Upah Buruh Bengkayang Naik 20.000, F Hukatan - KSBSI Bengkayang Berang
Asal-Usul Pekong Sam Po Kong Sungai Raya
Menurut legenda, sewaktu beliau berangkat dari negeri Tiongkok, Sam Po Kong berlayar bersama cucunya menuju bumi nusantara. Dalam pelayaran, Sam Po Kong bersama cucunya berlayar bukan menggunakan sebuah kapal ataupun perahu layar tetapi mereka menaiki sebuah lesung yang amat besar. Lesung tersebut dijadikan seperti perahu layar umumnya. Mereka pun mulai berlayar dan mengarungi samudera menggunakan lesung tersebut.
Selang beberapa waktu pelayaran, tibalah mereka di pulau Kalimantan.
“Bagaimana kita akan melewati dataran tersebut sedangkan kita jauh dari laut dan tidak melewati sungai?” tanya sang cucu.
“Cucuku kamu tenang dan jangan khawatir. Kamu turuti saja perintah kakek dan jangan sekali-kali kamu melanggarnya.” Jawab sang kakek.
Lalu cucunya kembali bertanya, “Apakah gerangan yang harus saya lakukan kek?”
“Kamu pejamkan saja matamu dan jangan buka sampai kakek memerintahkan untuk membukanya!” perintah sang kakek.
Lalu si cucu pun memejamkan matanya sehingga ia tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Setelah itu, sang kakek langsung menerbangkan lesung yang mereka kendarai menggunakan kesaktian yang ia miliki.
Selang beberapa waktu, timbul rasa penasaran di dalam benak sang cucu untuk mengetahui apa gerangan yang sedang terjadi. Tanpa sepengetahuan sang kakek si cucupun membuka matanya. Alangkah terkejutnya ia setelah mengetahui sebuah peristiwa yang aneh sedang berlangsung di dalam perjalanannya dengan sang kakek. Sang cucu merasa sangat terkejut karena perahu yang mereka gunakan untuk berlayar tadi kini sedang terbang di udara.
Karena cucu Sam Po Kong telah melanggar perintah sang kakek, maka apa yang ditakutkan Sam Po Kong pun terjadi. Lesung yang mereka tumpangi tiba-tiba saja jatuh sehingga sang kakek secara spontan melompat dari lesung dan jatuh tepat di atas bongkahan batu besar (Gunung Bunga/Gunung Gosong). Teringat akan cucunya yang masih ada di dalam lesung, Sam Po Kong pun berusaha untuk menahan lesung agar tidak hancur karena terhempas ke tanah.
Sam Po Kong berpijak sangat kuat disebuah batu. Saking kuatnya menahan lesung. Kini batu bekas pijakan meninggalkan bekas berbentuk telapak kaki Sam Po Kong. Setelah berhasil menyelamatkan cucunya, Sam Po Kong dan cucunya kembali melanjutkan perjalanan melalui sungai (Sungai Raya) melewati Selat Karimata dan menuju ke Pulau Jawa.
Untuk mengenang peristiwa tersebut maka didirikanlah sebuah vihara kecil atau yang kita kenal dengan nama pekong. Nama Pekong Kaki digunakan karena di tempat tersebut terdapat sebuah batu besar yang berbekas telapak kaki Sam Po Kong. Menurut kepercayaan orang-orang Tionghoa, kejadian luar biasa itu dianggap sebuah keramat. Oleh sebab itu, sampai saat ini di Desa Sungai Raya setiap tanggal 10 bulan 10 kalender Imlek selalu mengadakan sebuah upacara atau peringatan hari besar yang diberi nama Hari Sam Po Kong.
Sumber :
Pengarang | Zulkifli, dkk |
Judul | Pekong Kaki : Antologi Cerita Rakyat Sui. Raya Kepulauan |
Edisi/Cet. | Cet. 1, Oktober 2016 |
Impresum | Pontianak : Balai Bahasa Kalimantan Barat, 2016 |
Kolasi | x, 140 hlm.; 21 cm |
ISBN | 978-602-60408-1-7 |
BUKAN PERJUMPAAN BIASA
Sebenarnya ini perjumpaan biasa, tapi entah kenapa aku ingin menyebutnya sebagai bukan perjumpaan biasa. Karena semua berawal dari tulisan.
Sabtu, 18 Februari 2017 kami bertemu setelah sebelumnya sempat komunikasi via facebook.
Aku mengenal Reza dari temanku, Fauzi. Mereka berteman dalam organisasi. Aku dan Fauzi sering ngopi bareng, kadang di Warkop Sahabat, Warkop Timur Tengah, dan Warkop Alam Gemilang.
Reza cerita pernah membaca beberapa catatanku di facebook, terutama yang menyangkut Karimunting. Kulihat profilnya dia pernah sekolah di MTs YPPU Karimunting. Tempat dimana aku juga pernah sekolah di sana. Berarti kami satu kampung, dan satu almamater. Aku alumni 90-an, dia alumni 2000-an.
Setelah janjian siangnya, maka sekitar jam 8 malam kami bertemu di Warkop Timur Tengah. Reza bersama temannya, panggilannya Beben. Rupanya dia juga bukan orang jauh. Dia berasal dari Sungai Ambawang Kubu Raya, menikah dengan perempuan Karimunting yang ternyata cucu dari (alm.) Mbah Marna. Sedangkan Mbah Marna merupakan adik dari nenekku, (almh.) Mbah Fatimah.
Kami cerita tentang banyak hal. Tentang masa kecil di Karimunting. Tentang guru, tentang tetangga, tentang kawan-kawan, dan tentu tentang Karimunting. Desa di pesisir Bengkayang yang suasana alamnya pematang mirip Belitung, Bumi Laskar Pelangi itu.
Karimunting memang terlalu manis untuk dilupakan. Wajah tulus guru-guruku. Tawa riang teman-temanku. Deburan ombak di tepi pantai. Semilir angin di kala sore. Klakson mobil di jalan raya. Iring-iringan anak muda bersepeda berangkat sekolah. Guyuran hujan di musim durian. Suara pungguk di bulan purnama. Desiran air sungai saat dilalui kayu rakit. Bahkan bunyi kelapa jatuhpun mengingatkanku pada Karimunting. Bagiku Karimunting bukan sekedar kenangan masa lalu, tapi juga masa kini dan masa yang akan datang. Karimunting memang sering hadir dalam mimpiku. Sampai saat ini. Karimunting tumpah darahku.
Empat tahun lalu, saat aku bekerja di Kota Singkawang. Hari itu persis tanggal lahirku. Aku naik bis antarkota dari Singkawang ke Karimunting. Duduk di pasar. Menumpahkan kerinduan. Dan kembali lagi ke Singkawang.
Karimunting. Di sana tempat lahir beta. Tembuniku ditanam di sana.
Masihkah buahmu yang manis itu?
#Penulis Subro
Biografi J.C. Oevaang Oeray
Biografi Pangsuma
Biografi Siradj Sood
Siradj Sood pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR). Dalam pergaulannya, ia termasuk luwes dan banyak bergaul dengan teman-temannya. Ia suka memberi perhatian dan pertolongan bagi siapapun yang memerlukannya. Pada tahun 1921, Siradj Sood menunaikan ibadah haji di Mekah. Kemudian pada tanggal 14 Jumadil Awal 1342 Hijriyah, ia menikah dengan seorang gadis bernama Sakura. Istri Siradj Sood yang bernama Sakura ini meninggal dunia pada saat melahirkan anak mereka yang bernama Muhammad Sood. Dari pernikahannya dengan Sakura, Siradj Sood dikaruniai sebelas orang anak. Setelah kematian istrinya, Siradj Sood menikah kembali dengan Daeng Supiah. Pernikahannya yang kedua tidak berlangsung lama karena Daeng Supiah meninggal dunia dan tidak diperoleh keturunan darinya. Siradj Sood menikah untuk yang ketiga kalinya dengan Rasidah. Dari pernikahannya dengan Rasidah, ia memperoleh tiga orang anak. Siradj Sood bekerja mengelola tanah kebun miliknya. Ia pernah pula bekerja sebagai pemasok berbagai keperluan di sebuah perusahaan karet bernama Maskapai Naho Ben Zi San. Ia juga meneruskan usaha ayahnya dalam bidang hiburan dengan membuka usaha bioskop. Pada masa Jepang, dua anak Siradj Sood yaitu Muhtadi dan Abdul Salam pernah secara terpaksa menjadi anggota Heiho (tentara Jepang). Hal ini dilakukan sebagai jaminan agar Siradj Sood tidak ditangkap oleh Jepang yang menaruh curiga terhadap orang pribumi yang dianggap cerdik dan terpandang.
Di wilayah Sambas, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia baru dapat diterima pada bulan Oktober tahun 1945 melalui siaran radio Serawak, Malaysia Timur. Selain itu, berita proklamasi kemerdekaan juga dibawa oleh Ismail dan Zain Zakaria yang datang dari Pontianak ke Sambas. Dalam menyikapi berita kemerdekaan Indonesia tersebut, tokoh-tokoh pejuang pergerakan di Sambas segera membentuk sebuah organisasi bernama Persatuan Bangsa Indonesia Sambas (PERBIS) pada tanggal 13 Oktober 1945. Organisasi PERBIS ini dipimpin oleh Siradj Sood, Naim A. Razak, M. Kemat, M. Umar Sood dan Hamidi A. Rachman. Selanjutnya pada tanggal 15 Oktober 1945, PERBIS mengadakan rapat yang pertama untuk membicarakan tentang upaya penyebarluasan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat Sambas. Pada saat rapat berlangsung, Polisi Belanda mendatangi tempat pertemuan tersebut. Asisten Residen Brieckvild kemudian bertemu dengan Siradj Sood selaku pemimpin PERBIS untuk menawarkan kerja sama agar PERBIS membantu Belanda dalam menjalankan pemerintahannya di Sambas. Penawaran kerja sama Brieckvild tersebut tidak diterima oleh Siradj Sood dan kawan-kawannya dengan alasan bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka dan terlepas dari segala bentuk penjajahan dari bangsa manapun.
Karena organisasi PERBIS menolak untuk bekerjasama, Asisten Residen Brieckvild kemudian memerintahkan Kapten Van der Schoors untuk menghancurkan PERBIS yang dianggap melawan Belanda. Dalam usaha menghancurkan PERBIS, pasukan Belanda meminta bantuan kepada Polisi Keamanan Umum (PKO) yang dipimpin oleh seorang Indo Belanda bernama Rudolf van der Lief atau Tuan Dolof. Diceritakan bahwa pada tanggal 26 Oktober 1945, Muhammad Akir dan rombongannya dari Pemangkat datang ke Sambas untuk mengadakan rapat dengan PERBIS di Gedung Sekolah Tarbiyatul Islam Sambas. Mereka datang menggunakan sebuah truk yang dipadati oleh orang-orang yang cinta kemerdekaan. Di sepanjang perjalanan, rombongan itu mengibar-kibarkan bendera merah putih sambil meneriakkan “merdeka, merdeka, merdeka”. Kedatangan rombongan dari Pemangkat tersebut mendapat sambutan hangat dari seluruh masyarakat Sambas. Selanjutnya pada malam hari mereka mengadakan rapat di rumah Siradj Sood di kampung Tumuk untuk membicarakan segala rencana yang akan dilakukan dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa akan diadakan rapat umum masyarakat Sambas pada tanggal 27 Oktober 1945, bertempat di gedung bioskop milik Siradj Sood. Tujuan diadakannya rapat umum itu adalah untuk menumbuhkan dan membakar semangat masyarakat Sambas dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan waktu yang disepakati, pada tanggal 27 Oktober 1945, pukul 08.00 WIB, masyarakat Sambas berkumpul di gedung bioskop Indonesia Theatre untuk mengikuti rapat umum yang diadakan oleh PERBIS. Kemudian pada pukul 11.00 WIB, dari gedung bioskop mereka berjalan menuju ke kantor Kontrolir Sambas. Di halaman kantor Kontrolir Sambas ternyata sudah berkibar bendera Belanda yang terdiri dari tiga warna yaitu merah, putih dan biru. Melihat bendera Belanda berkibar, masyarakat Sambas menjadi marah dan segera menurunkan bendera Belanda tersebut. Bendera Belanda kemudian disobek pada bagian yang berwarna biru dan dinaikkan kembali sehingga yang berkibar adalah bendera merah putih. Setelah mengibarkan bendera merah putih yang diiringi lagu Indonesia Raya disertai pekikan salam kemerdekaan, masyarakat kemudian memasuki kantor pemerintah Belanda dan memporakporandakannya. Pasukan Belanda melalui Van der Lief mengancam masyarakat Sambas yang sedang mengamuk di Kantor Kontrolir dengan pistol. Namun masyarakat tidak mempedulikan ancaman tersebut, bahkan massa semakin marah dan mengeroyok Van der Lief hingga tewas. Dari kantor pemerintah Belanda, masyarakat kemudian bergerak menuju ke kompleks Kesultanan Sambas guna mengibarkan bendera merah putih sebagai bukti bahwa Indonesia sudah merdeka. Namun di tengah perjalanan mereka dihadang oleh serdadu Belanda dibawah pimpinan Kapten Van der Schoor. Kapten Van der Schoor memerintahkan agar massa tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda dan mengurungkan niatnya untuk mengibarkan bendera merah putih di kompleks Kesultanan Sambas. Tetapi perintah Van der Schoor tersebut tidak dipedulikan oleh massa. Bahkan salah seorang anggota PERBIS yang bernama Tabrani Ahmad dengan gagah berani maju untuk mengibarkan bendera merah putih sambil berteriak lantang “merdeka, merdeka, merdeka”. Tindakan Tabrani Ahmad tersebut membuat pasukan Belanda marah dan kemudian menembak Tabrani Ahmad hingga tewas. Pada peristiwa berdarah tanggal 27 Oktober 1945, Siradj Sood mengalami luka parah akibat tertembak peluru Belanda. Hal tersebut terjadi pada waktu ia berlari untuk merebut bendera merah putih dari tangan Tabrani Ahmad yang ditembak Belanda dengan maksud agar bendera merah putih itu tidak jatuh ke tanah. Setelah tertembak, Siradj Sood berpura-pura mati dan tidak bergerak sehingga Belanda menganggapnya sudah tewas. Melihat Belanda telah pergi, Siradj Sood kemudian merangkak menuju ke belakang keraton dan di sana ia diselamatkan oleh orang-orang yang masih hidup. Siradj Sood dibawa ke kampung Tumuk dengan menggunakan sampan. Peluru yang bersarang di tubuh Siradj Sood berhasil dikeluarkan oleh Dr. Salekan yang dibantu oleh Mantri Saleh. Sedangkan Tabrani Ahmad, teman seperjuangan Siradj Sood, gugur ditembak Belanda. Menanggapi adanya perlawanan masyarakat Sambas dan agar perlawanan tersebut tidak menyebarluas maka Belanda kemudian menangkap Siradj Sood selaku pemimpin PERBIS. Ia dituduh sebagai otak penggerak perlawanan masyarakat terhadap Belanda di Sambas. Setelah ditangkap, Siradj Sood menjalani hukuman penjara selama 2 tahun di penjara Sungai Jawi Pontianak. Pada tahun 1949, Siradj Sood bebas dari penjara dan kembali ke Sambas. Beliau berkumpul kembali ke tengah-tengah keluarga dan bergabung dengan masyarakat Sambas. Pada tanggal 23 Maret 1972, Siradj Sood meninggal dunia karena sakit dan jenazahnya dimakamkan di kampung Tumuk Kabupaten Sambas. Perjuangan Siradj Sood untuk bangsa dan negaranya patut diteladani oleh generasi muda. Jiwa pengorbanan yang dimiliki oleh Siradj Sood membuat penjajah Belanda harus bersusah payah dalam upayanya menjajah kembali Kalimantan Barat khususnya di daerah Sambas. Jiwa kepahlawanan Siradj Sood dapat ditunjukkan ketika dirinya rela tertembak peluru Belanda demi meraih bendera merah putih agar tidak jatuh ke tanah. Bahkan pada akhirnya, dirinya dipenjara oleh Belanda karena dituduh sebagai salah satu tokoh penggerak peristiwa berdarah tanggal 27 Oktober 1945 di Sambas.
Biografi Mohammad Alianyang
Mohhamad Alianyang |