upaya
untuk mendapatkan peresmian dari pemerintah masih diperjuangkan sampai saat ini
(www.borneotribune.com).
Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan
pucuk pimpinan Kerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama
Dakkudak. Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara Nante
dengan semestinya. Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik.
Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak kemudian
memilih angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi menuju ke daerah Semboja
dan Segarong (Lontaan, 1975:171).
Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat.
Kelanjutan riwayat Kerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak belum
diketahui dengan pasti, namun, pada tahun 1485 M, seorang perempuan yang masih
memiliki garis keturunan dengan Dara Nante, bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528
M), dinobatkan sebagai penguasa Sanggau. Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna
setelah bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke
Mengkiang, sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam
menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang
bernama Nurul Kamal atau Abdurrahman, keturunan Kyai Kerang dari Banten
(Lontaan, 1975:172). Meski Nurul Kamal diduga kuat adalah seorang muslim, namun
belum diketahui apakah Kerajaan Sanggau sejak masa pemerintahan Dayang Mas
Ratna juga telah bercorak Islam.
Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang
perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M).
Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh
suaminya yang bernama Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di
Kapuas Hulu. Selain itu, masih pada era pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan
Sanggau telah menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sintang yang saat
itu dipimpin oleh Raja Juhair atau Jubair. Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih
ada hubungan darah (famili) antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-raja
Kerajaan Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:32).
Selanjutnya, Kerajaan Sanggau dipimpin oleh seorang raja bernama Abang Gani
dengan gelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada era ini, Kerajaan
Sanggau terlibat perkara dengan Kerajaan Matan (Tanjungpura). Kasus ini bermula
dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang
penguasa dari Kerajaan Matan. Namun, beberapa tahun setelah perkawinan itu,
terdengar kabar bahwa Raja Matan telah menikah lagi. Oleh karena itu, pihak
Kerajaan Sanggau bermaksud untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari Kerajaan
Matan. Melalui berbagai perundingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau,
akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara
damai. Warga Kerajaan Sanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka-cita
(Lontaan, 1975:172).
Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan
Kerajaan Sanggau diserahkan kepada putra mahkota yang bernama Abang Basun
dengan gelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M). Pemerintahan
Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh dari saudaranya, bernama
Abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabaya, dan sepupunya yang bernama Abang
Guneng (A. Roffi Faturrahman, et.al., tt:97).
b. Eksistensi
Kesultanan Sanggau
Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah Pangeran Mangkubumi
Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690
M. Abang Bungsu adalah anak lelaki Pangeran Mangkubumi Pakunegara dari istri
ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang
Bungsu menjadi raja dilakukan karena kedua istri Pangeran Mangkubumi yang lain
tidak bisa memberikan anak laki-laki. Abang Bungsu dinobatkan sebagai Raja
Sanggau dengan gelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara. Menilik nama dan
penyebutan gelar yang disematkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa
pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan demikian, nama
Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi Kesultanan Sanggau, sesuai dengan
pemerintahan khas Islam.
Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke
tempat yang sekarang menjadi Kota Sanggau. Akan tetapi, masih banyak keturunan
Abang Bungsu yang tetap bertahan di Mengkiang. Konon, Abang Bungsu atau Sultan
Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat.
Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam
yang diberi nama Bujang Juling, Dara Kuning, dan Dara Hijau (Lontaan,
1975:173).
Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan
Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama Abang Kamaruddin atau Abang Saka
bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M). Dalam mengelola pemerintahan,
Sultan Akhmad dibantu oleh adiknya yang bernama Panembahan Ratu Surya Negara.
Kedua putera almarhum Sultan Mohammad Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk
memajukan Kesultanan Sanggau. Sultan Akhmad Kamaruddin berperan sebagai kepala
pemerintahan dan menyandang gelar Gusti, sedangkan Panembahan Ratu Surya
Negara, yang memperoleh gelar Ade, diangkat sebagai penasehat kesultanan
sekaligus membawahi daerah perairan atau kawasan pesisir laut (Faturrahman, et.al.,
tt:98).
Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menderita sakit. Ketika Sultan
Akhmad Kamaruddin dalam kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan Ratu
Surya Negara berkali-kali datang menghadap sang kakak agar tahta pemerintahan
Kesultanan Sanggau diserahkan kepadanya. Awalnya, permintaan itu tidak
ditanggapi secara serius oleh Sultan Akhmad Kamaruddin, namun karena Panembahan
Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka akhirnya Sultan menyerahkan
tahta kepada sang adik. Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu Surya Negara
dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M).
Selain itu, karena sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu
bertanya kepada kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia
mendapat julukan Abang Sebilang Hari (Lontaan, 1975:174).
Pascawafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan
suksesi Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan
Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan
Sultan Zainuddin. Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang
berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan
Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.
Pengganti Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai
pemimpin Kesultanan Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran Ratu
Surya Negara (1741-1762 M) dari daerah darat dan bertahta di Istana Beringin.
Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara Kesultanan Sanggau dengan
Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini dibuktikan dengan pemberian sebuah meriam
yang dinamakan “Gentar Alam” kepada Kesultanan Sanggau dari Sultan Kadriah
Pontianak. Sebagai hadiah balasan, Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan
balok-balok kayu belian yang kini masih tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah
Pontianak (Faturrahman, et.al., tt:98).
Hubungan antara Kesultanan Sanggau dan Kesultanan Kadriah Pontianak mulai
retak pada tahun 1778 M. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak saat itu
berambisi melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya (Hasanuddin,
2000:17). Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kesultanan
Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi
penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Kadriah Pontianak mendirikan benteng
yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi yang merupakan pulau milik
Kerajaan Sanggau (Ansar Rahman, 2000:81).
Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta
Kesultanan Sanggau kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan
Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M). Selanjutnya, Kesultanan Sanggau
dipimpin oleh Pangeran Usman (di Istana Beringin) yang bergelar Panembahan
Usman Paku Negara (1785-1812). Pada masa pemerintahan Panembahan Usman Paku
Negara, Kerajaan Sanggau menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sekadau
melalui ikatan perkawinan. Ratu Godok, puteri Panembahan Usman Paku Negara,
menikah dengan Raja Sekadau (Lontaan, 1975:174). Di sisi lain, pada tahun 1812,
terjadi lagi perselisihan antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah
Pontianak. Kali ini, Kesultanan Sanggau dapat menghalau serangan dari
Kesultanan Kadriah Pontianak (Lontaan, 1975:174).
Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau
beralih kepada Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) dari Istana
Kuta. Era pemerintahan Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara berakhir pada
tahun 1823 dan digantikan oleh wakil dari Istana Beringin, yakni Sultan Ayub
Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau sampai tahun 1828. Pada masa
pemerintahannya, Sultan Ayub mengagagas pembangunan Masjid Jami’ Syuhada yang
diperkirakan berdiri pada tahun 1826. Selain itu, menurut laporan yang ditulis
Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 dan
terangkai dalam tulisan berseri dengan judul “Melihat Perkembangan Sanggau dari
Masa ke Masa”, disebutkan bahwa Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan
Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28
September 2004).
Saudara Sultan Ayub, bernama Ade Akhmad, naik tahta menjadi Sultan Sanggau
dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara. Penobatan Ade Akhmad yang
notabene masih berasal dari pihak Istana Beringin itu disebabkan karena calon
sultan dari Istana Kuta masih kecil dan belum cukup umur untuk memimpin
Kesultanan Sanggau. Setelah Ade Akhmad atau Panembahan Mohammad Kusuma Negara
wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga Istana Kuta yang naik tahta,
yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876). Panembahan Mohammad Thahir II
pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan
Kesultanan Brunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat Panembahan Mohammad
Thahir II tersebut kini belum dapat dilacak dan ditemukan (Lontaan, 1975:175).
Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultanan
Sanggau didatangi bangsa Belanda. Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut
dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau. Belanda memanfaatkan
sambutan baik ini dengan memohon untuk diizinkan menetap di Sanggau. Permintaan
Belanda ini dikabulkan oleh Panembahan Mohammad Thahir II. Dengan demikian,
Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah Kesultanan Sanggau.
Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 Maret 1876,.
Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana
Beringin) yang bergelar Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Sejak
saat inilah roda pemerintahan di Kesultanan Sanggau mulai dipengaruhi oleh
hegemoni Belanda, termasuk dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan
kedudukan seorang sultan, serta berbagai perjanjian yang dilakukan antara pihak
Kesultanan Sanggau dengan Belanda.
Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai
penyewaan tanah Kesultanan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.W. van Lansberge (1875-1881) serta pihak
Kesultanan Sanggau yang diwakili oleh Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh
(Mangkubumi), Pangeran Ratu Mangku Negara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas
Paduka Putera (Raja di Balai Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku
(Menteri Kesultanan Sanggau). Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung
Sekayam disewakan kepada Belanda (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28
September 2004).
Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada tahun
1908, tampuk pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan Gusti
Mohammad Ali Surya Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915
(Faturrahman, et.al., tt:98). Pemangku tahta Kesultanan Sanggau
berikutnya adalah Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (dari Istana
Beringin). Era Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara berakhir pada tahun
1921 setelah beliau dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang telah berhasil
masuk ke dalam setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian
menobatkan Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi
pemimpin Kesultanan Sanggau yang selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III
Surya Negara bertahan hingga tahun 1941 dan digantikan oleh Gusti Mohammad Arif
Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.
Pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Sejak itulah masa pendudukan
Jepang di Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau, dimulai. Era
kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun
karena pada tahun 1942 beliau ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara
Jepang. Sepeninggal Gusti Mohammad Arif Paku Negara, atas campur-tangan
pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat
Kesultanan Sanggau (Faturrahman, et.al., tt:98). Ade Marhaban Saleh
sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin. Namun, kondisi ini menjadi
hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer
Jepang. Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih
dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944. Panembahan Gusti Ali Akbar
mengemban mandat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat-saat
terakhir pendudukan Jepang di Indonesia.
Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan
Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, pada
bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia
ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk
berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggau. Oleh
karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bernama Riekerk untuk
menempati posisi sebagai Asisten Residen di wilayah Sanggau. Riekerk, yang
datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian
menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana Kesultanan Sanggau dan
mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai penggantinya
(Lontaan, 1975:177). Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari
pihak keluarga Istana Kuta.
Tahta Panembahan Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan
hingga Sanggau diubah menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan
Gusti Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir
(Basilius, dalam Pontianak Pos, 3 Oktober 2004). Pada tanggal 2 Mei 1960
dilakukan serah terima pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Djaman
selaku Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayat
Kesultanan Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu
kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada
tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak
lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada
tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai
Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti Sultan
Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu
Gusti Suryansyah dari Istana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H.
Sudin (www.equator-news.com).
2. Silsilah
Urutan para pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan/Kesultanan Sanggau
yang berhasil ditemukan dari buku karya J.U.Lontaan yang berjudul Sejarah
Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat” dan tulisan bertajuk
“Kesultanan Sanggau” karya A. Roffi Faturrahman, et.al. (tt) yang
terhimpun dalam buku Istana-istana di Kalimantan Barat adalah
sebagai berikut:
·
Dara Nante (1310 M).
·
Dakkudak.
·
Dayang Mas Ratna (1485-1528 M).
·
Dayang Puasa atau Nyai Sura (1528-1569
M).
·
Abang Gani bergelar Pangeran Adipati
Kusumanegara Gani (1569-1614 M).
·
Abang Basun bergelar Pangeran
Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M).
·
Abang Bungsu (Uju) bergelar Sultan
Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M).
·
Abang Kamaruddin bergelar Sultan Akhmad
Kamaruddin (1690-1722 M).
·
Panembahan Ratu Surya Negara bergelar
Sultan Zainuddin (1722-1741 M).
·
Abang Tabrani bergelar Pangeran Ratu
Surya Negara (1741-1762 M).
·
Panembahan Mohammad Thahir I Surya
Negara (1762-1785 M).
·
Pangeran Usman bergelar Panembahan
Usman Paku Negara (1785-1812).
·
Panembahan Mohammad Ali Surya Negara
(1812-1823).
·
Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828).
·
Panembahan Mohammad Kusuma Negara
(1812-1860).
·
Panembahan Mohammad Thahir II
(1860-1876).
·
Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara
(1876-1908).
·
Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya
Negara (1808-1915).
·
Pangeran Gusti Mohammad Said Paku
Negara (1915-1921).
·
Panembahan Thahir Surya Negara
(1921-1941).
·
Gusti Mohammad Arif (1941-1942).
·
Ade Marhaban Saleh (1942-1944).
·
Panembahan Gusti Ali Akbar (1944-1945).
·
Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya
Negara (1945).
·
Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya
Negara (2009).
3. Sistem
Pemerintahan
Sistem pemerintahan Kerajaan Sanggau sejak masa awal atau ketika didirikan
pertama kali oleh Dara Nante pada tahun 1310 masih berdasarkan aturan dan
hukum-hukum adat setempat. Pejabat sementara pengganti Dara Nante, yakni
Dakkudak, ternyata tidak dapat mengelola pemerintahan Kerajaan Sanggau dengan
baik. Dakkudak tidak mampu menjalankan undang-undang adat dengan semestinya.
Ketidakmampuan ini membuat Dakkudak memilih pergi meninggalkan Kerajaan
Sanggau.
Pengganti Dakkudak adalah keturunan Dara Nante yang bernama Dayang Mas
Ratna (1485-1528 M). Sejak masa inilah tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau
mulai diampu oleh orang-orang yang mempunyai tali keturunan berdasarkan garis
darah. Dalam menjalankan pemerintahan, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya
yang bernama Nurul Kamal. Hal yang sama juga berlaku pada masa pemerintahan
Dayang Puasa atau Nyai Tua yang berperan meneruskan kekuasaan Dayang Mas Ratna.
Pengelolaan pemerintahan Kerajaan Sanggau pada rezim Dayang Puasa juga dibantu
oleh sang suami yang bernama Abang Awal (Faturrahman, et.al., tt:97).
Sejak masa kepemimpinan Dayang Puasa berakhir, Kerajaan Sanggau selalu
dipimpin oleh kaum pria dari waktu ke waktu. Dalam melaksanakan
pemerintahannya, biasanya Raja atau Sultan Sanggau dibantu oleh penasehat
kerajaan/kesultanan yang diberi gelar Ade. Bahkan, sejumlah orang yang pernah
menjabat sebagai Ade, sempat naik tahta menjadi penguasa Sanggau, beberapa di
antaranya adalah Panembahan Ratu Surya Negara (1722-1741 M) yang mengambil-alih
tahta Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M) dan Panembahan Mohammad Ali Surya
Negara (1812-1823) yang menggantikan Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828). Para
pemegang jabatan Ade pada umumnya adalah saudara kandung dari pemimpin
Kesultanan Sanggau yang tengah berkuasa.
Setelah era pemerintahan Panembahan Ratu Surya Negara yang bergelar Sultan
Zainuddin (1722-1741 M), terjadi perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan
Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara
bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin,
keduanya adalah putera dari Sultan Sanggau sebelumnya, yakni Sultan Mohammad
Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M). Selain itu, kedua belah pihak juga
menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak
keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak
keturunan Sultan Zainuddin. Suksesi kepemimpinan yang bergantian seperti ini
terus berlangsung hingga Kesultanan Sanggau melebur dan menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sedikit pengecualian yang disebabkan
hal-hal tertentu, misalnya calon Sultan masih berusia belum dewasa atau kondisi
politik saat itu.
Sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau mempunyai undang-undang yang
didasarkan atas hukum adat dan hukum Islam. Akan tetapi, ketika Belanda mulai
menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggu, segala kebijakan yang dirumuskan
Kesultanan Sanggau harus mendapat persetujuan dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Selain itu, Kesultanan Sanggau juga memiliki lembaga Mahkamah Syariah
atau Raad Agama. Lembaga ini dipimpin oleh Haji Muhammad Yusuf bergelar
Pangeran Tumenggung Suria Igama dan Ade Ahmaden Baduwi bergelar Raden Penghulu
Suria Igama (Basilius, dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004). Pembentukan
Raad Agama ini sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk turut campur
dalam persoalan-persoalan agama (Islam) yang sebelumnya menjadi wewenang penuh
Sultan Sanggau.
Pada tanggal 30 Oktober 1932, dilakukan penyempurnaan hukum adat yang
berlaku di Kesultanan Sanggau. Hukum adat yang sebelumnya berjumlah 34 pasal
ditambah menjadi 70 pasal. Dalam hukum baru tersebut dikatakan bahwa segala
urusan agama tidak hanya diputuskan oleh Sultan Sanggau, tetapi juga harus
dilakukan oleh Raad Agama. Urusan-urusan yang ditangani oleh Raad
Agama antara lain: nikah, talak, rujuk, waris, wasiat, penetapan bulan
Ramadhan, fardlu kifayah, pengangkatan imam dan khatib, dan bilal (muadzin)
masjid (Basilius, dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004).
Belanda memang berupaya mengendalikan sistem pemerintahan Kesultanan
Sanggau. Hal yang paling jelas adalah ketika terjadi suksesi kepemimpinan
kesultanan di mana Belanda sangat berpengaruh dalam hal ini. Belanda, misalnya,
menobatkan Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915), sebagai pengganti
Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Orang-orang yang menolak
pengangkatan itu, salah satunya adalah Pangeran Dipati Ibnu, dibuang ke Jawa
oleh Belanda. Campur-tangan Belanda dalam proses pengangkatan pemangku adat
Sanggau terus terjadi sampai tahun 1941.
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia pada
tahun 1949, maka kedudukan Kesultanan Sanggau secara politik sudah tidak
berlaku lagi karena Sanggau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan berubah bentuk menjadi swapraja. Sejak tanggal 2 Mei 1960, riwayat
Kesultanan Sanggau berubah status menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau yang
termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Lontaan, 1975:177).
Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal
26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi
memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal
tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan
Sanggau (www.equator-news.com).
4. Wilayah
Kekuasaan
Sejak pertama kali didirikan oleh Dara Nante pada tahun 1310,
Kerajaan/Kesultanan Sanggau telah mengalami perpindahan pusat pemerintahan selama
beberapa kali dengan masing-masing daerah kekuasaannya. Pertama kali didirikan,
pusat Kerajaan Sanggau berada di Labai Lawai di dekat Sungai Sekayam. Kemudian,
pada era pemerintahan Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), keturunan Dara Nante,
pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau dipindahkan dari Labai Lawai ke Mengkiang
di muara Sungai Sekayam. Pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Sanggau di Mengkiang
bertahan hingga masa kekuasaan Abang Bungsu yang bergelar Sultan Mohammad
Jamaluddin Kusumanegara yang bertahta dari tahun 1658 hingga 1690 M. Sultan
Mohammad Jamaluddin Kusumanegara memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang
ke tempat yang sekarang menjelma menjadi Kota Sanggau (Lontaan, 1975:173).
Menurut laporan Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September
2004 yang terangkai dalam tulisan berseri dengan judul “Melihat Perkembangan
Sanggau dari Masa ke Masa”, disebutkan bahwa Sultan Ayub Paku Negara
(1823-1828) memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk
(Basilius, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004). Sementara Lontaan
(1975) menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II
(1860-1876), telah dirumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan
Sanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat tersebut
kini belum dapat dilacak lagi (Lontaan, 1975:175).
Selain itu, meski bukan sebuah kerajaan yang besar, namun Kesultanan
Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan. Pada masing-masing dari
daerah taklukan Kesultanan Sanggau tersebut ditempatkan seorang pejabat yang
ditunjuk oleh Sultan Sanggau. Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari
wilayah pendudukan Kesultanan Sanggau tersebut di antaranya adalah Semerangkai,
Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan sejumlah daerah lainnya (Basilius, dalam Pontianak
Pos, 28 September 2004).
Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan
wilayah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, pada masa sekarang. Hal
tersebut terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sanggau yang mengacu kepada
wilayah Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau merupakan kelanjutan dari
Kerajaan/Kesultanan Sanggau dahulu. Kabupaten Sanggau merupakan salah satu
daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara Kalimantan
Barat. Sebelah utara Sanggau berbatasan dengan Serawak (Malaysia), sebelah
selatan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten Landak, dan
sebelah timur dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.
(Iswara N. Raditya/Ker/12/10-2009)
Referensi:
·
A. Roffi Faturrahman, et.al., tt.
“Kesultanan Sanggau”, dalam Istana-istana di Kalimantan Barat.
Pontianak: Inventarisasi Istana di Kalimantan Barat.
·
Ansar Rahman, et.al., 2000. Syarif
Abdurrahman Alkadri, perspektif sejarah berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika – Pemerintah Kota Pontianak.
·
”Batu Keramat Daranante dan Babai
Cingak”, dalam Harian Berkat, 31 Mei 2009.
·
Basilius, “Masa kemerdekaan, semangat
juang tak padam; Melihat perkembangan Sanggau dari masa ke masa (10)”, dalam Pontianak
Pos, 3 Oktober 2004.
·
Basilius, ”Pembaharuan pemerintahan
kerajaan terus dilakukan; Melihat perkembangan Sanggau dari masa ke masa (8)”,
dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004.
·
Basilius, ”Pusat pemerintahan
dipindahkan di Kampung Kantuk; Melihat perkembangan Sanggau dari masa ke masa
(5)”, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004.
·
”Gusti Arman, Raja baru Sanggau”,
diunduh pada tanggal 28 Januari 2010, dari http://www.borneotribune.com.
·
Hasanuddin, 2000. Pontianak,
1771-1900: Suatu tinjauan sejarah sosial ekonomi. Pontianak: Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
·
J.U. Lontaan, 1975. Sejarah-hukum
adat dan adat istiadat Kalimantan-Barat. Kalbar: Pemda Tingkat I Kalimantan
Barat.
·
”Melawat ke Sanggau, tak sekadar pintu
ke Serawak”, diunduh pada tanggal 28 Januari 2010, dari www.kr.co.id.
·
“Penobatan Raja Keraton Sanggau
Meriah”, diunduh pada tanggal 28 Januari 2010, dari http://www.equator-news.com.
·
”Sejarah Kerajaan Sekadau”, diunduh
pada tanggal 28 Januari 2010, dari http://www.pontianakonline.com.
·
Syahzaman & Hasanuddin, 2003.
“Sintang dalam lintasan sejarah”. Pontianak: Romeo Grafika.
·
”Tiga etnis deklarasikan HUT Sanggau”,
diunduh pada tanggal 28 Januari 2010, dari http://www.borneotribune.com.
Sumber Foto:
· A. Roffi Faturrahman, et.al., tt. “Kesultanan Sanggau”, dalam
Istana-istana di Kalimantan Barat. Pontianak: Inventarisasi Istana di
Kalimantan Barat.
0 comments:
Post a Comment