Heroikme Pahlawan Kalbar

MERAH PUTIH BERDARAH DI SAMBAS
Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sebetulnya telah diketahui beberapa orang penduduk di Sambas melalui siaran radio Serawak Malaysia Timur. Karena tentara Jepang masih berada di daerah itu, berita penting tersebut hanya menyebar kepada seorang perseorangan saja. Kekhawatiran terhadap kebengisan Jepang masih melekat dan membayang di dalam diri masyarakat Sambas. Di Singkawang, berita proklamasi beredar masih secara tersem­bunyi di kalangan tertentu saja. Berita proklamasi yang lebih jelas baru diketahui di kota ini pada saat utusan Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI) Pontianak Ya' Achmad Dundik yang secara khusus datang ke Singkawang pada 2 Oktober 1945. Sedangkan warga Sambas mendapat kepastian bahwa Indonesia telah merdeka tatkala pemuda Gifni dan Zainuddin yang bermukim di Pontianak kembali ke Sambas. Berita itu kemudian menyebar dari mulut ke mulut dan sudah bukan suatu rahasia lagi sifatnya.

Setelah beberapa informasi itu diterima, kemudian berdirilah sebuah organisasi perjuangan yang bersifat politis diberi nama "Persatuan Bangsa Indonesia Sambas" (Perbis) dengan pimpinan HM Siradj Sood, Naim Abdurrazak, M Kemad, Umar Sood, Uray A Hamid. Selain itu juga dibentuk "Komite Nasional Sambas". Pada 17 Oktober 1945, tentara Sekutu terdiri dari orang Aus­tralia memasuki Sambas dan beberapa tempat lainnya. Tujuan mereka tidak lain, kecuali untuk melucuti senjata tentara dan menurunkan sejumlah bendera Jepang yang ada di Sambas. Kemudian pada 20 Oktober datang tentara Nederland lndische Civil Administration (NICA) di bawah pimpinan Assisten Residen Brieckvild dan sepasukan KNIL yang dipimpin Kapten Van der Schoors dan Sersan Mayor Blok. Tentara ini lengkap dengan persenjataan di tangan mereka. Baik NICA maupun pasukan KNIL, mereka kemudian menghimpun semua bekas tentara KNIL dan Polisi yang ada. NICA mengakui keberadaan barisan "Pendjaga Keamanan Oemoem" atau PKO yang tak sedikit jumlahnya, dan mayoritas orang Cina. PKO dipimpin oleh Rudolf van der Lief atau dikenal luas sebagai Dolop.

Melalui Naim A Razak, Kapten van der Schoors pimpinan pasukan KNIL, melakukan suatu pendekatan. Tujuannya agar Perbis ikut membantu NICA dalam menjalankan pemerintahan di Sambas dan sekitarnya. Pimpinan Perbis menolak dengan tegas tawaran Schoors dan Naim A Razak menyatakan bahwa Sambas adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia yang telah merdeka. Dan mereka tidak memerlukan bantuan dari NICA. Lebih sepekan kemudian, pada 26 Oktober 1945, datang rombongan M Akir dari Pemangkat dengan sebuah truk. Mereka di dalam truk tersebut mengibarkan bendera Merah Putih dan meneriakkan pekik merdeka di sepanjang jalan yang dilalui. Teriakan itu disambut warga Sambas dengan pekik yang sama. Rombongan M. Akir selanjutnya mengelilingi Sambas. Tindakan itu sebagai suatu demonstrasi terhadap Pemerintah Belanda (NICA) di Sambas dan sekitarnya. Rombonga. M Akir dari Pemangkat kemudian mengadakan rapat dengan pengurus Perbis di Sekolah Tarbiyatul Islam, dan dalam rapat itu diputuskan serta disepakati untuk mengirim delegasi ke Kantor Pemenntah NICA di Sambas. Pada hari itu juga sekitar pukul 15.30, rombongan menghadap pimpinan NICA untuk mengadakan suatu pertemuan.Tetapi mereka dihadang oleh satu regu tentara NlCA dan barisan PKO. Perundingan yang direncanakan pun batal dilaksanakan. Malam harinya dilaksanakan "rapat kilat" di rumah kediaman Mashudi Berader di Desa Tumuk. Dalam rapat kilat itu disimpulkan akan mengadakan suatu rapat umum bertempat di Gedung Bioskop Indonesia Theater Sambas.

Pada 27 Oktober 1945 pagi, sekitar pukul 07.00, sejumlah warga memasuki gedung bioskop Indonesia Theater. Rapat umum pun dimulai, silih berganti para pemuda berpidato mengobarkan semangat dan jiwa revolusi kepada yang hadir. Peserta rapat kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kantor Pemerintahan NICA (Belanda). Sampai ditujuan mereka langsung menurunkan bendera Belanda (Merah, Putih dan Biru) yang dikibarkan di halaman kantor tersebut. Kemudian digantikannya bendera tiga warna tersebut dengan Merah Putih dan diiringi Lagu Indonesia Raya serta bertalu-talu pekik merdeka. Selesai mengibarkan bendera Merah Putih, mereka berebutan menaiki Kantor Pemerintahan NICA (Belanda) dan mengobrak abriknya. Dari ruang kantor itu muncul seorang Indo-Belanda Rudolf van der Lief. Ia mengacungkan pistol di depan para pemuda. Tiba.-tiba seorang di antara pemuda dan massa demonstran dengan keberaniannya mendobrak Van der Lief yang kebingungan melihat ratusan warga Sambas. Pemuda tersebut bethasil mengepit leher Van der Lief dan dengan mudah menjatuhkan pistol dari genggamannya. Terjadilah pengeroyokan yang berakhir dengan tewasnya Van der Lief seketika.

Selanjutnya barisan massa menuju Istana Kesultanan Sambas, sebagian lagi menyerbu kantor polisi untuk merampas senjata yang dipergunakan oleh PKO. Mantri Polisi Sambas dijabat oleh Songot. Para demonstran telah sampai di alun-alun istana. Waktu menunjuk­kan pukul 11.00 siang, tanpa diduga sebelumnya terdengar suara gemuruh mobil menyerbu ke arah alun-alun di bawah pimpinan Van der Schoors. Dan dalam kendaraan yang dipergunakannya, Van der Schoors berteriak agar massa mengangkat tangan dan menyerahkan diri. Saat itu, di alun-alun Istana Kesultanan Sambas bendera Merah Putih belum sempat dikibarkan. Maksud semula bendera Merah Putih dikibarkan di kiri kanan Gerbang Paseban Istana. Bendera yang akan dikibarkan itu dipegang oleh pemuda Tabrani H Achmad. Gertakan Van der Schoors tak dihiraukan massa rakyat yang berbondong-bondong banyaknya. Tabrani H Achmad dengan langkah yakin maju ke tempat direncanakan semula untuk mengibarkan bendera Merah Putih, di hadapan mata Van der Schoors. Dan bersamaan dengan itu pula, tembakan senjata jenis stengun beruntun memuntahkan pelutu ke arah tubuh pemuda Tabrani H Achmad. Disusul kemudian dengan tusukan bayonet, seketika itu pula Tabrani jatuh terkulai bersimbah darah. Saat bendera Merah Putih yang dipegang Tabrani akan terjatuh, HM Siradj Sood dengan cekatan bergerak maju menangkap bendera tersebut. Kembali stengun tentara NICA-Belanda memuntahkan peluru dan bersarang di tulang belikat HM Siradj Sood. Tokoh Perbis itu tersungkur bersimbah darah. Oleh massa demonstran yang lain, HM Siradj Sood segera dilarikan ke rumah penduduk yang terdekat untuk diberikan pertolongan.

Setelah terjadi penembakan terhadap Tabrani H Achmad dan HM Siradj Sood, tentara NICA kemudian meninggalkan halaman istana kesultanan dengan melintasi jembatan Batu. Seorang pemuda lainnya, Sapali, mencoba untuk memotong jalan yang dilalui tentara NICA tadi. Sapali bermaksud untuk menuju ke rumah Maharaja Imam H Abdurrachman. Namun tentara NICA yang mengawasi gerak­ geriknya segera memberondongkan peluru mereka dan seketika itu pula Sapali tewas. Keesokan harinya pada 28 Oktober 1945, dilakukan penangkapan siang dan malam hari oleh Polisi bersama Tentara NICA dan KNIL terhadap orang-orang yang tergabung di dalam Perbis. Dan jam malam pun diberlakukan di seluruh Sambas dan sekitarnya. Diantara mereka yang berhasil ditangkapi seperti Uray Abdul Hamid,Uray Saidi, Hamidi A Rachman, Daeng Zayadi, Naim A Razak. Selang sebulan lebih kemudian, pada pertengahan Desember 1945, para pemuda di bawah koordinasi Uray Basjir menyebarkan informasi tentang rencana gerakan di Bengkayang dengan mengajak kerjasama para pemuda ke dalam suatu ikatan.Tujuannya adalah untuk menghadapi Belanda yang sekarang itu telah nyata menggantikan kedudukan Sekutu.

Sebuah organisasi telah terbentuk dikenal luas dengan nama "Gerakan Indonesia. Merdeka" atau Gerindom, di bawah pimpinan M Arief Satok, Ali Saleh, Ramli Saleh dan Munziri A Kadir. Gerindom telah menyusun suatu rencana untuk mengadakan sebuah gerakan, di mana dalam gerakan itu nantinya Sektor Barat dipimpin Alwi Bakran, Sektor Timur dipimpin Sarie Dahlan, Sektor Selatan dipimpin Uray Damiri dan Sektor Utara ditangani beberapa orang pemuda lainnya. Meski sudah nyata terbentuk, namun Gerindom dalam operasionalnya tetap dirahasiakan. Dan secara "gerakan bawah tanah", Gerindom meluas hingga Sanggau Ledo dan Seluas. Dalam waktu beberapa bulan kemudian, pada awal April 1946, diadakan sebuah rapat di sebuah kampung yang berjarak sekitar 20 Km dari Sambas. Rapat dilangsungkan di rumah kediaman Alwi Bakran. Dalam pertemuan itu antara lain dihadiri Raden Muhammad Nurdin, A Latief, M Arief Satok, Ali Saleh serta lima belas orang lainnya. Rapat bertujuan mengadakan "pemberontakan" ditandai dengan menyerbu tangsi militer Belanda.
Namun rencana itu ternyata bocor. Pada 10 April 1946, tentara NICA mengadakan suatu penangkapan terhadap sejumlah tokoh, di antaranya Alwi Bakran, D Miradj, M Arief Satok, Ali Saleh, Munziri A Kadir, Thabrani Ismail, Sjarie Dahlan dan beberapa orang lainnya lagi. Mereka kemudian ditahan dalam penjara dan ditempat­kan secara terpisah-pisah. Selama dalam tahanan mereka disiksa dipukuli oleh tentara NICA-Belanda. Terlebih-lebih terhadap diri Alwi Bakran, Daeng Zayadi dan M Arief Satok. Sersan Block yang menangani masalah tahanan memerintahkan kepada bawahannya agar para tahanan itu segera ditembak mati di pinggir sungai. Block yang melakukan introgasi menuntut pengakuan para tahanan tentang siapa yang membunuh Jan Rudolf van der Lief atau Dolop dalam suatu insiden beberapa waktu lalu. Tak seorang pun di antara tahanan yang mengakuinya. Akibatnya, siksaan terhadap mereka lebih ditingkatkan lagi.”Imbalan” dari siksaan itulah yang menyebabkan Daeng Zayadi sampai terganggu jiwanya, selain derita yang berkepanjangan. Melalui mata-mata yang dipergunakan NICA-Belanda, akhirnya mereka mengetahui pusat pergerakan para pemuda Sambas. Pada 14 Mei 1946, tentara NICA melakukan penyerbuan tempat pertahanan para pemuda, sehingga Misawa, seorang mantan Tentara Jepang yang bersimpati dan kemudian menggabungkan diri dengan para pemuda Sambas, tewas tertembak mati. Para pemuda di bawah komando Dolah, berhasil menyelamatkan diri dengan menyusup ke dalam semak belukar. Namun demikian, beberapa orang lainnya berhasil tertangkap, di antaranya Yusuf Amin, Imbong dan Jaret. Adapun mereka yang ditangkap terdahulu, seperti Ali Saleh, Muhammad Syahri, Uray Abdul Rachman, Jusin, Soni, Munzili Nawawi dan A Samad Mustafa telah "dikirim" ke Penjara Cipinang, Jakarta. Selanjutnya pada 12 Oktober 1946, pimpinan Gerindom, M Arief Satok ditangkap kembali untuk keduakalinya. Ia langsung diperiksa oleh Kapten Ven der Schoors yang bertindak selaku Controleur Sambas.

Pada 11 November 1946, berdirilah sebuah organisasi baru dengan nama "Persatuan Muslimin Indonesia" disingkat Permi. Organisasi politik ini diketuai HM Siradj Sood dengan sekretarisnya Fahri Satok. Beberapa orang pengurus lainnya di antaranya Tan Mohamad Saleh, Naim A Razak, Raden Maryam dan Raden Amalia. Dua nama terakhir adalah putri dari sultan Kesultanan Sambas. Sementara itu, penangkapan oleh tentara NICA-Belanda bukan hanya terjadi di Sambas. Penangkapan sejak meletusnya demonstrasi massal pada 27 Oktober 1945 terus berlanjut hingga ke Pemangkat dan Singkawang. Di Desa Semparuk, Pemangkat, para pemuda seperti Gazali Busri, Aminuddin, A Rani, Sairi dan lainnya mengadakan suatu perundingan. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menghimpun pemuda lainnya untuk mengintai kembalinya Tentara NICA ke Pemangkat. Mereka merencanakan untuk melakukan sebuah sabotase di jalanan. Hingga waktu yang telah dimatangkan, konvoi tenrara NICA yang diintai belum juga muncul. Akibatnya, Gazali Busri dan pemuda lainnya membubarkan diri. Namun sekitar setengah jam kemudian, konvoi tentara NICA yang ditunggu-tunggu sudah memasuki Pemangkat dan berhenti di Pasar Kampung Melayu. Gazali Busri yang hanya seorang diri datang mendekati kendaraan konvoi tentara NICA. Gazali terkejut, ketika dilihatnya dalam salah satu kendaraan telah ditawan sejumlah pemuda dari Sambas, seperti Uray Abdul Hamid yang telah tertangkap lebih dahulu. Para pemuda dari Sambas dan Pemangkat yang telah tertangkap itu oleh tentara NICA dimasukkan ke Penjara Kampung Sekip Lama.

Khawatir terhadap keselamatan para tawanan NICA tadi, para pemuda dan tokoh masyarakat Kampung Sekip Lama bermaksud mem­bebaskan mereka. Mereka kemudian mendatangi Kepala Kampung Sekip Lama, Karmin Rakiyo. Dalam sebuah pertemuan dengan Karmin, dihadiri antara lain oleh tokoh masyarakat setempat HM Sood. Dalam pertemuan itu disepakati untuk menyerbu Penjara Sekip Lama, untuk membebaskan para tawanan tenrara NICA-Belanda. Menjelang waktu Maghrib, Kepala Kampung Sekip Lama Karmin Rakiyo dan HM Sood serta Sarimin mengatur siasat. Sebelum rencana penyerbuan dilakukan, datang Kepala Polisi Singkawang, Bambang Tirtoredjo. Bambang menyarankan agar penyerbuan ke Penjara dibatalkan. Bambang menyetujui dan mendukung sepenuhnya rencana tersebut, hanya diingatkannya perlu untuk diingat dan dipikirkan, bahwa massa yang akan melakukan itu belum siap untuk berhadapan dengan tentara NICA yang memiliki senjata yang lengkap dan memadai. Nasihat Bambang itu diikuti para pemuda dan tokoh masyarakat. Penyerbuan ke penjara pun dibatalkan. Namun demikian, rencana penyerbuan ke Penjara Sekip Lama oleh warga setempat telah diketahui tentara NICA. Bambang Tirtoredjo sendiri kemudian ditangkap dan diadili oleh Polisi Militer. Setelah mendapatkan penyiksaan berat, Bambang kemudian dikirim ke Penjara Sungai Jawi, Pontianak. Tentara NICA semakin memperketat pengawasan terhadap warga Kampung Sekip Lama. Demikian pula di Sambas, Singkawang, Pemangkat dan daerah sekitarnya.

MEREBUT BENGKAYANG
Bertempat di rumah kediaman dr Salikan di Singkawang, pada 13 November 1945 diadakan sebuah rapat kilat. Rapat dipimpin dr Salikan tersebut dengan tujuan membentuk sebuah biro perjuangan. Pertemuan ini dihadiri sejumlah pemuda dan tokoh pemuka masyarakat. Rapat berhasil melahirkan sebuah organisasi perjuangan yang selanjutnya diberi nama "Barisan Pemberontak Republik Indonesia" disingkat BPRI, dengan pusat komando di Singkawang. Dalam rapat malam itu juga berhasil dirumuskan sebuah susunan kepengurusan BPRI. dr Salikan ditetapkan selaku Penasihat, Wan Abas sebagai Ketua. Wakill Ketua Bero Martosutigno, Mas Zaenal Abidin selaku Sekretaris. Kepengurusan lainnya dilengkapi pula dengan beberapa seksi, diantaranya Seksi Propaganda dan Penyelidikan Uray Usman, Seksi Pemuda dipercayakan kepada Sukimin, Sarimin, Tillah Wijaya dan Uray Dahlan M Suka. Akhir November 1945 beberapa pemuda dari daerah datang ke Pontianak untuk mengadakan perundingan. Pada 5 Desember 1945 di rumah kediaman Muchsim kembali dilakukan sebuah pertemuan yang bertujuan untuk menentukan langkah selanjutnya. Rapat dipimpin Alianyang berhasil mengambil tiga keputusan yang sangat penting. Pertama, segera mengadakan pemberontakan serentak di seluruh Kalimantan Barat, hanya waktunya belum ditentukan. Kedua, persia­pan-persiapan di daerah harus selekas mungkin disiapkan. Ketiga, pemberontakan serentak di seluruh Kalimantan Barat dilaksanakan setelah adanya instruksi dan koordinasi dari Pontianak.

Pertengahan Februari 1946, atas perintah dari dr M Soedarso dan R Soekotjo Katim, Alianyang menuju ke daerah Pantai Utara (daerah Kabupaten Sambas sekarang). Tujuannya untuk melakukan koordinasi seluruh persiapan, guna me1aksanakan pemberontakan bersenjata di Kalimantan Barat sebagaimana direncanakan semula. Awal April 1946, setelah melalui sebuah rapat di bawah pimpinan Alianyang, berhasil dibentuk sebuah organisasi perjuangan bersenjata. Organisasi ini selanjutnya dikenal luas dengan nama "Barisan Pemberontakan In­donesia Kalimantan Barat" yang disingkat dengan BPIKB. Pusat komando BPIKB ditetapkan berkedudukan di Bengkayang. Selain itu, juga ditetapkan susunan kepengurusan BPIKB, dengan Penasehat Dr. M Soedarso dan R Soekotjo Katim, Ketua (Komandan) Alianyang, Wakil Komandan (Wakil Ketua) Bambang Ismojo, Ajudan Tillah Widjaja, Kepala Staf Alibaruddin, Perlengkapan Karlan Kartodimedjo, Perbekalan Dahlan Saleh, Penyelidikan Yakob Achmad dan Seksi Perhubungan dipercayakan kepada Sukimin dan Achmad Djajadi.

Dalam suatu rapat yang diadakan BPIKB ditetapkan, bahwa pemberontakan bersenjata untuk wilayah Sambas dipusatkan di Bengkayang dengan mengupayakan merebut Bengkayang dari tangan tentara NICA-Belanda. Dipilihnya Bengkayang sebagai sasaran dan titik fokus pemberontakan, karena Bengkayang selain merupakan pusat tentara NICA di Sambas, Bengkayang juga strategis. Pertimbangan lainnya, Bngkayang dapat diserbu dari segala arah oleh Lasykar BPIKB yang berada di Mempawah, Seluas, Sanggau Ledo, Darit, Ngabang, Singkawang dan beberapa tempat terdekat. Pertimbangan lain, apabila pemberontakan itu mengalami kegagalan, lasykar BPIKB akan dapat dengan mudah meloloskan diri ke hutan-hutan untuk selanjutnya mengadakan gerilya. Guna mengatur strategi penyerangan Bengkayang, pertengahan Maret 1946 Alianyang datang ke Bengkayang. Bersama Alianyang turut serta berangkat ke sana Zainuddin, Hamid, Arifin Tarif dan Sarimin. Mereka semua sebelumnya lebih dahulu menyinggahi Singkawang, dan di Bengkayang ditempatkan di rumah kediaman Dahlan Saleh dari Mad Hasan. Dalam pertemuan itu dirumuskan suatu pembagian tugas komando, untuk mengatur pimpinan, strategi di Bengkayang dipercayakan kepada Alibaruddin BPIKB Bengkayang. Sedangkan Komandan Seksi Komando BPIKB Sungai Kunyit A Murrad Razak ditugaskan mengadakan penghadangan di ruas jalan yang menghubungkan Mempawah dengan Singkawang. Sedangkan Komando sektor BPIKB Mempawah di bawah pimpinan Abdullah Muhammad ditugaskan menghancurkan jembatan Kuala Mempawah.

Setelah perundingan dianggap usai, Zainuddin, Hamid dan Sarimin meninggalkan Bengkayang. Alianyang bertahan di Bengkayang untuk terus mengatur strategi selanjutnya. Pertemuan kembali dilakukan. Kali ini dipilih lokasi di pinggir Sungai Sebalo sekitar pukul 07.00 malam. Pertemuan berlangsung antara Alianyang dan pimpinan BPIKB Bengkayang, di antaranya Alibaruddin (Ketua), Fadil Djabir (Wakil Ketua), Dahlan Saleh (Seksi Propaganda dan Pertolongan), Yakob Achmad (Seksi Perhubungan) dan Karlan Kartodimedjo (Pemerintah dan Keuangan). Dalam pertemuan itu disepakati untuk melakukan penyerangan pada 31 Agustus 1946, bertepatan dengan hari besar Welhelmina. Direncanakan, semua anggota lasykar BPIKB pada waktu yang ditentukan memakai baju yang dikeluarkan, dan masing-masing membawa pisau belati serta berkain sarung. Serangan dilakukan secara mendadak di saat tentara NICA tengah mengadakan parade. Namun rencana itu ternyata gagal. Persis pada hari peringa­tan Welhelmina, penjagaan oleh tentara NICA-Belanda begitu ketat. Gerak-gerik rakyat diamati dengan seksama, sedangkan mereka yang dicurigai segera diamankan. Meski menemui kegagalan demikian, rencana untuk merebut Bengkayang terus berlanjut. Untuk menghim­pun kekuatan dalam menyerbu Bengkayang BPIKB telah mengutus Achmad Djajadi dan Sukimin unruk menemui pimpinan pergerakan bersenjata di Landak Ngabang. Di Ngabang telah terbentuk organi­sasi pergerakan bersenjata dengan nama "Gerakan Rakyat Merdeka" yang disingkat Geram.

Pertengahan September 1946, Alianyang mendatangi Uray Dahlan M Suka dan Tillah Widjaja untuk memperkuat basis pertahan di Desa Sebalo, 12 Km dari Bengkayang. Untuk suatu kordinasi, ketiganya mengadakan suatu pertemuan di rumah kediaman Uray Urip. Sepekan kemudian, datang Kapten Bambang Ismojo. Bambang Ismojo adalah pimpinan Pasukan BPIKB Sambas, kedatangannya secara khusus diurus oleh Uray Abdurrachman. Setelah dilakukan suatu koordinasi, selanjutnya dilanjutkan perjalanan menuju Kendaik dan Tenguwe. Di Tenguwe lasykar BPIKB menemui Panglima Busu dan Ya' Hafiz. Selanjutnya Tillah Widjaja dan Budjang Pin kembali ke Sebalo, sedangkan Sukimin meneruskan perjalanan ke Ngabang, guna menyampaikan rencana penyerangan Bengkayang kepada pimpinan Geram di Ngabang. Setibanya Tillah Widjaja dan Budjang Pin di Sebalo, segera dikirim utusan ke Bengkayang untuk menyampaikan hasil koordinasi layskar BPIKB dengan Pimpinan Geram di Ngabang. Saat bersamaan, tentara NICA-Belanda di Bengkayang sedang melakukan kunjungan ke Singkawang. Mendengar informasi tersebut, Tillah Widjaja, Budjang Pin dan Tamin kembali ke Kendaik untuk menjumpai Bambang Ismojo dan Uray Dahlan M Suka yang masih berada di sana. Bambang Ismojo segera melakukan koordinasi dan berhasil mengumpulkan sekitar tujuh puluh orang masyarakat. Saat itu juga perjalanan menuju Sebalo segera dilakukan. Penyerbuan direncanakan pada tengah malam 8 Oktober 1946, dengan sasaran rumah kediaman Controleur, kemudian Pos Polisi serta Sentral Telepon Bengkayang.

Sebelum Bengkayang diserang, pimpinan pasukan BPIKB Singkawang telah menginstruksikan seluruh pasukan di daerah pesisir selatan scperti Sungai Kunyit dan Sungai Duri untuk menghadang pasukan tentara NICA-Belanda yang datang dari arah Mempawah menuju Singkawang. Penghadangan itu dilakukan dengan menyusun batang-batang kelapa di tengah ruas jalan dan sekaligus melakukan penyerbuan di saat konvoi tentara NICA-Belanda tengah terhambat perjalanannya. Di Bengkayang suasana semakin mencekam. Satu persatu pasukan di bawah pimpinan Bambang Ismojo memasuki Bengkayang. Sebelum pukul 24.00 tengah malam, lasykar BPIKB sudah berada di dalam Kota Bengkayang. Pada waktu yang telah ditentukan, serangan mendadak segera dilancarkan. Hal itu rnenyebabkan anggota Polisi dan penjaga tangsi militer tak dapat membendung serbuan lasykar BPIKB. Akibatnya, tak ada perlawanan yang dilakukan oleh aparat NICA-Belanda tersebut. Seluruh Kota Bengkayang dapat dikuasai dan diduduki. Controleur, Polisi dan pegawai-pegawai yang dicurigai ditangkapi satu persatu untuk selanjutnya diamankan. Istri controleur, Nyonya Loez Caridozo ditahan di rumahnya dan dikawal serta diperlakukan dengan baik.

Dalam merebut Kota Bengkayang, tak terdapat korban yang jatuh di pihak lasykar BPIKB. Para tahanan NICA-Belanda yang berada di penjara segera dibebaskan. Seorang di antara tahanan yang dibebaskan adalah Marzuki. Selanjutnya pada malam itu juga, Marzuki ditugaskan berangkat ke Sambas untuk memberitahukan bahwa Bengkayang telah diserang dan berhasil diduduki. Pada tengah malam 8 Oktober 1946, setelah berhasil menduduki Bengkayang, diadakan pengibaran bendera Merah Putih. Bendera tersebut didapatkan dari bendera Belanda dengan terlebih dahulu disobek warna birunya oleh Dahlan Saleh. Kabar tentang telah berhasilnya menduduki Bengkayang segera dikirim Alibarudin dengan sandi "Aminah Telah Melahirkan Bayi Laki-­laki" ke Singkawang. Namun upaya itu mengalami kegagalan. Gagalnya pengiriman sandi tersebut kelaknya ternyata membawa dampak fatal terhadap pendudukan Kota Bengkayang selanjutnya.

Sementara itu, Bambang Ismojo mengatur strategi penjagaan dalam kota Bengkayang, agar tetap aman dan terjamin. Pertahanan diatur sedemikian rupa untuk menghindari gempuran dari ten tara NICA-Belanda. Pos pertahanan didirikan di Teriak. Pasukan di sini dipimpin Tillah Widjaja dan Njoto, mereka bertugas untuk menghadapi kedatangan bala bantuan tentara NICA dari arah Ngabang dan Pontianak. Satu pos pertahanan lagi juga didirikan di Gunung Pendering dipimpin Abdul Karim dan Musim. Keesokan harinya, 9 Oktober 1946 sekitar pukul 04.00 dini­hari, dengan mempergunakan kendaraan truk dikirim sepasukan Lasykar BPIKB menuju Ledo dan Sansak di bawah pimpinan Karlan Kartodimedjo, Yakob Achmad serta Ngadinun. Tugas utamanya adalah untuk mengambil alih pemerintahan di kedua tempat itu dan melaku­kan koordinasi selanjutnya. Semua persenjataan polisi berhasil dilucuti. Di Sanggau Ledo, seteah mengambil alih pemerintahan di sana, dilakukan sebuah pertemuan yang bertempat di Gedung Imazu. Pimpinan BPIKB Sanggau Ledo Sjahri Rasip selanjutnya ditugaskan ke Seluas untuk menyampaikan peristiwa di Bengkayang.

Setelah seluruh tugas selesai, Karlan Kartodimedjo bersama pasukannya kembali ke Bengkayang dengan membawa seorang tawanan M. Djohansjah, Assisten Demang Sanggau Ledo. Ia ditahan karena memihak kepada NICA-Belanda dan juga dinilai merintangi gerakan perjuangan BPIKB. Kota Bengkayang berhasil diduduki selama sekitar delapan belas jam sejak 8 Oktober 1946. Untuk mempertahankan Bengkayang dari serbuan tentara NICA-Belanda, Bambang Ismojo selanjutnya menempatkan pasukan menjadi tiga bagian. Masing-masing di Gunung Pendering, Kota Bengkayang dan Teriak. Sekitar pukul 10.00 pada 9 Okrober 1946, Alibarudin dan Tamin dengan mengendarai truk milik A. Sip, mengadakan pemeriksaan pasukan di Gunung Pandering sekaligus membawa suplay makanan untuk pasukan di sana. Untuk menambah kekuatan, Uray Dahlan M Suka dengan kendaraan truk menuju Sanggau Ledo. Mereka berangkat sekitar pukul 14.00 siang meninggalkan Bengkayang. Sekitar pukul 16.00 Bambang Ismojo bersama dua orang pengikut dan seorang sopir melakukan pengawasan terhadap front pertahanan di Gunung Pandering. Sekitar 2 Km setelah meninggalkan Bengkayang di Bukit Termenuk, pasukan Bambang Ismojo berhadapan dengan convoi bala bantuan tentara NICA-Belanda. Pasukan NICA-Belanda ini telah berhasil menerobos dan memporak porandakan pertahanan di Gunung Pandering.

Kontak senjata tak dapat dihindarkan. Bambang Ismojo dengan pasukannya bertahan habis-habisan. Dalam pertempuran itu, Bambang Ismojo tewas. Jenazah Bambang Ismojo segera dibawa tentara NICA-Belanda ke Singkawang. Jenazahnya diletakkan begitu saja dalam sebuah jeep yang digandeng dan diarak keliling Singkawang menuju tanah pekuburan Kampung Sekip Lama. Mayat Bambang Ismojo diturunkan dan dibiarkan tergeletak begitu saja di tanah. Sementara itu, Tillah Widjaja dan pasukannya yang mempertahankan pos Teriak dalam posisi terjepit. Tillah Widjaja akhirnya berhasil ditangkap NICA-­Belanda. Sebelum waktu Maghrib, Bengkayang akhirnya berhasil direbut kembali oleh NICA-Belanda. Uray Dahlan M Suka yang akan mengirim pasukan dari Sanggau Ledo ke Bengkayang  terIebih dahulu menanyakan keadaan melalui telepon. Jawaban yang didapatkan dari teleponis yang menerima suara Uray Dahlan M Suka mengatakan keadaan di Bengkayang aman. Namun sebetulnya, saat itu Kota Bengkayang sudah dikuasai tentara NICA-Belanda kembali. Setibanya di Jembatan Patok, rombongan Uray Dahlan M Suka diserang dengan gencar oleh tentara NICA-Belanda, akibatnya sebanyak 25 orang dari 27 orang anggota lasykar BPIKB tersebut gugur. Sedangkan dua orang lainnya dalam keadaan cidera berhasil meloloskan diri melalui semak belukar.

Dengan didudukinya kembali Bengkayang oleh tentara NICA-Belanda, Alianyang selaku Komandan BPIKB selanjutnya menuju ke Sempadian, Pemangkat dan langsung bergabung dengan barisan pemberontakan setempat. Sementara. Fadil Jabir dan Ngadinun menuju Singkawang, diperjalanan Ngadinun tertangkap oleh serdadu NICA-Belanda. Fadil Jabir dapat melolos­kan diri, kemudian dengan mempergunakan kapal layar menuju Singa­pura dan dari Singapura menuju ke Pulau Jawa meneruskan perjuangan di seberang. Mengingat kondisi Kota Bengkayang sudah diisolir ketat oleh penjagaan tentara NICA-Belanda, Alibarudin bcrsama rekan-rekannya yang lain seperti Dahlan Saleh, Karlan Kartodimedjo, Jakob Achmad, Musiman, Ali Mahmud dan beberapa orang lainnya menuju ke wilayah Landak. Setelah Bengkayang diduduki kembali oleh NICA-Belanda, mereka kemudian melancarkan sebuah operasi pembersihan dengan sasaran Sanggau Ledo. Dalam pembersihan yang dilancarkan itu, sebuah kontak senjata antara pihak NICA-Belanda dengan lasykar BPIKB pun terjadi. Dalam pertempuran itu seorang pemuda mengalami luka parah. Satu regu pasukan dari arah Sungai Duri di bawah pimpinan Bagong Taha dan Achmad yang merencanakan untuk membantu mempertahankan Kota Bengkayang dengan melalui jalan masuk ke Jelandang, kemudian ke Tunang dan dari Tunang untuk memasuki Bengkayang, menemui kegagalan. Sebelum memasuki Kota Bengkayang mereka mendapatkan inforrnasi bahwa Bengkayang sudah dijaga ketat dan telah dikuasai kembali oleh tentara NICA-Belanda.

PENYERBUAN TANGSI MILITER SAMBAS
Sejak Kota Bengkayang berhasil dikuasai kembali oleh tentara NICA-Belanda, lasykar BPIKB yang memusatkan pemberontakannya di kota tersebut berpencar mengundurkan diri hingga ke daerah Lan­dak. Hal itu dilakukan oleh Alibarudin, Karlan Kartodimedjo, Dahlan Saleh, Yakob Achmad dan Ali Mahmud. Perjalanan terus mereka lakukan dari Bengkayang menuju Darit dengan terlebih dahulu menerobos penjagaan ketat di seki tar Perigi. Di Darit, pimpinan pergerakan di sana Kimas Akil Abdurrach­man menyarankan agar rombongan Alibaruddin tersebut untuk segera berangkat dan menggabungkan diri menuju ke Jatak. Oleh Kimas Akil Abdurrachman diberitahukan, bahwa para pemuda di Jatak tengah mengadakan suatu persiapan guna merebut kembali Kota Ngabang setelah pecah pertempuran di Ngabang 10 Oktober 1946. Pimpinan pergerakan pemuda yang dipusatkan di Jatak dipimpin oleh abang kandung Kimas Akil Abdurrachman sendiri, yaitu Merseb Abdurrach­man. Tak berapa lamanya berada di Darit, di mana Darit telah dikuasai oleh para pemuda dan lasykar Geram di bawah pimpinan Kimas Akil Abdurrachman, rombongan Alibarudin selanjutnya dengan perantara pemuda dari Jatak melanjutkan perjalanan menuju Kuala Behe, pusat pergolakan Geram di Air Besar. Sementara itu Alianyang telah tiba di Kampung Semperiuk. Di sana bersama Yusuf Harun, Mustafa Maruf dan Masum (Kepala Kampung Semperiuk), Alianyang mengadakan suatu pertemuan. Dalam pertemuan itu Alianyang mengatur strategi untuk melakukan kembali pergerakan guna mengacaukan keadaan NICA-Belanda. Untuk mematangkan rencananya terscbut, beberapa kali dilakukan pengamatan terhadap kekuatan persenjataan maupun kesiapan tentara NICA-­Belanda. Namun, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa keadaan untuk maksud tersebut sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan.

Alianyang selanjutnya menuju ke Tekarang. Di Kampung Tekarang malam harinya Alianyang bersama sejumlah pemuda setempat kembali mengadakan suatu pertemuan di rumah kediaman Samirie H Nalo. Sebelum menginap dirumah kediaman Mahran Nakdum, Alianyang bermukim di rumah Samirie dengan tujuan untuk kembali menyusun kekuatan. Tempat yang dipilih Alianyang untuk rnengadakan pertemuan-pertemuan membahas rencana semula dipilih di daerah yang sangat terpencil. Dari Tekarang, Alianyang kemudian atas petunjuk H. Taufik menuju ke Kampung Pedada, Teluk Keramat. Pedada merupakan sebuah desa yang letaknya terpencil namun sangat stra­tegis. Di tempat ini kemudian dibentuk sebuah lasykar pergolakan dengan Alianyang selaku komandan pasukan dan Samirie H Nalo selaku wakil komandan. Kehadiran Alianyang di Kampung Sempadian kemudian diketahui para pelaku pemberontakan lainnya. Pimpinan pemberontakan Sambas Mochtar H Muchsin, pimpinan pemberontakan Kartiasa H Sjarie H Dachlan dan pimpinan pemberontakan Sejangkung Nahari pada 1 Januari 1949 datang menemui Samirie H Nalo di Tekarang. Pada permulaan 1949 itu, mereka menyampaikan maksud kepada Samirie H Nalo untuk menggalang kembali kekuatan yang terpencar. Tujuannya adalah untuk melakukan suatu gerakan guna mengacaukan keberadaan tentara NICA-Belanda. Sasaran yang akan dituju adalah tangsi militer NICA-­Belanda yang berada di Sambas.

Dalam waktu singkat diadakan sebuah perundingan untuk mematangkan rencana semula. Perundingan antara Alianyang dengan Samirie H Nalo, Mochtar H Muchsin, Sjarie H Dachlan dan Nahari berlangsung di muara Sungai Sempadian dan kata sepakat untuk menyerbu tangsi militer NICA-Belanda di Sambas dalam waktu sele­kasnya. Sejak 6 hingga 8 Januari 1949, lasykar rakyat yang kemudian menjadi sebuah pasukan di bawah komando Alianyang dan Samirie H Nalo telah berkumpul di Sembuai dan Rambaian. Basis pertahanan dipusatkan di Kampung Sembuai, Rembaian dan Sejangkung. Selanjutnya pada tengah malam, 9 Januari 1949, sedikitnya terdapat 75 orang anggota pasukan di bawah pimpinan Alianyang dan Samirie H Nalo, dengan menggunakan sampan dan perahu di bawah pekat malam, menyusuri sungai menuju Kartiasa. Kemudian dari Kartiasa mereka meniti jalan setapak menuju lokasi yang ditentu­kan. Tangsi militer NICA-Belanda yang didatangi itu terletak sekitar 5 Km dari Kartiasa. Dalam penyerbuan ke tangsi militer ini, pasukan dibagi ke dalam tiga kekuatan. Kelompok pertama dipimpin Alianyang, yang bertugas menyerbu tangsi dari arah depan. Kelompok kedua menyerbu rumah kediaman komandan militer tentara NICA­-Belanda, di bawah pimpinan Muchtar H Muchsin. Sedangkan kelompok ketiga, menuju Kampung Manggis untuk selanjutnya menuju Jembatan Batu dan terus berada di posisi belakang tangsi militer. Kelompok terakhir ini dipimpin H Sjarie H Dachlan.

Menyongsong waktu fajar, pasukan pemberontak di bawah komando Alianyang secara mendadak melakukan penyerbuan sesuai rencana semula. Pertempuran pun terjadi. Dalam pertempuran menyerbu tangsi militer NICA-Belanda di Sambas itu, tiga orang lasykar rakyat gugur tertembak, masing-masing Zainuddin, Saad dan Hasan. Sedangkan di pihak tentara NICA-Belanda, sedikitnya tewas sebanyak sembilan orang. Dalam serangan ini, tangsi militcr NICA­-Belanda berhasil diporak-porandakan. Karena keadaan yang memang tidak memungkinkan, Alianyang selanjutnya memerintahkan pasukan untuk mundur dan kembali ke pos pertahanan semula di Sembuai dan Rambaian. Pagi harinya, tentara NICA-Belanda melakukan penangkapan besar-besaran kembali terhadap pelaku penyerbuan tangsi militer. Ketua Permi Sambas, M Arief Satok pada tengah malam berhasil ditawan. Malam berikutnya ditangkap lagi beberapa tokoh pemuka masyarakat lainnya seperti Husni Bakar, Mas Muhammad, Siradj Usman, Tadjuddin dan Arifin. Setelah ditangkap, M Arief Satok bersama tertawan lainnya diperintahkan NICA-Belanda untuk memakamkan ketiga rekan mereka yang telah tewas tertembak.

Penjara Sambas tak mampu menampung sekaligus para pelaku pemberontakan. Selain telah ditawannya M Arief Satok dan beberapa lainnya tadi, di dalam penjara mereka kemudian disatukan dengan tawanan lainnya seperti A. Latif, Gifni Imran, H Ali, Sambuk, H Said, H Budjang, Ali M. Sunah, Sulaiman, Muaz Zakaria dan Busri Muchsin. Sementara itu, pelaku dan juga pimpinan pergolakan lainnya, yaitu Fahri Satok belum berhasil ditangkap. Fahri selanjutnya menjadi buronan, yang  dianggap NICA-Belanda sebagai penggerak pemberontakan bersama Alianyang dalam penyerbuan tangsi militer Sambas. Lasykar rakyat yang berhasil meloloskan diri dari penangka­pan tentara NICA-Belanda kembali ke basis pertahanan di Sembuai dan Rambaian. Namun dalam waktu selekasnya, pusat pertahanan itu berhasil diketahui militer NICA-Belanda, sehingga pusat penahanan tersebut dapat ditembus. Lasykar rakyat kemudian mengalihkan pusat pertahanan di Sendoyan untuk bertahan selama beberapa hari di sini. Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Acan, sebuah perkampungan yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia Timur. Lasykar rakyat riba di Acan pada 18 Januari 1949.

Di Acan terjadi lagi sebuah pertempuran. Lasykar rakyat kemudian mengalihkan lagi basis pertahanannya di Gunung Serantak dan Gunung Rasau. Dari sana selanjutnya perjalanan semacam grilya dilanjutkan dengan menuju Samatan dan seterusnya ke Teluk Serabang. Di Teluk Serabang terjadi suatu kontak senjata dengan patroli Inggris dari Malaysia Timur. Lasykar rakyat kemudian menuju ke Tanjung Datuk, selanjutnya dari Tanjung Datuk menuju Camar Bulan. Di Camar Bulan, lasykar rakyat berhadapan kembali dengan setengah kompi scrdadu NICA-Belanda pada 20 Maret 1949. Pertempuran demi pertempuran terus berlanjut, dan berakhir setelah adanya Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1947.

MEMPERTAHANKAN TANAH LANDAK
Pertengahan September 1945, atas inisiatif beberapa orang pemuda di Pontianak, dibentuk sebuah organisasi dengan nama "Panitia Penyongsong Republik Indonesia" disingkat PPRI. Dalam perkembangan selanjutnya, PPRI lebih dikenal sebagai "Pemuda Penyongsong Republik Indonesia". Pimpinan organisasi ini antara lain Muzani A Rani, Anang Djajadi  Saman, Ya' Umar Yasin, Ya' Achmad Dundik, Fauzi A Rani, Syarifuddin Effendy, Abi Hurairah Fattah, A Syukri Noor dan sejumlah pemuda lainnya. Pemuda-pemuda yang berasal dari daerah Landak Ngabang yang berada di Pontianak waktu itu, dan juga ikut serta dalam proses berdirinya PPRI tersebut, di antaranya Gusti Abdulhamid Aun, Ya' Achmad Dundik. Ya' Seman Yasin dan Ya' Umar Yasin mengadakan suatu konsolidasi. Gusti Abdulhamid Aun selanjutnya mengadakan hubungan dengan pemuda Kadaruddin B Mundit melalui telepon yang diterima oleh Ya' Mustafa Tayib dan Ismail Gani. Melalui pembicaraan telepon Gusti Abdulhamid Aun menyampaikan kepada Kadaruddin B Mundit, untuk bersiap-siap menghadapi pembentukan sebuah organisasi, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945.

Sejak disampaikannya informasi oleh Gusti Abdulhamid Aun kepada Kadaruddin dalam September 1945, sejak itulah berita mengenai kemerdekaan Indonesia mulai diketahui oleh masyarakat Ngabang khususnya. Selanjutnya, berita tentang kemerdekaan Indo­nesia tersebut di wilayah Kerajaan Landak meluas dengan disebarkannya pamflet-pamflet propaganda mengenai kemerdekaan. Gusti Abdulhamid Aun selain menyampaikan berita kemerdekaan melalui telepon, selanjutnya mengirimkan salinan teks proklamasi kemerde­kaan kepada pemuda Kadaruddin B Mundit, untuk diperbanyak di Ngabang. Guna memperbanyak salinan teks proklamasi kemerdekaan tersebut, Kadaruddin B Mundit selanjutnya berhubungan dengan pemuda militan A Rahman Zakaria. Oleh keduanya, salinan teks proklamasi yang dikirimkan Gusti Abdulhamid Aun dengan kendaraan truk Pontianak-Ngabang segera diperbanyak dengan ketik rangkap maupun ditulis ke dalam kertas lain. Untuk menyebarkan pamflet salinan tersebut, Kadaruddin B Mundit selanjutnya menugaskan Syamsudin, seorang pemuda bekas Heiho di Ngabang. Dengan demikian, sejak pertengahan September 1945, kabar tentang kemerdekaan Indonesia sudah diketahui luas di wilayah Landak.

Dalam Oktober 1945, pemuda-pemuda yang menyebarluaskan pamflet mengenai kemerdekaan Indonesia dipanggil untuk menghadap kepada Ajun Jaksa, M Saleh di Ngabang. Di antara para pemuda yang dipanggil dan untuk beberapa waktu sempat ditahan serta diberikan peringatan itu, seperti A Rahman Zakaria, A Fattah,­ Idris Abdurrachman, Daeng Saleh, Mahmud Amin dan Ya' Basuni Budjang. Selain mereka diberikan peringatan oleh Ajun Jaksa Ngabang, M Saleh, para pemuda itu juga dihadapkan kepada Controleur Ngabang yang dijabat oleh AB Faber. Selanjutnya, dalam Maret 1946, setelah sejak September 1945 di wilayah Landak disebarluaskan berita mengenai kemerdekaan In­donesia, Gusti Abdulhamid Aun bersama-sama dengan Gusti Lagum Amin, Jim Kadaruddin, M Ali Mihardja, Gusti Muhammad Said Ranie, Gusti Muhammad Seman Abas dan Muhammad Tajib, membentuk sebuah organisasi dengan diberi nama "Persatuan Rakyat Indonesia" yang disingkat dengan PRI. Organisasi ini bertujuan untuk menyatukan segenap lapisan masyarakat Onderafdeeling Landak, untuk mewujudkan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Dalam kepengurusan organisasi PRI yang bersifat politis ini, Wakil Panembahan Kerajaan Landak, Gusti Muhammad Affand Ranie, Pangeran Mangkubumi Setia Negara diangkat sebagai Kepala Penanggung jawab PRI untuk Onderafdeeling Landak. Wakilnya dipercayakan kepada Bardan Nadi (Sutrisno). Selaku penasehat terdiri dan Ya' Abdulhamid Daham Noor, Umar Digul dan A. Hamid Zakaria. Selaku pengurus dari organisasi PRI, Ketua I dipercayakan kepada Gusti Abdulhamid Aun, Ketua II Abdul Fattah. Kepengurusan lainnya di antaranya Gusti Basuni,.Ya' Basri Usman, Gusti Mustafa Sotol, Ya' A Hamid Yasin, Gusti Lagum Amin, A Rahman Zakaria, Gusti Jim Kadaruddin. Bagian propaganda diketuai Gusti Muhammad Said Ranie, dengan anggota di antaranya Hamzah H Sebon, Ya' Achmad Dundik, Merseb Abdurrachman, Kimas Akil Abdurrachman, Ya' Mursidi Hafiz, Gusti Sani, Ya' A Rahim Anom dan lain-lain. ­Pimpinan klasykaran diketuai Gusti Abdulhamid Aun, kepala keamanan kota dijabat oleh Gusti Muhammad Said Ranie, Bagian Penghubung Ngabang dengan Darit dijabat oleh Kadaruddin B Mundit. Selain itu ditetapkan pula, Kepala Pasukan untuk Onderdistrik Ngabang dijabat Ya' Nasri Usman (Ya'Dedeh), Komandan klasykaran Distrik Sengah Temila dijabat oleh Sardiman Nadi, Komandan klasykaran Distrik Air Besar dijabat oleh Gusti Sani. Dan Kepala Pasukan untuk Onderdistrik Menyuke dijabat oleh Bunyamin dengan wakilnya A Karim Mahmud.

Dalam Mei 1946, datang dua orang utusan dari BPIKB Singka­wang, Hamid Hasan dan Yusuf ke Kampung Tenguwe Distrik Air Besar. Keduanya menemui pimpinan PRI Distrik Air Besar yang markasnya berkedudukan di Kampung Tenguwe. Kedatangan Hamid Hasan dan Yusuf adalah untuk mencari dan mengadakan hubungan antara BPIKB dengan PRI. Dalam pertemuan antara kedua utusan dari Singkawang tersebut dengan pimpinan PRI setempat, dijelaskan bahwa di Singkawang saat mulai diadakan gerakan mengumpulkan para pemuda, terutama bekas Heiho, untuk selanjutnya akan mengadakan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah NICA-Belanda. Kedua utusan itu selanjutnya meneruskan perjalanan menuju Ngabang, untuk menemui pimpinan PRI Pusat di sana. Di Ngabang keduanya menyampaikan seperti apa yang telah diutarakannya kepada pimpinan PRI Tenguwe. Selanjutnya Juli 1946, kedua utusan tersebut kembali datang ke Tenguwe dan Ngabang. Kedatangan utusan BPIKB untuk kedua kalinya tersebut untuk menemui kembali pimpinan PRI, guna mendapatkan bantuan tenaga untuk bersama-sama merebut Bengkayang dari tangan NICA-Belanda. Oleh pimpinan PRI dikirim ke Bengkayang sebanyak enam puluh tiga orang lasykar PRI, dengan persenjataan senapan Lantak dan senjata tajam lainnya untuk membantu merebut Kota Bengkayang. Perjalanan dari Tenguwe dilakukan dengan berjalan kaki menuju Bengkayang melintasi jalan setapak semak belukar.

Akan tetapi, setibanya di Bengkayang ternyata belum ada persiapan yang memadai guna merebut Kota Bengkayang. Diperoleh informasi, bahwa dua hari sebelum kedatangan bantuan dari PRI Landak, di Singkawang tentara NICA-Belanda telah mengadakan penang­kapan-penangkapan terhadap pimpinan pergerakan dan tokoh masyarakat di sana. Selanjutnya, lasykar PRI yang sedianya membantu merebut Bengkayang tersebut kembali ke markasnya di Tenguwe. Tetapi sebelum memasuki Tenguwe, diperoleh informasi bahwa pasukan NICA-Belanda yang datang dari Ngabang tengah mengadakan patroli rutin di Tenguwe. Karena keadaan Kampung Tenguwe dalam kondisi sepi, di mana kaum laki-lakinya tidak banyak yang kelihatan, pihak tentara NICA-Belanda beranggapan mereka sedang pergi ke ladang. Dengan demikian, adanya rencana gerakan PRI di Tenguwe untuk membantu merebut Bengkayang, tidak diketahui oleh NICA-Belanda. Sebulan kemudian, sekitar pertengahan September 1946, untuk ketiga kalinya datang utusan dari BPIKB ke Kampung Tenguwe. Kali ini BPIKB mengutus Achmad Djajadi dan Sukimin dari Singkawang untuk menjelaskan tentang kegagalan perebutan Kota Bengkayang. Lebih lanjut, Sukimin dengan perantaraan Achmad Djajadi kembali minta bantuan sekali lagi kepada pimpinan PRI Landak untuk dapat mengirim bantuan untuk kembali merebut Kota Bengkayang. Ditambahkan Achmad Djajadi, bahwa saat itu rencana perebutan Bengkayang sudah diatur sedemikian rupa.

Pimpinan PRI Tenguwe memutuskan untuk mengirim sebanyak tiga puluh delapan orang lasykar PRI dengan senjata lengkap untuk membantu menyerbu Bengkayang. Lasykar PRI yang tidak menyerbu Bengkayang disiap-siagakan untuk menyerbu Kota Ngabang, yang sedang direncanakan oleh pimpinan PRI Onderafdeeling Landak. Lasykar PRI yang berangkat menuju Bengkayang dipimpin oleh Achmad Djajadi dan Ya' Jangkung. Pada 8 Oktober 1946, Bengkayang berhasil direbut di bawah pimpinan Alianyang. Dalam perebutan Kota Bengkayang itu, dalam suatu pertempuran untuk mempertahankan kata terscbut selanjutnya, empat orang lasykar PRI Tenguwe tertawan tentara NICA-Belanda. Keempatnya masing-masing Abdul Sani, Sla­met, Abdul Hamid dan Rumai. Keempat orang lasykar PRI itu selanjutnya dihukum vonis penjara di Cipinang Jakarta oleh pengadilan militer NICA-Belanda. Sejak dibentuknya PRI dalam Maret 1946, setelah berhasil menanamkan propaganda semangat mempertahankan kemerdekaan di daerah Onderafdeeling Landak, selanjutnya pada 9 Oktober 1946 pagi, PRI dibubarkan dan diganti dengan sebuah organisasi yang bersifat revolusioner. Organisasi tersebut diberi nama "Gerakan Rakyat Merdeka" disingkat dengan Geram. Susunan kepengurusannya tidak mengalami perubahan, yaitu kepengurusan organisasi sebelumnya (PRI). Hanya, sifat dari organisasi ini yang mengalami perubahan, di mana PRI bersifat politis, maka Geram lebih revolusioner atau sebuah gerakan bersenjata.

Dibentuknya organisasi Geram pada 9 Oktober 1946, dengan terlebih dahulu menghimpun berbagai informasi dari hubungan kontak perjuangan yang dilakukan antara pengurus PRI. Hubungan kontak mengenai rencana untuk melakukan suatu pergolakan di Onderafdeeling Landak itu, dijalin dengan mengadakan hubungan komunikasi dengan pemuda-pemuda Landak yang berada di luar Onderafdeeling Landak sendiri. Di Sintang, dijalin hubungan dengan pemuda Ya' Achmad Yaman, di Sanggau dengan Ya' Mohammad Idram Saiyan dan Gusti Alfasyah Sina. Rapat pembentukan Geram sendiri dilakukan di sebuah kawasan terpencil utara Kampung Raja, Ngabang. Tempat dirumuskannya organisasi Geram di rumah penggilingan karet milik Gusti Ismail Budjang. Rapat pembentukan Geram tersebut antara lain dihadiri Gusti Lagum Amin, Gusti Sani, Ngadim Nadi, Sardiman Nadi, M Lanang Halil, Muhammad Tajib, Djoko Waluyo, Hamdan Budjang dan pengurus PRI lainnya. Setelah berakhirnya rapat di rumah penggilingan karet di Kuban, menjelang subuh pada 9 Oktober 1946, kembali sebuah pertemuan dilangsungkan di rumah kediaman Wakil Panembahan Gusti Affandi Ranie. Hadir dalam pertemuan ini di antaranya Gusti Sani, Gusti Abdulhamid Aun, A Hamid Merseb, Gusti Lagum Amin, Gusti Muhammad Said Rani, Ya' Nasri Usman (Ya' Dedeh) dan Ngadimin Nadi. Dalam pertemuan itu disampaikan kepada Gusti Affandi mengenai rencana selanjutnya, bahwa di bawah koordinasi Geram, pada hari Kamis memasuki hari Jumat, tepat pergantian waktu memasuki 10 Oktober 1946, diseluruh Onderafdeeling Landak dengan dipusatkan di Ngabang dilakukan sebuah pemberonrakan bersenjata.

Dalam pertemuan antara unsur pimpinan yang akan menggerakan masing-masing lasykarnya itu, ditetapkan tiga sasaran pertempuran. Masing-masing dengan menyerang tangsi militer tentara NICA-Belanda di Hilir Kantor, menyerbu rumah kediaman Controleur di Hilir Tengah dan menyerang pos polisi untuk merampas persenja­taannya. Selain itu juga digariskan, apabila terpaksa harus mundur, semua lasykar Geram akan menyingkir ke hutan dan selanjutnya melakukan grilya di pedalaman. Untuk kesiapan penyerbuan sasaran yang telah ditentukan tersebut, sebelum pecah pertempuran akan disusupkan sejumlah lasykar Geram ke masing-masing sasaran. Untuk merampas persenjataan yang ada di pos polisi ditugaskan kepada Abo Muhammad Nour, seorang polisi yang pro Republik dan memang sudah ditugaskan secara khusus untuk merampas persenjataan di posnya. Komandan pertempuran Onderafdeeling Landak yang dipusatkan di Ngabang selanjutnya dipercayakan kepada Gusti Lagum Amin. Selain itu ditetapkan pula, komandan pertempuran Distrik Sengah Temila dijabat Bardan Nadi, Distrik Air Besar dijabat Gusti Sani Organ dan Y'a Aye Budjang Suwandi, dan untuk Onderdistrik Menyuke dijabat oleh Bunyamin.

Memasuki 10 Oktober 1946, dengan persenjataan karabin, granat tangan, senapan lantak dan senjata tajam lainnya, pecahlah pertempuran di Ngabang. Tembak menembak antara kedua belah pihak, lasykar Geram dengan tentara NICA-Belanda berlangsung sejak pukul 24.00 hingga pukul 06.00 pagi. Rencana penyerangan terhadap sasaran yang telah ditentukan sebelumnya ternyata bocor, di mana Demang Ngabang sendiri, beberapa saat sebelum penyerbuan dilaku­kan telah melaporkan kepada Controleur. Akibatnya, aparat militer NICA sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan dari massa rakyat Landak pada saatnya. Dalam pertempuran 10 Oktober 1946 di Ngabang itu, tidak terdapat korban jiwa yang gugur seketika. Keesokan harinya, 11 Oktober 1946, pihak militer NICA-Belanda dengan sigapnya mengadakan pembersihan memburu para pelaku pemberontakan. Ya' Nasri Usman (Ya' Dedeh) yang memimpin lasykar Geram menyerbu ke rumah kediaman Controleur, tertembak pangkal kakinya, akibatnya ketika baku tembak usai, tak dapat meloloskan dirinya. Akibatnya dapat dengan mudah tentara NICA-Belanda dengan KNIL-nya menangkap Ya' Nasri. Kelaknya, setelah Pengakuan Kedaulatan, Ya' Nasri Usman (Ya’ Dedeh) dikeluarkan dari penjara Ngabang yang dihuninya sejak 11 Oktober 1946, dalam keadaan sakit ingatan yang sangat serius. Tahun 1953 Ya’ Nasri Usman dikirim ke Jawa untuk berobat dari Pontianak dengan menumpang Kapal KPM. Namun sesampainya di Tanjung Priuk, Jakarta, para pengawal yang membawa Ya'. Nasri Usman menyatakan Ya' Nasri Usman telah menceburkan dirinya ke laut dan hilang seketika.

Pihak militer NICA-Belanda dari Ngabang terus melacak jejak lasykar Geram. Pada 11 Oktober 1946 malam, Wakil Panembahan Kerajaan Landak, Gusti Muhammad Affandi Ranie Setia Negara beserta beberapa pimpinan Geram lainnya meninggalkan Ngabang menuju Kampung Munggu. Di Munggu, Gusti Affandi memberi petunjuk kepada pimpinan lasykar Geram untuk tetap meneruskan pergerakan dan kembali menghimpun kekuatan yang telah terkocar-kacir. Mundurnya lasykar Geram dan Pangeran Mangkubumi Gusti Affandi ke Mungguk untuk menyusun kekuatan kembali, dilaporkan oleh seorang penduduk Kampung Munggu kepada pimpinan militer NICA di Ngabang. Dengan adanya laporan tersebut, pada 12 Oktober 1946 pagi, sepasukan militer NICA-Belanda dari Ngabang menuju Munggu. Di bawah komando Pangeran Mangkubumi Affandi Ranie, seluruh rakyat bersama lasykar Geram membuat pertahanan di luar Kampung Munggu. Hal itu untuk menghindari jatuhnya korban dalam suatu pertempuran. Sebelum pasukan yang dikirim ke Munggu tiba dengan memudiki Sungai Landak, kampung tersebut sudah berada dalam keadaan kosong ditinggalkan penghuninya.

Tentara NICA­-Belanda tidak berani menyusuri hutan pedalaman untuk melacak pusat pertahanan yang diinstruksikan Gusti Affandi. Akibatnya, untuk melampiaskan kejengkelannya, sepasukan tentara NICA-Belanda tadi menggeranati Kampung Munggu. Akibatnya segala harta benda milik penduduk habis berantakan, termasuk rumah kediaman Kepala Kampung Munggu Ali Matoa, yang semula dijadikan pusat pertahanan. Tentara NICA-Belanda gagal menghancurkan kekuatan lasykar Geram, selanjutnya kembali ke Ngabang. Pada 12 Oktober 1946 sore, sebagian dari lasykar Geram Ngabang dan Air Besar, meneruskan gerilya menuju Kuala Behe dipimpin langsung oleh Pangeran Gusti Affandi Ranie, didampingi Ay Budjang Suwandi dan sejumlah pimpinan Geram lainnya. Di Kuala Behe kemudian bergabung dengan lasykar Geram Menyuke yang sudah berada di sana di bawah pimpinan Bunyamin dan A. Karim Mahmud. Lasykar Geram dari Menyuke juga membawa beberapa orang tawanan, di antaranya Assisten Demang Darit, Mantri Rumah Sakit Darit dan beberapa pegawai serta polisi dari Darit. Hampir pada saat yang bersamaan, lasykar Geram di Sengah Temila dengan kekuatan sekitar seratus orang bersenjatakan senapan lantak dan senjata tajam lainnya, setelah kembali dari penyerbuan tangsi militer NICA di Ngabang, selanjutnya melakukan grilya. Di sepanjang ruas jalan yang menghubungkan Pontianak dengan Ngabang, mereka melakukan penghadangan. Lasykar Geram dari Sengah Temila ini dikoordinir langsung di bawah komando Sardiman Nadi, Ismail, Merseb, Budjang Dajam, Dalem dan lain-lain.

Pada 10 Oktobcr 1946, di saat pertempuran di Ngabang telah pecah, siangnya lasykar Geram Distrik Sengah Temila di bawah pimpinan Bardan Nadi berhasil menduduki kantor serta rumah kedia­man Kepala Distrik Sepatah, Demang Abdullatin. Selanjutnya, oleh Bardan Nadi (Sutrisno), rumah Demang Abdullatin ini dijadikan sebagai markas Geram di sana. Keesokan harinya, 11 Oktober 1946, sepasukan lasykar Geram dari Sepatah di bawah pimpinan Bardan Nadi dan Gusti Muhammad Saleh Aliuddin melakukan penghadangan di sepanjang jalan antara Ngabang dan Sebadu. Dalam penghadangan terhadap kedatangan konvoi bala bantuan tentara NICA-Belanda itu, terjadi kontak senjata tak berimbang. Seorang lasykar Geram, Dachlan, tewas tertcmbak. Sementara di Ngabang tcrus dilakukan pembersihan dengan penangkapan besar-besaran, dan tak sedikit lasykar Geram yang telah dikirim ke tangsi militer untuk diperiksa selanjutnya dipenjarakan dengan siksaan berat, pada 12 Oktober 1946 siang, sepasukan tentara NICA-Belanda dari Ngabang menuju Sidas dihadang lasykar Geram di Kampung Keniatan, Km 58. Dalam penghadangan itu, kontak senjata tak berimbang tak dapat dihindarkan. Akibatnya, Omah, seorang di antara lasykar Geram tewas seketika. Setelah menyiramkan pelurunya kepada lasykar Geram yang melakukan penghadangan dan telah dibuat kocar-kacir, sepasukan bala bantuan lalu kembali menuju Ngabang.

Pada 15 Oktober, tiga hari kemudian, dua truk berisi penuh tentara NICA-Be1anda dari Ngabang menuju Km 154 Kampung Kelawit, membakar rumah-rumah kediaman penduduk serta menghanguskan sebuah lumbung padi yang merupakan persediaan makanan dari lasykar Geram selama melakukan grilya. Pasukan tersebut selanjutnya menuju ke Senakin, Km 148, dan di sana mereka kembali melakukan pembumi hangusan terhadap kampung tersebut. Di Kampung Bebehan, Km 150, kehadiran bala tentara NICA-Belanda tersebut disambut dengan perlawanan oleh lasykar Geram setempat. Dikarenakan kekuatan tak berimbang dan pihak lawan jauh lebih memadai, seorang lasykar Geram, Djai, tewas tertembak. Keesokan harinya 16 Oktober 1946. seorang pimpinan teras Geram dan juga sebagai salah seorang pimpinan pertempuran untuk Onderafdeeling Landak, Gusti Mahmud Aliuddin ditangkap tentara Belanda. Pada hari yang sama dengan mengerahkan tiga truk beserta tentara bersenjata lengkap militer NICA-Belanda meninggalkan Ngabang menuju Sengah Temila.

Di perjalanan mereka dihadang di Km 153 oleh lasykar Geram Sengah Temila. Kembali pertempuran terjadi. Karena persenjataan yang jauh tak seimbang, ketiga truk tersebut dapat dengan mudah membobol penghadangan yang dilakukan.Selanjutnya truk-truk tersebut menuju, Kampung Sepatah dan di Sepatah mereka membumi hanguskan rumah kediaman Gusti Muhammad Saleh Aliuddin, salah seorang pimpinan Geram Sengah Teimila. Sekembalinya pasukan militer Belanda itu dari Sepatah, di Kampung Takijung, Km 149 kembali. pertempuran terjadi. Seorang lasykar Geram, Sidong yang memimpin penghadangan dapat ditawan. Selanjutnya, Sidong dibawa dan ditembak mati sebelum memasuki Ngabang.

PERJUANGAN DI PEDALAMAN LANDAK
Dua hari setelah meletusnya pertempuran mempertahankan lbukota Onderafdeeling Landak, Ngabang, pada 12 Oktober 1946 sore sebagian lasykar Geram dari Ngabang dan Air Besar melakukan gerilya ke pedalaman dengan menuju Kampung Kuala Behe. Perjalanan grilya memasuki pedalaman di dipimpin langsung oleh Wakil Panem­bahan Kerajaan Landak, Pangeran Mangkubumi Gusti Muhammad Affandi Ranie Setia Negara didampingi pimpinan Geram Air Besar, diantaranya Ay Budjang Suwandi dan beberapa pimpinan lainnya. Di Kuala Behe kemudian menggabungkan diri untuk suatu koordinasi dengan lasykar Geram dari Menyuke yang sudah berada di sana, dibawah pimpinan Bunyamin dan A. Karim Mahmud. Kedatangan lasykar Geram Menyuke dipimpin Bunyamin ini juga membawa sejumlah tawa­nan. Di antaraa yang ditawan oleh lasykar Geram Menyuke,seperti Assisten Demang Darit beserta pegawawai-pegawainya, seorang Mantri Rumah Sakit yang bernama Ringkat serta dua orang polisi. Pada malam harinya, bertempat di rumah kediaman Kepala Kampung Kuala Behe, Ahdurrani, diadakan rapat pimpinan lasykar Geram langsung dipimpin Gusti Affandi. Dalam rapat tersebut dirumuskan untuk kedua kalinya merebut Kota Ngabang dari Kampung Ambarang. Lasykar Geram yang berada di Kuala Behe saat itu sedi­kitnya berjumlah 350 orang, merupakan gabungan dari tiga daerah. Masing-masing dari Ngabang, Menyuke dan Air Besar. Selanjutnya lasykar Geram tersebut dipimpin oleh Gusti Affandi Ranie, Achmad Djajadi dan Gusti Sani Organ.

Dalam rencana penyerbuan kembali Ngabang, diputuskan akan dilakukan pada 13 Oktober 1946. Perjalanan menuju Ambarang terle­bih dahulu dengan melintasi Serimbu. Rombongan yang dipimpin Gusti Affandi berangkat dari Kuala Behe mempergunakan perahu melalui Sungai Landak menuju Kampung Tersak dengan membawa tawanan Asisten Demang Darit yang bernama Rahimin dan Mantri RumahSakit yang bernama Ringkat. Ikut mendampingi Gusti Arfandi diantaranya Ya' Muhidin, Abdurrani Kepala Kampung Kuala Behe, Gusti Muhammad Said Ranie saudara dari Gusti Affandi sendiri, dan beberapa orang pimpinan Geram lainnya. Di Serimbu, seluruh pegawai kantor Demang menyatakan bergabung dengan lasykar Geram yang mendatangi mereka. Pada 14 Oktober 1946 subuh, lasykar Geram berangkat dari Serimbu melalui jalan setapak menuju Kampung Ambarang, untuk maksud semula menyerang kembali Kota Ngabang. Malamnya, 15 Oktober lasykar Geram tiba di Kampung Ambarang. Ternyata penduduk kampung tersebut kosong. Hanya beberapa orang saja yang masih berada di rumahnya. Kondisi tersebut, diam-diam dimanfaatkan oleh kaki tangan NICA-Belanda untuk melaporkan ke Ngabang, bahwa di Ambarang lasykar Geram tengah berkumpul.

Berdasarkan laporan kaki tangan tersebut, pada 15 Oktober 1946 pagi, sepasukan militer NICA-Belanda menyerang dan mengepung Kampung Ambarang, 15 Km dan Ngabang. Kedatangan tentara NICA-Belanda tersebut disambut oleh lasykar Geram dengan baku tembak mempergunakan senjata senapan lantak. granat tangan dan karabin. Akibat kondisi persenjataan yang tak seimbang. lasykar Geram terkocar-kacirkan. Dalam kontak senjata tersebut, dua orang lasykar Geram dapat tertawan dan kemudian dibawa ke rumah penjara Ngabang. Sedangkan di pihak militer NICA-Belanda. tewas sejumlah empat orang perwira. Untuk mempertahankan diri, l.asykar Geram dari Distrik Nga­bang yang berada di Ambarang selanjutnya mengundurkan diri kembali ke arah Serimbu di bawah komando Gusti Lagum Amin. Setibanya di Kampung Anyang, lasykar Geram kemudian mendirikan markas pertahanan di sana. Sedangkan lasykar Geram dari Air Besar kemu­dian mendirikan pertahanan di Kampung Bangkup Semedang di bawah pimpinan Ay Budjang Suwandi. Sedangkan lasykar Geram yang mengundurkan diri ke Kampung Papung dipimpin oleh Gusti Sani Organ. Selanjutnya dari Papung menuju ke Jata Menyuke. Pusat penahanan lasykar Geram di Kampung Anyang karena semakin tidak memungkinkan lagi untuk bertahan. selanjutnya dialihkan ke Gunung Berambang. Dalam suatu kontak senjata, pihak NICA-Belanda berhasil menawan Ya' Hafiz dan Ya' Kadaiyana bekas juru tulis Demang Serimbu, di mana. keduanya merupakan tokoh pemuka masyarakat di Serimbu.

Selanjutnya, pihak militer NlCA-Belanda semakin merasa gusar atas aktifitas grilya lasykar Geram Landak di pedalaman. Mereka kemudian mengadakan kembali suatu pembersihan besar-besaran. Komandan tentara KNIL yang bertugas di Serimbu, seorang sersan, merasa frustrasi atas kegagalan anak buahnya memadamkan gerakan di Air Besar kemudian menembak dirinya sendiri dengan senjata yang ada padanya. Kampung Anyang kemudian digeledah dan dirumah Kepala Kampung Anyang ditemukan sejumlah dokumen pergerakan Geram. Dengan demikian maka dengan mudah pihak militer NICA-Belanda yang tengah mengadakan pembersihan itu menangkapi Kepala Kampung Anyang Muhammad Umar, seorang khatib dan juga ulama bernama Ismail serta seorang pemuka masyarakat bernama Husin. Ketiganya kemudian ditembak mati seketika setelah diseret dari dalam rumahnya. Di Kampung Tenguwe, pembersihan besar-besaran kembali dilakukan, sehingga militer NICA-Belanda dapat menangkapi sejumlah pimpinan lasykar Geram di sana. Mereka yang tertangkap di Tenguwe di antaranya Ya' Muhidin, Ya' Achmad Dundik, Ya' A Rahim Anom, Ya' Jangkung dan Ya' Saleh Usman.


Lasykar Geram dari Menyuke yang dipimpin Bunyamin dan A Karim Mahmud selanjutnya mengundurkan diri ke Kampung Tenguwe. Namun, sebelum sampai di tujuan didapat informasi bahwa di sana tengah dilakukan suatu pembersihan oleh militer NICA-­Belanda yang datang dari jurusan Bengkayang dan Ngabang. Sesuai dengan rencana semula, untuk kemball ke markas lasykar Geram yang berkedudukan di Kampung Jata dan bergabung dengan lasykar Geram Sengah Temila, guna melakukan penghadangan di ruas jalan yang menghubungkan Pontianak dengan Ngabang. Dengan demikian, maksud untuk menuju Tenguwe diurungkan dan selanjutnya kembali menuju Jata. Akan tetapi, rencana perjalanan untuk melakukan koordinasi kekuatan dengan lasykar Geram Sengah Temila itu sudah bocor ke pihak militer NICA-Belanda. Militer NICA-Belanda di bawah pimpi­nan Kapten Martin terus menerus memimpin operasi pembersihan. Kampung Jata, Darit dan Meranti terus didatanginya bersama sepa­sukan bersenjata lengkap disertai oleh seorang mata-mata yang sengaja dipasang NICA-Belanda di wilayah tersebut. Akibatnya, berhasil ditawan sejumlah pimpinan Geram secempat. Di antaranya tertangkaplah Kadaruddin, Abdul Azis, Matnoh, Budjang, A Hamid Djahin, Gusti Muhammad Saleh Tahir, Ija, M. Yaman, Achmad Budjang dan sejumlah lainnya.

Penangkapan terakhir yang dilakukan militer NICA-Belanda terhadap pimpinan lasykar Geram Menyuke merupakan penangkapan habis-habisan dengan sangat kejam, di mana tiga pimpinan lasykar Geram setempat, Bunyamin, M Kasim dan A.Rani Dawin ditangkap di simpang jalan Jata menuju Darit. Ketiganya ditembak dengan temba­kan gencar senapan mesin. A Rani Dawin meninggal seketika, sedangkan Bunyamin H Seman dan M Kasim H Seman meski sekujur tubuhnya telah diberondong dengan senapan mesin, namun masih dapat menyelamatkan diri kembali ke kampung halamannya Jata. Kedatangan kembali kedua orang pemimpin lasykar Geram dengan badan penuh luka tembakan itu dilaporkan oleh mata-mata. Selanjutnya berdasarkan laporan mata-mata tersebut, Bunyamin H Seman dan M Kasim H Seman ditangkap kembali dan dibawa lagi ke tempat penembakannya semula di simpang Jata. Sebelum ditembak keduanya disiksa terlebih dahulu, hingga akhirnya tewas seketika akibat tusukan bayonet dan dipaksa untuk menelan cabikan bendera Merah Putih.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada 29 Oktober 1946 pagi, pimpinan pertempuran lasykar Geram mengadakan pemeriksaan terhadap markas Geram di Sidas dan sebuah gudang mesiu. Kedua rumah tersebut telah dikosongkan oleh penghuninya untuk dipergunakan lasykar Geram. Inspeksi ini bertujuan untuk mengetahui kesiap siagaan lasykar Geram sejumlah sekitar tiga ratus orang di sana untuk gerakan lebih lanjut. Namun inspeksi rahasia dari pimpinan Geram kepada komandan pasukan dan regu untuk maksud tersebut telah diketahui militer NICA-Belanda. Secara tiba-tiba pada pukul 12.00, hanya dalam jarak sekitar 50 meter, pihak militer NICA-Belanda telah berhadapan dengan lasykar Geram di Sidas. Komandan pasukan militer NICA­Belanda memerintahkan agar pasukan lasykar Geram untuk menyerahkan diri seketika. Namun seruan itu sama sekali tidak dihiraukan. Dalam pertempuran berjarak sekitar 50 meter dengan persenjataan jauh tak seimbang itu, pimpinan pasukan lasykar Geram langsung ditangani Bardan Nadi (Sutrisno) dengan wakilnya Mane Pak Kasih. Teriakan lantang dari. pasukan militer NICA-Belanda, agar lasykar Geram meletakkan senjata segera mendapat jawaban berupa tembakan dari moncong laras senapan lantak. Lasykar Geram terus maju menyerbu dengan persenjataan tajam lainnya berupa mandau, pedang dan bambu runcing. Akibatnya, dengan berondongan senapan mesin dan militer NICA-Belanda, sejumlah dua puluh tiga orang lasykar Geram tewas seketika. Mereka yang gugur dalam pertempuran Sidas pada 29 Oktober 1946, masing-masing Mane Pak Kasih, Dalen, Husein Bahauddin, Sukma, Mujalim, Budjang, Icik, Ya' Ay Tajuddin Mohidin, Amat Bolek, Jiak, Seman, Injus, Johari, Pukim, Dilam, Unsa Musang, Kowe, Baap, Ralai, Abdul Azis, Sama, Kari dan Usman Ketapang.

Militer NICA-Belanda bermaksud untuk menangkap hidup-­hidup Bardan Nadi. Begitu pasukan bersenjata lengkap itu tiba di Kam­pung Ransam, mereka mendapatkan sebuah perlawanan dari rakyat di sana. Bardan Nadi (Sutrisno) rnenyadari bahwa dirinya dalam bahaya. Seketika itu pula, selembar dokumen pcrgerakan rakyat Landak diselamatkannya dengan cara ditelan lumat dalam mulutnya. Dari luar rumah pertahanannya, militer NICA-Belanda dengan gencar melepaskan tembakan. Ketika itulah, sebutir timas panas lepas dari moncong laras senapan mesin NICA-Belanda, telah merenggut jiwa seorang putri Bardan Nadi yang masih berusia kanak-kanak yang bernama Paini Trisnowati. Anak tersebut tewas seketika.Akibat gugurnya putri kesayangan dari gendongannya, Bardan Nadi tak berdaya melihat kenyataan yang ada. Dalam kondisi yang demikianlah, militer NICA-Belanda berhasil menawannya. Beberapa orang pendamping Bardan, di antaranya Buang bin Budjang dan Abu Nawan ikut ditangkap. Pada hari itu juga, Bardan dikirim ke tangsi militer di Ngabang, untuk beberapa saat kemudian ditahan di rumah penjara Ngabang. Keesokan harinya dikirim ke rumah penjara Sungai Jawi Pontianak.

Selama menjalani hukuman di Pontianak, setiap harinya dengan tidak berhenti-henti, Bardan mendapat penyiksaan berat. Pada kesudahannya, melalui keputusan dari pengadilan militer NICA-­Belanda yang mengadilinya, Bardan dijatuhi hukuman tembak mati. Beberapa saat sebelum menjalani hukuman tembak mati tersebut, pada 17 April 1947, Bardan mengajukan beberapa permintaan. Dan permintaan itu seluruhnya dikabulkan masing-masing ia memimpin tahanan pemberontakan lainnya untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dan permintaan lainnya, ia tak ingin ditutup matanya dengan kain hitam ketika penembakan dilakukan atas dirinya. Setelah Bardan menyampaikan kata perpisahan terakhir dengan rekan-rekan seperjuangannya, oleh satu regu tembak pada 17 April 1947 di lokasi pos penjagaan II  rumah penjara Sungai Jawi Pontianak,Bardan Nadi (Sutrisno) menjalani hukuman mati. Setelah pengakuan kedaulatan, kerangka Bardan dlpindahkan ke Ngabang. Dan dalam tahun 1996, kembali kerangka Bardan Nadi bersama putrinya Paini Trisnowati yang  dimakamkan di Ransam Sepatah, dipindahkan ke Makam Juang Rakyat Landak, di Km 2 Kota Ngabang.

LASYKAR MERAH PUTIH PERTAHANKAN MELAWI
Agustus 1945, Jepang menyerah kalah terhadap Sekutu. Oleh pihak Jepang, kenyataan itu sangat dirahasiakannya sekali, di antaranya melakukan sensor ketat atas segala, bentuk pemberitaan tentang kenyataan itu di Nanga Pinoh seorang Kepala Pos Y. Moris, sebetulnya telah mendengar berita mengenai kekalahan Jepang tersebut melewati radio yang dimiliki dan disimpannya dengan sembunyi. Merah Putih bersama lagu Indonesia Raya diperkenankan menyertai upacara itu. Ketika bendera Hinomaru dikibarkan, ternyata bendera terse­but terjatuh ke tanah. Oleh Bunken Kanrikan bendera tersebut diperintah untuk dikibarkan ulang. Setelah mengibarkan bendera Hinomaru dan Merah Putih dengan menyanyikan lagn Indonesia Raya, Bunken Kanrikan menyampaikan pidatonya. Dengan suara yang lantang, Bunken Kanrikan menyatakan bahwa ia oleh pimpinannya di­panggil untuk berangkat ke Sintang. Dan sebelum menutup pidaton­ya, ia menyatakan agar rakyat Nanga Pinoh-Melawi, memelihara semangat hidup para pemuda. Dan dengan samar ia mengatakan, bahwa kelaknya rakyat di sana akan diberikan kemerdekaan. Sejak berangkatnya Bunken Kanrikan beserta juga aparat Jepang di Nanga Pinoh menuju Sintang, daerah ini mengalami keko­songan penguasa. Berselang sepekan kemudian, tibalah di Nanga Pinoh rombongan para pemuda yang dulunya dijadikan sebagai Heiho. Para pemuda bekas Heiho itu datang kembali ke Nanga Pinoh, untuk maksud kembali ke kampung halamannya. Kebanyakan mereka bermukim di Kampung Pal. Selain itu, juga untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Pada 9 September 1945, di masjid Kmapung Pal Nanga Pinoh, penuh sesak masyarakat muslim khususnya, melaksanakan sholat Iedul Fitri. Usai sholat itulah, Guntyo Abdulkadir Jailani menyampaikan sebuah pengumuman penting. Dalam pengumumannya itu, Abdulkadir menyatakan tentang kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Mendengar penjelasan itu masyarakat yang menghadiri sholat Iedul Fitri tersebut menyambut dengan rasa lega. Sebab dengan sendirinya. berarti kemerdekaan bangsa sudah ada di tangan mereka. Untuk lebih meyakinkan masyarakat Nanga Pinoh, Abdulkadir Jailani menyampaikan pula keterangan yang diperolehnya dari Ade Muhammad Djohan. Tak berapa lama setelah warga pulang dari sholat menuju rumahnya masing-masing, menderulah sebuah pesawat dalam keadaan terbang rendah. Dari udara, seketika itu pesawat tersebut menebarkan kertas putih yang berhamburan dibawa angin. Setelah surat selebaran dari udara itu dipunguti, didapatkan keterangan tentang kekalahan Jepang. Di dalam pamlet udara itu, juga disertai foto penyerahan tanpa syarat Jepang kepada Sekutu.

Tak berapa lama waktunya setelah kejadian itu, di saat Nanga Pinoh tengah kosong pengendalian pemerintahannya, datang satu pleton polisi perintis di bawah pimpinan seorang Hoofd Agent yang bernama Sandakila. Di dalamnya terdapat polisi dari militer NICA-Belanda yang membonceng Sekutu. Memasuki awal 1946, di Nanga Pinoh tiba seorang Controleur yang bertugas sebagai Onderafdeelingchef (OAC). Ia mendapat tugas untuk melaksanakan pemerintahan sipil di daerah Melawi. Kedatangan OAC beserta perangkatnya itu disambut oleh orang-orang Cina yang menyatakan diri mereka sebagai bagian dari PKO. Setelah Controleur tiba di Melawi, langsung beberapa hari kemudian mengadakan kunjungannya ke pehuluan Sungai Pinoh. Kedatangan controleur selaku OAC itu dilengkapi pula dengan perangkat militernya yang menyandang senjata modern. Sementara itu, di Nanga Pinoh, badan pembagian yang disebut Kumiai yang dipimpin Ade Muhammad Djohan diubah namanya menjadi Niegio, sebagai sebuah badan pembagian (distribusi) yang berada di bawah pengawasan NICA-Belanda. Tugasnya adalah melakukan pembagian bahan pokok kepada pegawai-pegawai, guru dan juga masyarakat. Saat itu, bahan sandang dan pangan serta keperluan lainnya dibagikan kepada masyarakat luas. Barang-barang yang dibagikan tersebut berlabelkan Australia, yang kesemuanya dibagikan dengan cuma-cuma.

Di pelosok-pelosok Melawi, para pemuda berkumpul dengan sembunyi-sembunyi. Mereka mendiskusikan mengenai kemerdekaan Indonesia. Beberapa selebaran dan pamflet mereka terima dari Nurdin Sidik di Sintang, melalui perantara Supardi A. Tahir, Isja dan Salim yang berada di Nanga Pinoh. Selanjutnya, melalui M. Yusuf Haris diperoleh kepastian mengenai kemerdekaan Indonesia, dari majalah yang dibawanya dari Padang, Sumatra Barat. Maka semakin yakinlah para pemuda di sana mengenai kepastian bahwa Indonesia sudah merdeka. Pada saat tersebut, serdadu-serdadu militer NICA-Belanda telah berada di Nanga Pinoh. Di rumah kediaman A.M. Djohan sering diadakan pertemuan untuk membicarakan langkah-langkah selanjutnya. Sekalipun Ade Djohan kemudian dipindahkan ke Sintang, namun ia kerap mudik ke Melawi untuk mengetahui sejauh mana persiapan dalam mempertahankan kemerdekaan. Masih pada awal 1946, Chairul Rasjid datang ke Nanga Pinoh menginap di rumah kediaman A. Manan di Kampung Pal Nanga Pinoh. Ia mendiskusikan tentang pergerakan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia di Sumatra dan Jawa, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sebab Belanda kembali akan menguasai Indonesia. Untuk menindaklanjuti apa yang didiskusikannya itu, Chairul Rasjid kemudian berhubungan dengan Baginda Djalaluddin Hatim, Ade Muhammad Djohan dan M. Saad Aim.

Di Nanga Pinoh segera tersebar berita, bahwa pemerintah Republik Indonesia akan menurunkan sepasukan penerjun payung ke Kalimantan Barat guna mempertahankan kemerdekaan di sini. Untuk hal itulah, pemuda M. Saad, Unut Tahir dan Yusman Bering mengum­pulkan para pemuda. Di luar itu, kesibukan pejabat NICA-Belanda tidak dihiraukan rakyat. Aparat NICA-Belanda setiap harinya hilir mudik Melawi, Serawai dan Kotabaru. Militer NICA-Belanda sibuk menyebarkan pamf1et yang sifatnya mempropagandakan, perjuangan rakyat di Jawa dan Sumatra sebagai suatu tindakan yang menentang mereka. Dalam kesibukan yang demikian, bertempat di rumah kediaman A. M. Djohan dan Nawawi, dilangsungkan sebuah pertemuan. Dalam pertemuan itu dirumuskan suatu persiapan untuk menampung pasukan yang akan dikirim oleh pemerintah Republik Indonesia yang akan diterjunkan di perbatasan Nanga Pinoh, Ella dan Melawi. Pertemuan itu antara lain dihadiri Baginda Djalaluddin Hatim, M. Nawawi Hasan, Abang Patul, M. Saad Aim, Itut, Umut Thalib Umar dan Abdurrazak. Seanjutnya dalam musyawarah itu dibentuklah sebuah kepanitiaan kecil yang diberi nama "Badan Organisasi Pemberontak Merah Putih" disingkat dengan BOPMP. Semula organisasi ini diberi nama Badan Pemberontak Daerah Melawi. Selanjutnya, dalam waktu relatif singkat, berita terbentuknya BOPMP ini segera menjadi pembicaraan rakyat di mana-mana di daerah Melawi.

Organisasi BOPMP terbentuk dalam Februari 1946, dengan diketuai Bagindo Djalaluddin Hatim. Dalam komposisi kepenguru­sannya dilengkapi dengan Bagian Propaganda M. Nawawi Hasan, Pimpinan Pasukan Penggempur dengan komandan M. Saad Aim. Badan Penghubung dipimpin Abang Patul, Bagian administrasi dipimpin Abang Tahir, Bagian Perlengkapan dipimpin Ade Jusman Baduwi dan Usman Ando. Oleh BOPMP ini, selanjutnya dikirimlah Sutan Maksum sebagai kurir melalui Sungai Pinoh menuju ke Kalimantan Tengah dengan melewati Sungai Sayan dan Geriang. Tujuannya untuk mengadakan hubungan kontak perjuangan dengan Kapten Mulyono dan Tjilik Riwut serta Markasan di Kalimantan Tengah. Selanjutnya dari Nanga Manjul Kalimantan Selatan, datang seorang kurir bernama Wan' Danum bin Syarif Abdurrachman yang membawa dokumen perjuangan untuk disampaikan kepada pimpinan BOPMP. Ia melintasi aliran Sungai Sayan untuk kemudian memasuki Nanga Pinoh.

BOPMP segera bergerak menghubungi rakyat dan khususnya pemuda, guna mempersiapkan rencana perjuangan yang sudah digaris­kan. Tidak hanya terbatas di Nanga Pinoh, tetapi juga sampai ke Nanga Ella dan Nanga Serawai. Seterusnya di Nanga Ella Hilir dibentuklah sebuah panitia di bawah pimpinan Budjang Muhammad (BM) Aris. Selanjutnya, untuk penelitian persiapan lasykar Merah Putih di Tanah Pinoh, Sayan, Kotabaru dan Nanga Sokan, diutuslah Abang Tahir. Kemudian BOPMP kembali mengadakan sebuah pertemuan khusus, di mana dalam pertemuan itu dilaporkan tentang persiapan pemberontakan Merah Putih telah berjalan di seluruh Melawi dan Sungai Pinoh. Dalam rangka mematangkan persiapan semula, maka dibentuklah ranting BOPMP, masing-masing di daerah Tanah Pinoh yang meliputi Nanga Sayan di bawah pimpinan H. Ismail, Idris Syafei dan Supardi. Di Nanga Sasak dipimpin Dabab H. Arsyad, di Kerangan Puan dipimpin Abang M. Ali, di Boli Pintas dipimpin Uti Ukini, di Kepala Gading dipimpin Tahir, di Madong dipimpin Abang Syahdan dan H. Mara dan di Nanga Sokan dipimpin Abang H. Dol dan Abang H. Ibrahim. Untuk Nanga Ella Hilir dipimpin B. M. Aris. Persiapan-persiapan yang telah dilakukan selanjutnya dila­porkan kepada Kapten Mulyono dan Kapten Markasan yang selanjutn­ya disampaikan pula kepada pimpinan BOPMP Bagindo Djalaluddin Hatim di Nanga Pinoh. Untuk mengadakan suatu gerakan, waktunya masih ditangguhkan menunggu datangnya bala bantuan dari Kaliman­tan Selatan yang akan dipimpin Kapten Markasan, yaitu Pauskan Sumpit Mandau Telabang. Selain itu juga diputuskan markas perger­akan di Tanjung Lay, sekitar 12 Km dari Nanga Pinoh di rumah kediaman Sjukur bin Muntor.

Sampai beberapa waktu setelah rapat dilangsungkan, bantuan dari Kalimantan Selatan belum juga tiba di Nanga Pinoh, maka ditugaskanlah Abang Patul untuk menyusul Kapten Markasan dan Kapten Mulyono. Menjelang akhir Oktober 1946, Abang Patul berang­kat dengan mempergunakan sampan dengan menyusuri sungai. Di Riam Kinsang, Abang Patul bertemu dengan utusan dari Kapten Mulyono, yaitu Silik dan Pasir, kedua kurir ini bermaksud menemui Bagindo Djalaluddin Hatim untuk menyampaikan sebuah dokumen penting tentang rencana pemberontakan. Daerah Nanga Pinoh telah diserah­kan oleh Demang Hadral kepada pasukan Mandau Telabang, demikian pula daerah Kotabaru diserahkan oleh Pangeran Agung Kertasari. Maka seluruh wilayah tersebut sudah berada di bawah kekuasaan lasykar Merah Putih dengan BOPMP-nya. Sementara itu TK Liwoeh mendapat tugas untuk memudiki Nanga Sayan menanti kedatangan pasukan bantuan dari Sumpit Mandau Telabang di sana. Pada 10 November 1946, lasykar bantuan telah berada di Tanjung Lay, markas pemberontakan Merah Putih. Pasukan pemberon­takan telah disiapkan, dari Nanga Pinoh pimpinan pasukan penggempur M. Saad Aim telah berangkat menuju Tanjung Lay. Setibanya di Tanjung Lay, lasykar Mandau Telabang telah berada di sana bersama Kapten Markasan selaku pimpinannya.

Sambil menunggu kedatangan TK Liwoeh membawa pasukan sumpit dan mandau untuk penyerbuan ke Nanga Pinoh, lasykar Merah Putih yang sudah berkumpul di markas BOPMP mengadakan sebuah pertemuan khusus. Rapat dipimpin langsung oleh Bagindo Djalaluddin Hatim. Dalam rapat itu hadir antara lain Bagindo Djalauddin Hatim, M. Saad Aim, Umut Thalib, A. Sjukur Muntut, Leman Dombek dan Kapten Markasan. Dalam rapat itu diputuskan pembagian tugas penyerbuan utama dengan sasaran tangsi militer NICA-Belanda di Nanga Pinoh. Selanjutnya, penyerbuan tangsi dilakukan dari Sungai Melawi, kemudian menyerbu rumah mantri polisi di Kampung Tanjung, menyerbu rumah kediaman Controleur, menyerang kantor pos Nanga Pinoh, menyerang rumah kediaman Hoofd Agent Polisi dan menyerbu rumah Demang Nanga Pinoh. Setelah selesai rapat 8 November 1946, lasykar Merah Putih mempersiapkan diri untuk segala sesuatunya.

Pada 9 November 1946 tengah malam, di rumah kediaman Sjukur Muntut di Tanjung Lay, diadakan upacara.pengibaran bendera Merah Putlh oleh lasykar BOPMP. Setelah selesai upacara 1tu, lasykar BOPMP selanjutnya meninggalkan Tanjung Lay menuju sasaran masing-masing yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam perjalanan menuju masing-masing sasaran, lasykar Merah Putih bertemu dengan sebuah perahu yang di dalamnya mengangkut Abang Tahir dan Abang Santui dalam keadaan tergesa-gesa. Oleh Abang Tahir disampaikan. bahwa di Nanga Pinoh semua tentara NICA-Belanda dengan KNILnya beserta juga polisi perintis tidak berada di tempat. Selanjutnya menjelang pergantian waktu, memasuki 10 No­vember 1946 tengah malam, sampan yang mengangkut para lasykar BOPMP telah merapat di Pantai Melawi. Di sana baru diketahui, bahwa Controleur J. Herman siang tadinya mudik ke Nanga Serawai. Dengan demikian, ketika rumah kediaman controller tersebut diserbu, dalam keadaan kosong. Hanya ada beberapa orang polisi yang berada di sana, dan mereka sendiri tidak memberikan perlawanan. Demikian pula pada sasaran penyerbuan lainnya, dalam keadaan kosong.

Seterusnya kantor controleur dijadikan sebagai markas Merah Putih oleh pimpinan BOPMP. Tangsi militer NICA. Belanda sendiri dapat dengan mudah diduduki. Paginya, 10 November 1946, seluruh lasykar BOPMP telah berkumpul di halaman kantor controleur. Di sana kemudian dilaksanakan apel pengibaran bendera Merah Putih dipimpin Bagindo Djalaluddin Hatim. Pada hari itu, 10 November 1946, dinyatakan bahwa Nanga Pinoh dan Melawi sebagai bekas Onderafdeling van Melawi serta bekas Gouvernement Tanah. Pinoh, merupakan daerah kekuasaan lasykar Merah Putih yang merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah Republik Indonesia. Di markas BOPMP yang semula kantor controleur, disusun rencana se1anjutnya untuk melakukan penangkapan terhadap Contro­leur Nanga Pinoh J. Herman yang berada di Nanga Serawai hulu Sungai Melawi serta melakukan penyelidikan ke Sintang untuk menyerbu Sintang. Untuk menjaga kemungkinan kedatangan bala bantuan NICA­-Belanda, tiga orang lasykar BOPMP masing-masing Tangsi, Getol dan Bujang Selipan ditugaskan merobohkan jembatan di Kaninjal yang menghubungkan dengan Pemuar.

Untuk menawan controleur Herman di Nanga Serawai, 11 November 1946 diberangkatkan satu regu Merah Putih dengan dipimpin Usman Cantik. Bersama Usman Cantik ikut serta berangkat Ismail Galang, Basri A. Rani, Tambi, Halet, Hasim dan Jais. Sementara untuk mengamati keadaan di Sintang. pada 13 November 1946 dikirim sebanyak tiga orang kurir. Mereka kemudian melaporkan kepada Kapten Markasan tentang situasi di Sintang. Waktu itu, panembahan di Sintang dijabat oleh Raden Syamsuddin. Raden Syamsuddih sepenuhnya menyatakan mendukung pergerakan rakyat. Pernyataan panembahan. itu disampaikannya langsung kepada M. Saad Aim. Selanjutnya, di markas BOPMP diputuskan untuk menyerbu Sintang pada 15 November 1946. Selain menyampaikan maksud dukungannya terhadap pergerakan rakyat, Raden Syamsuddin juga mengutus Ade Aroy dari Sintang membawa suratnya kepada pimpinan BOPMP agar segera menyerbu ke Sintang. Tanpa mendapatkan perlawanan, controleur J. Herman berhasil ditawan lasykar Merah Putih di Nanga Serawai. Selanjutnya pada 13 November 1946, controleur Herman selaku Kepala Onderafdeeling bersama staffnya diangkut ke Nanga Pinoh sebagai tawanan. Selama berada di Nanga Pinoh keberadaan tawanan itu dirahasiakan pimpinan BOPMP, agar rakyat tidak bertindak menghabisinya. Sementara itu, di Pontianak dan Sintang, militer NICA-Belanda telah mendapat laporan tentang kejadian di Nanga Pinoh dan sekitarnya.

Seterusnya, pada 15 November 1946, dengan mempergunakan sampan dilengkapi bendera Merah Putih, lasykar untuk menyerbu Sintang diberangkatkan. Pasukan Merah Putih yang tidak ikut diberangkatkan ke Sintang, melakukan penjagaan menduduki Nanga Pinoh untuk pengaman dari serbuan bantuan NICA-Belanda. Lasykar Merah Putih yang melakukan penjagaan di Kampung Tanjung dipimpin M. Saad Aim bersama Umut Thalib, Atot Achmad, Hasim. M. Bakri dan lain-lainnya. Malam harinya di batik pekat gelap gulita dan hujan turun rintik, bala bantan rniliter NICA-Belanda di bawah pimpinan Kapten Martin yang datang untuk me-rebut kembali NangaPinoh melakukan serbuan dengan melepas tembakan-tembakan. Tak sedikit lasykar BOPMP yang tertembak. Selanjutnya, oleh bala bantuan tersebut Nanga Pinoh dikepung dengan tiga kapal NIRUB dari tiga jurusan. Dalam pertempuran menghadapi bala bantuan NICA-Belanda itu, telah merenggut jiwa Umut Thalib. Selanjutnya, karena persenjataan yang tak berimbang, lasykar Merah Putih mrngundurkan diri melalui Sungai Pinoh dan jalan pantai Tanjung Lay, untuk selanjutnya menyusuri mudik Sungai Pinoh. Baku tembak terus berlanjut. Keesokan harinya pada 16 November, Kota Nanga Pinoh kembali direbut militer NICA-Belanda, setelah hampir sepekan lamanya dikuasai !asykar Merah Putih sejak 10 November 1946. Dalam per­tempuran mempertahankan Nanga Pinon itu, di antaranya telah gugur Umut Thalib, Sulaiman, Hasjim, Jusuf, M. Bakri dan Djafar. Selain itu terdapat. pula yang luka para seperti Umar Tahir, M. Sjarif, Darma, Jabar dan Tambi.

Dalam sebuah pertempuran yang terjadi baku tembak dengan serunya, M Saad Aim kehabisan peluru. Ketika. itulah ia berhasil tertangkap, selanjutnya oleh tentara militer NICA-Belanda, M. Saad Aim digiring bersama Agus ke dalam kapal NIRUB. Dalam perjalanan menuju Sintang, mereka disiksa habis-habisan. Karena penyiksaan yang begitu beratnya, setelah dua hari berada di penjara Sintang, M. Saad Aim menemui ajalnya. Operasi pembersihan yang dilakukan militer NICA-Belanda dengan tentara KNIL-nya terus berlanjut. Lasykar Merah Putih yang dipimpin Mad Samin bersama Kamaruddin dan Abu Bakar Larab untuk menyerang Sintang, urung dan terpaksa mengundurkan diri. Penduduk yang telah kehilangan, harta benda dan tempat tinggal mereka, mengungsi ke Bukit Siau. Di bukit ini mereka menggabungkan diri dengan lasykar Merah Putih yang membuat pertahanan di sana. Kapten Martin yang memimpin operasi pembersihan kemudian digantikan Sersan Palar Lasamahu, menuju ke Kotabaru. Operasi pembersihan terus dilakukan mulai dari Karangan Purun, Kepala Gading, Nanga Sasak hingga Kampung Mancur di Sayan. Pengkhianatan yang dilakukan seorang pimpinan lasykar Merah Putih, tidak hanya dengan membantu membebaskan controleur Herman. Namun juga, merangkap seorang kurir BOPMP yang berhubungan dengan pasukan Mandau Telabang, yaitu dengan menangkapi secara muslihat atas diri Sutan Maksum. Namun, Sutan Maksum untuk semenrara dapat meloloskan diri, sekalipun akhirnya dengan suatu muslihat kembali, akhirnya ia tertangkap. Operasi pembersihan di daerah Melawi terus berlanjut, sejak 15 November hingga penghujung 1946.
               .
Dalam suatu pertempuran mernpertahankan diri, di dekat Bukit Durian antara lasykar Merah Putih dan pasukan Mandau Telabang (MN 1001/MTKI) dengan militer NICA-Belanda, Kapten Markasan kehabisan peluru. Sedangkan dalam keadaan terluka T. K. Liwoeh dan Bagindo Djalaluddin Hatim berhasil tertangkap. Setelah keluarganya ditawan, akhirnya Kapten Markasan tewas di ujung bedil militer NICA-Belanda dengan sangat mengenaskan. Tercatat, dalam mempertahankan “Tanah Melawi" tidak sedikit lasykar Merah Putih yanggugur. Di antaranya adalah M. Saad Aim yang disiksa. hingga tewas di dalam penjara di Sin tang pada 18 November 1946, Kapten Markasan, Umut Thalib, Hasjim Achmad, Jusuf Djalal, Harun Masrik yang ditembak mati di Nanga Pinoh. Sulaiman Cegat, Djafar Anjol, M. Bakri Rasjid, Atot Achmad yang meninggal akibat beratnya siksaan dan penderitaan yang ditimpakan kepadanya selama dalam tahanan di Penjara Cipinang serta Achmad Bantam yang ditembak mati di Nanga Sayan.


PERTEMPURAN DI PANTAI SELATAN
Di Jakarta beberapa orang pemuda yang berasal dari Kalimantan Barat, di antaranya Rahadi Ismail Oesman (kemudian lebih dikenal sebagai Rahadi Oesman), Machrus Effendy, Armansyah, Gusti Usman Idris, setelah menyaksikan langsung suasana dikumandang­kannya proklamasi kemerdekaan, berusaha menghimpun para pemuda lainnya yang berasal dari Kalimantan Barat. Untuk maksud tersebut, Rahadi Oesman bersama Machrus Effendy, di mana keduanya sama­-sarna sebagai anggota Angkatan Pemuda Indonesia, API, yang berpusat di Menteng 31 Jakarta, merencanakan untuk segera menyampaikan suatu maksud kepada Ir Pangeran Moehammad Noor. Pangeran Noor adalah seorang putera dari Kalimantan yang diangkat Sebagai Gubernur Kalimantan, sehari setelah kemerdekaan diproklamirkan. Maksud yang akan disampaikan tersebut, menyangkut usaha untuk menyampaikan berita tentang kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Barat, beserta juga mempersiapkan usaha-usaha lainnya dalam rangka tindak lanjut atau manifestasi dari kemerdekaan Indo­nesia di Kalimantan Barat.

Dalam pertemuan pertama yang berlangsung 27 Seprember I945 antara Rahadi Oesman didampingi beberapa rekannya dengan Gubernur Pangeran Noor, pada prinsipnya gubernur menyetujui keinginan para pemuda tersebut. Selanjutnya, Gubernur Mohammad Noor menugaskan bahwa para pemuda yang akan menuju ke Kalimantan Barat itu dikirim secara resmi oleh pemerintah Republik Indonesia. Juga digariskan, bahwa mereka yang akan melakukan ekspedisi tersebut mengemban tugas utama untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia, Lebih mendalamkan maksud tersebut selanjutnya, Rahadi Oes­man beserta sejumlah rekannya atas anjuran Gubernur Noor ditugaskan untuk menghadap. Mr Amir Syarifudin, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Penerangan sekaligus juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Dalam pertemuan dengan Mr Amir Syarifudin, selaku aparat republik, maksud yang disampaikan Rahadi Oesman dan rekan-­rekannya itu tidak saja disambut baik. namun lebih dari itu, diberikan mandat penuh untuk dapat menyusun suatu barisan yang akan dipersiapkan sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk Kalimantan Barat. Juga menjajagi pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) di tujuan.

Rencana pemberangkatan telah diatur Rahadi Oesman dan sejumlah rekannya, dari Jakarta menuju Tegal melalui kereta api malam. Akan tetapi, rencana melangsungkan keberangkatan itu mengalami sedikit hambatan. Di dalam perjalanan menuju Tegal, kereta malam yang mengangkut mereka terhenti karena terjadi suatu pertempuran di sekitar Senen, Tanah Tinggi dan Kwitang. Rombongan yang dipim­pin Rahadi Oesman dan Machrus Effendy untuk waktu sementara menginapkan diri di Asrama Mahasiswa Kwitang Prapatan, selama tiga hari. Untuk itulah sambil menyusun strategi setelah sampai di Kalimantan nantinya, pertengahan November 1945 rombongan dapat menuju Tegal. Di Tegah kedatangan rombongan Rahadi Oesman telah ditunggu oleh rombongan sebelumnya. Sebagian besar mereka yang akan berangkat menuju Kalimantan Barat ini sebelumnya bermukim di Jogyakarta, Pekalongan, Cirebon, Semarang dan Surabaya. Disaat keberangkatan rombongan yang dipimpin Rahadi Oesman menuju Kalimantan Barat ini, sejumlah pemuda Kalimantan Barat lainnya yang. tidak ikut serta kembali, seperti Ya' Syarif Umar, Adriani Hardigaluh, Syarif Alwi Mazwar Alhinduan, Nazaruddin Rizal, Zainuddin H Budjang serta lainnya, masih terlibat langsung dalam berbagai kancah pertempuran di Pulau Jawa.

Pada 23 November 1945, menjelang senja, ekspedisi yang dipimpin Rahadi Oesman bertolak meninggalkan pelabuhan Tegal. Mereka dilepas langsung oleh Gubernur Pangeran Moehammad Noor. Rombongan mepergunakan dua kapal motor yang cukup memadai untuk mengangkut mereka,. "Sri 'Kayung" dan "Osaka". Rahadi Oesman dipercayai rekan-rekannya sebagai Komandan. Di samping itu, rombongan ini juga dipimpin oleh sebuah staf yang terdiri dari Machrus Effendy, A Kadir Kasim, Djafar Said dan A Tambunan. Seluruh anggota yang berangkat berjumlah 43 orang. Rahadi Oesman berada dl dalam Kapal Sri Kayung menetapkan tujuan ,untuk men­darat di pelabuhan Ketapang, Sedangkan rombongan dengan kapal Osaka dipimpin A Kadir dan Mugni Gaffar akan mendarat di Pontianak. Udara menjelang Desember 1945 dirasakan sangat buruk. Siang malam hujan turun terus rnenerus, disertai gulungan ombak yang semakin besar. Badai dan gelombang yang menghambat perjalanan tidak dihiraukan betul oleh ekspedisi tersebut. Sebaliknya tekad mereka adalah untuk mendarat di tujuan dengan sesegera mungkin. Setelah dengan susah payah menghadapi badai dan gelombang, awal Desember 1945, Kapal Sri Kayung pun dapat menginjakkan kaki penumpangnya. di pelabuhan pantai Sungai Besar, sekitar 7 Kmn dari Ketapang. Komandan ekspedisi Rahadi Oesman mengingatkan kepada rombongannya agar selalu  waspada terhadap kemungkinan-­kemungkinan yang bisa saja timbul. Selanjutnya, di Kampung Sungai Besar Rahadi Oesman segera menemui kepala kampung setempat, H Abdul Rachim. Oleh H Abdul Rachim, rombongan Rahadi Oesman kemudian ditempatkan di sebuah tempat yang berjarak sekitar 2 Km dari jalan kampung. Hal itu untuk keamanan mereka, mengingat Ketapang dan sekitarnya, beberapa hari sebelum rombongan mendarat, sudah diduduki kembali oleh NICA-Belanda.

Jusuf Mubarak dan Hasan Thaib rnenyampaikan kepada Rahadi Oesman, bahwa termasuk juga Sungai Besar, daerah itu sudah dalam pengawasan NICA-Belanda. Pada malam 2 Desember 1945, Rahadi Oesman bersama. anggotanya mengadakan sebuah rapat, membahas rencana mereka selanjutnya. Rapat itu ikut dihadiri oleh H Abdul Rachim selaku kepala kampung setempat, yang menyatakan bersama masyarakat  ikut berjuang dengan rombongan Rahadi Oesman. Pada malam berikutnya, dengan mempergunakan peralatan radio yang terhindar dari penyitaan Jepang, Rahadi Oesman mencoba untuk mengadakan hubungan kontak dengan Pangeran Noor, Gubernur Kalimantan. Namun, karena. kondisi peralatan itu sudah tak memungkinkan sekali, rencana tetsebut gagal. Selanjutnya, pada malam berikutnya Rahadi Oesman kembali memimpin sebuah rapat. Dalam rapat tersebut, diputuskan untuk segera mengadakan suatu gerakan, dengan sasaran menyerbu Ketapang. Dan diputuskan pula, A Kadir Kasim akan memimpin beberapa orang lainnya menyerbu Kendawangan. Sedangkan A Latif dan Tamat, ditugaskan untuk mengamati kondisi Ketapang sebelum diserbu. Rencana semula, Ketapang akan diserbu dengan terlebih dahulu membumihanguskan pasar yang ada di sana. Untuk mengimbangi persenjataan NICA­-Belanda, Rahadi Oesman menugaskan Tarmizi Arsjad untuk mempersiapkan persenjatan tajam secukupnya.

Rombongan yang berangkat dari Tegal tersebut, kecuali Rahadi Oesman, tidak membawa persenjataan sebagaimana layaknya sebuah pasukan yang akan bertempur. Pada Rahadi Oesman hanya berbekal sebuah pistol ficker, dua senapan laras panjang peninggalan Jepang dan dua granat tangan yang diperoleh dan Tamar. Pada hari yang telah ditentukan, dinihari Jumat, 7 Desember 1945, Tamat dan A Latif yang mengamati Ketapang sudah kembali ke Sungai Besar. Namun, sebelumnya di perjalanan kedua anggota rombongan Rahadi Oesman itu antara Sungai. Besar dan ketapang sempat berpapasan dengan patroli NICA-Belanda. Namun juga rupanya sepasukan patroli NICA-Belanda sudah mengetahui tempat pertahanan Rahadi Oesman tersebut. Timbul kepanikan, terutama dikarenakan persenjataan yang tak dimiliki secara menyeluruh. Hanya saja, masing-masing anggota rombongan memegang parang dan. bambu runccing. Dari jarak yang tak begitu jauh, NICA-Belanda telah membrondongkan tembakan. Peluru-peluru dimuntahkan dari moncong laras senapan mesin dengan tak hentinya. Rahadi Oesman bersama Tamat dan A Latif sudah berada di garis terdepan, mengendap di semak belukar siap menyongsong, kedatangan pasukan NICA­Belanda. Dalam baku tembak jarak dekat, NICA-Bdanda sempat terkocar kacirkan. Namun, gencarnya tembakan yang dilepaskan pasukan NICA-Belanda, akhirnya merebahkan Rahadi Oesman, A Latif dan Tamat dalam. waktu seketika. Sedangkan Sjafei, dalam keadaan luka parah segera dilarikan anggota rombongan lainnya. Menjelang senja 7 Desember 1945, barulah diketahui pasti bahwa Rahadi Oesman, Tamat dan A Latif telah tewas dalam pertempuran itu. Sjafei sendiri dalam perjalanan menuju Pangkalan Bun menemui ajalnya.

Setelah kontak senjata di Sungai Besar, antara rombongan Rahadi Oesman dan NICA-Belanda, pembersihan besar-besaran dilakukan. Di Ketapang dan Sungai Besar, berpuluh orang yang dicurigai segera ditangkap patroli NICA-Belanda. Sedangkan anggota rombongan yang dipimpin Rahadi Oesman. seluruhnya dapat meloloskan diri untuk meneruskan strategi selanjutnya. Sebagian mereka menyeberang ke Pulau Bawal. Dan sebagian lainnya lagi, di bawah pimpinan A Kadir Kasim menuju Kendawangan. Rombongan yang bertahan di Pulau Bawal selanjutnya dipimpin Machrus Effendy. Rombongan yang dipimpin A Kadir Kasim di Kendawangan bertemu dengan A Syukri Nour, seorang utusan PPRI Pontianak yang ditugaskan berangkat ke Jawa untuk menyampaikan resolusi PPRI kepada pemerintah Republik Indonesia. Tetapi, karena terhambat keberangkatannya karena tidak adanya perahu yang akan menuju Jawa, A Syukri Nour kemudian menggabungkan diri dengan rombongan A Kadir Kasim. Setelah terjadi kontak senjata di Kendawangan pada 10 Desember 1945, A Syukri Nour tertangkap di Kendawangan. Selan­jutnya dipenjarakan di Ketapang bersama sejumlah tahanan lainnya seperti Gusti Matan dan Gusti Wadai yang memimpin rakyat pehuluan memasuki Pon­tianak sekitar Oktober 1945, juga dipenjarakan H Abdul Rachim, Hasan Sastro dan sejumlah tokoh lainnya.

Sementara pertahanan Machrus Effendy di Pulau Bawal terus menerus baku tembak dengan militer NICA-Belanda. Sebuah perahu layar yang merapat di Pulau Bawal dikemudikan Tarmizi Arsjad, H Sjuaib, A Gafur, Salim Azis dan tiga orang wanita, setelah tertembak kemudian tenggelam. Sedangkan penumpangnya dapat mendarat dipulau tersebut.sedangkan Kapal Tanjung Mas yang mengangkut Achmad Machmud, A Rachman Oemri dan H. Atik setelah diserang Kapal Tromp NICA-Belanda kemudian tenggelam. Penumpangnya dapat ditahan dan dipenjarakan di Ketapang bersama tahanan lainnya. Rombongan yang bertahan di Pulau Bawal kemudian bertemu dengan pasukan yang datang dari Kalimantan Tengah, di bawah pimpinan Muhammad Idris dari Pangkalan Bun. Rombongan ini membawa peralatan senjata dan bahan makanan. Dalam suatu perundingan dengan pimpinan pertahanan di Pulau Bawal, Machrus Effendy, Muhammad Idris mengajukan agar pasukan di Pulau Bawal dikerahkan untuk merebut Kotawaringin. Namun Machrus Effendy masih belum bersedia untuk maksud tersebut, mengingat Ketapang belum sepenuhnya direbut. Karena suatu pertimbangan yang sukar untuk diterobos dalam merebut kembali Ketapang, akhirnya diputuskan untuk meneruskan perjalanan ke Pangkalan Bun dengan beberapa perahu layar.

Menjelang 1946, tak sedikit perahu layar yang menuju Kalimantan. Pasukan Sabilillah di bawah pimpinan Husin Hamzah dan Firmansyah, berangkat 2 Februari 1946 dengan sembilan perahu layar. Demikian juga yang dipimpin Syarif Alwi Alhinduan (1ebih dikenal dengan nama A Mazwar) dan Nazaruddin Rizal. Perahu­perahu tersebut mendarat di Kuala Jelai, Sukamara dan Teluk Bogam. Di sepanjang daerah perairan terjadi pertempuran. Dalam salah satu pertempuran, Husin Hamzah gugur. Pada pertempuran lainnya di Air Hitam dan Tanjung Tabuh, hampir seluruh laskar Sabilillah yang dipimpin H Abdulhamid gugur. Mereka yang dapat menyelamatkan diri kemudian memasuki hutan dan pedalaman meneruskan grilya. Syarif Alwi Alhinduan bersama Achmad Zaidi Idrus, seorang warga Malaysia yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Republik In­donesia, dengan menyamar sebagai penduduk pedalaman, berhasil memasuki Ketapang. Sejak terjadinya pertempuran di Sungai Besar. 7 Desember 1945 yang dipimpin Rahadi Oesman, militer NICA-Belanda terus menerus mengadakan penangkapan. Mereka yang ditangkapi selain dipenjarakan di Ketapang, juga dikirim ke Sungai Jawi Pontianak, Nusa Kambangan dan Cipinang Jakarta. Sisa-sisa rombongan Rahadi Oesman yang dapat menyelamatkan diri pada umumnya meneruskan perjuangan di berbagai daerah di Kalimantan Barat. Namun juga ada yang kembali menuju Pulau Jawa untuk meneruskan perjuangan kembali di sana. Sebelum kedatangan rombongan Rahadi Oesman di Sungai Besar, sebetulnya di Ketapang sendiri berita mengenai kemerdekaan Indonesia sudah diketahui. Hanya saja berita itu didengar oleh kalangan tertentu saja, karena trauma rakyat terhadap kekejaman Jepang. Dengan demikian, berita penting itu tidak selekasnya menyebar luas. Berita mengenai kemerdekaan Indonesia di Ketapang dibawa oleh seorang putra daerah setempat yang cukup lama bermukim di Pulau Jawa, Abdul Halim H Abdullah.

Kepada sejumlah pemuda tertentu, Abdul Halim kemudian menyampaikan berita tersebut. Untuk itulah. Sekitar September 1945, mulai tersusun suatu usaha propaganda terhadap usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia di daerah selatan Kalimantan Barat itu. Usaha itu diwujudkan dengan segera terbentuknya beberapa organisasi untuk menyatukan gerak langkah perjuangan para pemuda. Oleh Khaerani Bagal dan M Arbi Jusu£, dihimpunlah sejumlah pemuda yang pernah dilatih dalam kesatuan Heiho di masa pendudukan Jepang ke dalam "Barisan Pembela Proklamasi" atau BPP. Kemudian menyusul dibentuk pula "Barisan Pengawal Kemerdekaan" atau BPK yang dipimpin Herean Jamani, kemudian lahir pula “Angkatan Pemuda In­donesia" atau API dengan diketuai A Khalik Hasan. Dan terakhir dibentuklah "Persatuan Rakyat Ketapang" atau Perak dengan diketuai Soepomo. Keseluruhan organisasi ini terus berjalan dengan segala bentuk perjuangannya, hingga terlaksananya Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia. Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tercatat pula dalam suatu pertempuran dengan militer NICA-belanda di Kendawangan telah gugur sejumlah 63 orang pemuda dan masyarakat setempat, di satu kondisi tak berimbangnya segi persenjataan.

GERAKAN MEMPAWAH DAN SEKITARNYA
Dikarenakan situasi di Mempawah dinilai semakin tidak memungkinkan untuk Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia Antibar (BPRIA) tetap berpusat di kota itu, dalam sebuah pertemuan antar pengurusnya, pusat BPRIA kemudian dialihkan di sebuah rumah di tengah daerah perkebunan yang berbatasan dengan Kampung Pasir Palembang. Markas BPRIA kemudian ditetapkan di rumah kediaman H Daeman Mamad. Guna menjalin kekuatan yang ada dalam rangka usaha memper­tahankan kemerdekaan yang sudah nyata didengar, selanjutnya BPRIA mengadakan hubungan kontak dengan organisasi pergerakan lainnya di luar Mempawah. Melalui perantara beberapa kurir yang dipercaya, dijalin suatu hubungan kontak "Kesatuan Tengkorak Putih" melalui H Umar. Untuk mengadakan hubungan dengan BPIKB di Singka­wang, dilakukan suatu hubungan antara BPRIA dengan BPIKB melalui kurir M Tahir H Achmad yang berhubungan dengan Wan Abas Mansyur. Setelah berkali-kali mengadakan hubungan kontak tersebut, selanjutnya BPRIA melebur diri menjadi suatu bagian dari BPIKB yang dipusatkan di Bengkayang. Hal itu dimaksudkan untuk menggalang suatu kekuatan, di mana BPRIA diprioritaskan dalam melakukan sabotase hubungan sepanjang ruas jalan yang menghubungkan Pontia­nak dengan Singkawang, guna perebutan Kota Bengkayang.

BPRIA Mempawah selanjumya mengutus empat orang utusannya berangkat ke Pontianak untuk mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh pergerakan di sana. Diberangkatkanlah keempat utusan tersebut, masing-masing M. Zainal Abidin, A. K. Mahmud Rakii, H. Ibrahim dan Kadri Hasan. Di Pontianak keempatnya mengadakan sebuah pertemuan di rumah kediaman Khairul A. Rasjid di Kampung Kamboja. Khairul A. Rasjid yang bermukim di Pontianak merupakan penghubung antara BPRIA Mempawah dengan para pemuda di Pontianak. Rapat yang berlangsung di Kampung Kamboja itu sangat rahasia sekali sifatnya. Se!ain dihadiri keempat utusan dari Mem­pawah tersebut, juga dikunjungi dr. M. Soedarso dan A. Rachman Zakaria. A. Rachman Zakaria merupakan salah seorang pengurus PRI Landak dan lebih banyak mengadakan hubungan pergerakan bawah tanah dengan Pontianak serta menjadi kurir dalam rencana gerakan di Landak Ngabang.

Keputusan rapat di rumah kediaman Khairul A. Rasjid itu memutuskan, agar dalam waktu selekasnya BPRIA di Mempawah mengadakan suatu aktifitas sabotase. Sasaran yang mudah dilakukan adalah pembakaran Jembatan Pat Kok Tin Kuala Mempawah. Mengenai waktu pelaksanaan sabotase tersebut, selanjumya akan diatur dalam suatu perencanaan oleh BPRIA. Sedangkan untuk melaksanakan sabotase itu sendiri, didapat bantuan berupa minyak tanah dari Sinhak dan Limin, sedangkan karet dan karung goni berupa bantuan yang diberikan oleh H. Daeman Mamad dan H. Saleh HD. Jarak waktu yang ditempuh memang tidaklah singkat. Sejak dimulainya aktifitas politik BPRIA sejak pembentukannya pada Oktober 1945, pelaksanaan sabotase terhadap Jembatan Kuala Mempa­wah baru direalisasikan hampir setahun kemudian. Pada 4 September 1946, mengawali rentetan usaha perebutan Kota Bengkayang beberapa waktu kemudiannya, sasaran yang telah direncanakan sejak lama disabotase.


Dalam melakukan sabotase pembakaran Jembatan Kuala Mempawah itu, dipimpin oleh A. K. Mahmud dengan enam orang rekannya. Masing-masing Muhammad Murny, Rakei H. Ibrahim, Kadri A.. Hasan, A. Azis H. Kasim, Kaliri Saleh dan Djamaluddin A. Hamid. Dengan terbakarnya jembatan tersebut, terlebih dahulu di beberapa tempat telah dipajang pamflet berupa ancaman terhadap kaki tangan dan kedudukan militer NICA-Belanda di. Mempawah, menyebabkan timbulnya kepanikan bagi militer NICA-Belanda. BPRIA sendiri dalam melaksanakan sabotase tersebut, sudah merupakan bagian dari BPIKB yang berkedudukan di Bengkayang di bawah pimpinan Alianyang. Sementara itu untuk menyatukan kekuatan yang ada, dalam rangka melaksanakan rencana kerja BPRIA dan untuk merebut Kota Bengkayang, di Anjungan diadakan sebuah rapat. Dalam rapat yang dilangsungkan di rumah kediaman Thomas Blyse, seorang yang banyak terlibat dan berhubungan dengan PPRI di Pontianak, dihadiri sejumlah pemuda. Di antaranya Mas Syafei, Hasan Fattah. Persoalan utama yang dibicarakan dalam rapat tersebut adalah mengenai perluasan BPIKB hingga ke daerah setempat, serta mengatur strategi dalam menyerbu Kota Bengkayang.

Dalam rapat berikutnya, diputuskan untuk mengadakan pendekatan dengan mengunjungi para pemuda pergerakan yang berada di Toho, Menjalin dan Karangan. Di Menjalin diadakan hubungan kontak dengan M. Napis M. Yasin. Selanjutnya di Karangan diadakan hubungan dengan Raden Putra Gusti A. Murad dan di Tikalong dengan Sa'mah. Dalam pertemuan yang berkali-kali dilaksanakan itu, terkumpul kemudian sejumlah pemuda yang akan memimpin lasykar dari daerah Mempawah, Anjungan, Toho, Menjalin dan sekitarnya dalam merebut Bengkayang. Di antaranya seperti Bangkam, Ujak, Hasan Fattah, Thomas Blyse, Mas Syafei, Ismail Hasan, A. Hamid Hasan, Daeng Faroki dan Sulaiman Daeman. Namun di dalam perjalanan menuju Bengkayang mereka disergap sepasukan tentara militer NICA-Belanda. Karena tidak berimbangnya persenjataan yang dimiliki kesemuanya tertawan dan kemudian dipenjarakan di Mempawah dan digiring ke penjara Sungai Jawi Pontianak. Demikian juga para pemuda dari BPRIA yang telah melewati Bengkayang menuju Sanggau Ledo, tertangkap di perjalanan sebelum memasuki tempat tujuan. Dalam mempertahankan Kota Beng­kayang dari perebutan kembali oleh miIiter NICA-Be1anda, salah seorang anggota BPRIA, Arifin Tarip tewas tertembak.

Alianyang sendiri sebelum menjabat selaku komandan BPIKB, sebelum menuju ke Bengkayang sebagai daerah tujuannya dari Pon­tianak seperti yang diperintahkan dr. M. Soedarso kepadanya, terle­bih dahulu menyinggahi Mempawah. Penghujung November 1945 Alianyang mengadakan suatu pernbicaraan dengan Maran Ourny di rumah sakit umum Sungai Jawi Pontianak. Maran Ourny waktu itu tengah menjalani suatu opname di rumah sakit tersebut. Kepadanya Alianyang mengatakan, awal 1946 ia akan meninggalkan Pontianak menuju kedaerah pantai utara untuk memperkuat basis pertahanan di sana. Dalam Februari 1946, Alianyang tiba di Mempawah langsung menemui Maran Ourny di Kampung Terusan. Sepekan lamanya di sana untuk menghindari pengawasan kaki tangan NICA-BeJanda yang banyak bertebaran, Alianyang selanjutnya pindah ke rumah kediaman Ruslan Darmo. Untuk lebih mematangkan rencananya semula, se1anjutnya Alianyang memudiki Sungai Mempawah menuju Air Mati di Toho. Dari Air Mati inilah selanjutnya Alianyang meneruskan perjalanannya ke Bengkayang untuk kemudian ke Sanggau Ledo. Dalam perjalanannya itu, ia didampingi Mas A. Hamid dan Mas Basjiuni bersama A. Hamid Jusuf. Selama berada di Mempawah. untuk mengalihkan pengincaran yang dilakukan spionase NICA-Belanda terhadap dirinya. Alianyang mempergunakan nama "Indera Marzuki", sinonim dari "Indonesia Merdeka". Selama berada di Mempawah, Alianyang telah berkali-kali mengadakan pertemuan dengan para pemuda dan pemuka masyarakat setempat tentang rencana pergerakannya. Di antaranya mengadakan hubungan dengan Hasan Mustafa dan dengan Rd. Soebardjan Manteri Rumah Sakit Mempawah.

Selain munculnya organisasi BPRIA yang melakukan sabotase terhadap jembatan Pat Kok Tin Kuala Mempawah di daerah Sungai Kunyit juga hampir dalam waktu bersamaan dengan dibentuknya BPRIA, dibentuk pula organisasi serupa. Di Sungai Kunyit berdiri sebuah organisasi dengan nama "Persatuan Pemuda Penyongsong Kemerdekaan Republik Indonesia" pada awal Oktober 1945 disingkat dengan PPKRI. PPKRI diketuai A. Murad AR dengan beberapa pengurus lainnya seperti Zawawi H. Sood, Saleh Amad. Ketang H. A. Rahim dan Usman Amin. Pembentukan PPKRI sendiri setelah melalui suatu pertemuan yang dilangsungkan antara sejumlah pemuda dan pemuka masyarakat daerah setempat. Di antaranya A. Murad AR. Said Naim, A. Samad Yusuf, A. Kadir Kanol, A. Murad Ismail, Ali Usman, Achmad A. Kadir. Ketang H. Ibrahim dan sejumlah lainnya lagi. Mendahului aktifitas propagandanya dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia lasykar PPKRI pada 5 Oktober 1945 mengadakan suatu penyerbuan ke Pulau Temajo. Hal itu dilakukan untuk merampas persenjataan militer Jepang yang menurut khabar banyak orang. masih tersimpan di sana. Penyerbuan ini dipimpin oleh Usman Amin, Ketang HA Rahim dan Saleh Achmad. Namun yang didapati hanyalah khabar belaka, karena Pulau Temajo sudah dikosongkan Jepang tanpa meninggalkan sepucuk senjatapun.

Demikian juga halnya ketika diusahakan untuk melakukan serbuan ke Gunung Tanjung Sanggau, sekitar Pulau Kijing. Seterusnya pada 11 Oktober 1945, datang dua orang utusan bekas Sumitomo dari Pulau Temajo kepada Kepala Kampung Sungai Kunyit, masing-­masing Muda Hamid dan Ali Achmad. Keduanya mengabarkan tentang aktifitas orang-orang Cina yang bernaung dengan PKO di Pulau Penibung. Orang-orang Cina melakukan perebutan bekas perusahaan garam Jepang di Pulau Temajo. Selain itu orang-orang Cina dengan membanggakan PKO-nya, meminta diakui sebagai penguasa bersama Sekutu. Akibatnya, para pemuda di bawah kelasykaran PPKRI mengadakan aksi dengan melakukan pembakaran terhadap Pasar Cina di Sungai Kunyit pada 14 Oktober 1945. Dengan adanya aksi tersebut, orang-orang Cina di sana selanjutnya tidak lagi menunjukkan reaksi apa-apa, khawatir akan serbuan lasykar PPKRI. Selang beberapa hari kemudian. masyarakat dikejutkan dengan suatu perubahan dimana semula bendera Sekutu yang berkibar telah diganti dengan berkibar kembalinya bendera Merah Putih Biru.

PPKRI berusaha untuk mengadakan hubungan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan di luar Sungai Kunyit. Melalui perantara kurir PPKRI, diadakan hubungan dengan Wan Abas di Singkawang, guna menentukan langkah selanjutnya. Dari berbagai kontak yang dilakukan dengan rentang waktu yang cukup panjang, selanjutnya PPKRI menjadi salah satu bagian dari BPIKB yang dipimpin Alianyang. Prioritas gerakannya adalah seperti juga dengan BPRIA, melakukan sabotase terhadap ruas jalan yang menghubungkan Pontianak dengan Singkawang, serta dengan koordinasi BPIKB melakukan perebutan terhadap Kota Bengkayang. Usaha-usaha awal yang dilakukan PPKRI di saat pembentukannya tidak jauh berbeda dari yang ditempuh BPRIA. Akhir November 1945, PPKRI Sungai Kunyit mengadakan aktifitas penyebaran pamflet-pamflet hingga ke pelosok mengenai berita kemerdekaan Indonesia. Dengan adanya aktifitas BPRIA maupun PPKRI inilah, selanjutnya dengan merata, semula dari lingkungan terbatas, berita mengenai kemerdekaan Indonesia dapat diketahui luas hingga ke Peniraman, Sungai Pinyuh, Sungai Purun, Bakau sampai ke pedalaman dan pelosoknya.

MISSI TNI PERTAMA
Pada 27 Desember 1949, berlangsung upacara Pengakuan Kedaulatan di rumah bekas kediaman Residen Kalimantan Barat. Sebelumnya telah tiba di Pontianak Letkol Sukanda Bratamanggala dan Mayor Suharsono dan Banjarmasin atas usaha SH Marpaung yang pada 25 Desember sebelumnya, dengan pesawat terbang ke Jakarta untuk mengadakan penjemputan atas nama Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB). Dan pada 1 Januari membuka 1950, Tentara Nasional Indonesia, TNI di bawah pimpinan Mayor Suharsono meresmikan markasnya di Pontianak. Pada saat bersamaan dilakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih oleh kepanduan API dan PII di Pontianak. Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang pertamakalinya datang ke Kalimantan Barat, berasal dari Divisi Lambung Mangkurat yang berkedudukan di Banjarmasin Kalimantan selatan. Mulanya datang ke Kalimantan Barat dalam rangka pelaksanaan uacara penyerahan dan pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia.

Pasukan TNI yang merupakan suatu delegasi ini bertindak mewakili pemerintah dan rakyat Indonesia di Kalimantan Barat khususnya. Di samping itu, sekaligus mengambilalih masalah kemiliteran di daerah ini dari tangan NICA-Belanda yang sebelum ini dilaksanakan antara lain oleh KNIL. Kehendak untuk menghadirkan TNI di Kalimantan Barat bermuara dari Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB), di mana secara resmi mengutus SH Marpaung ke Jakarta untuk maksud tersebut. Delegasi TNI yang pertama ini seluruhnya berjumlah sepuluh orang. Masing-masing Letkol Sukanda Bratamenggala (Gubernur Militer Kalimantan),  Mayor dr Soeharsono (Ketua Delegasi TNI ke Kalimantan Barat), Kapten Hanafi (Staf Gubmil TNI Kalimantan), Kapten CPM Peyoh (Wakil Ketua Delegasi), dengan anggota masing-masing Pelda CPM Mac Umbaran, Serma CPM Jimmy Soemarto, Sersan CPM Achmad Sjariful Effendi, Sersan CPM Gusti Harun Alrasjid, Sersan CPM Mohammad dachlan dan Kopral CPM Haji Selamat. Delegasi tiba di Pontianak menggunakan pesawat udara jenis Catalina pada hari Selasa tanggal 27 Desember 1949 sekitar pukul 11.00. setibanya di Pontianak, Gubernur Militer TNI Kalimantan Letkol Sukanda Bratamenggala beserta perwira lainnya langsung mengadakan pertemuan  dengan pemerintah sipil dan militer Belanda. Kemudian didapat persetujuan, upacara penyerahan dan pengakuan kedaulatan rakyat Indonesia di Kalimantan Barat diselenggarakan di dua tempat, Pontianak dan Singkawang pada hari itu juga, pukul 16.00. selesai perundingan tersebut, Sukanda bersama Kapten Hanafi kembali ke Banjarmasin, sedangkan pelaksanaan upacara tersebut selanjutnya dikoordinir Mayor dr Soeharsono.

Kedatangan TNI mendapat sambutan yang sedemikian hangatnya dari segenap lapisan masyarakat Kalimantan Barat, khususnya di Kota Pontianak. Upacara penyerahan dan pengakuan kedaulatan rakyat Indonesia di Pontianak berlangsung di halaman Kantor Residen Kalimantan Barat. Ikatan GAPI dan Angkatan Pemuda Indonesia (API) Cabang Pontianak yang dipimpin pemuda Ibrahim Saleh kemudian menyelenggarakan pelaksanaan upacara peresmian Markas TNI yang pertama di Kalimantan Barat, Minggu 1 Januari 1950 di bekas Gedung PMC Pontianak. Dalam upacara itu dikomandani Mayor dr Soeharsono, tampil sejumlah enam orang pemudi anggota API Cabang Pontianak sebagai pengibar bendera merah putih, masing-masing Rafida, Hasanah, Zahara, Yul, Dachlia dan Soeprapti. Seminggu kemudian, tanggal 9 Januari 1950, tiba di Pontianak Sultan Hamid II bersama Mr Critchly Wakil Negara Australia di PBB. Kedatangan Hamid ke Pontianak, yang kemudian ternyata telah menolak keberadaan TNI di daerah ini karena mengangap cukup dengan KNIL dan federale Troepen saja. Hal ini menimbulkan kekecewaan masyarakat, sehingga terjadi suatu demonstrasi  bersa-besaran yang dihadiri ribuan massa rakyat pada Rabu 11 Januari 1950 di halaman Kantor Residen di Pontianak. Demonstrasi ini dipimpin SH Marpaung, AS Djampi, dan Zahrah Uray Aliuddin.
Adapun tuntutan rakyat Kalimantan Barat kepada Hamid II, intinya agar TNI tetap berada di Kalimantan Barat, agar Dewan DIKB dan DIKB-nya segera dibubarkan atau membubarkan diri serta mengukuhkan Kalimantan Barat tetap berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, menuntut supaya dr M Soedarso yang terpilih sebagai Kepala Daerah Kalimantan Barat segera dilantik. Rapat umum besar-besaran itu berlanjut Kamis, 12 Januari 1950 di Padang Sayok. Pada hari ini pula Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dan rombongan lainnya tiba di Pontianak. Memenuhi tuntutan hati nurani rakyat Kalimantan Barat, yang antara lain agar TNI tetap berada di daerah ini, dalam perkembangan selanjutnya tanggal 16 Januari 1950, tiba di  Pontianak sejumlah 200 orang pasukan TNI menggunakan Kapal Laut KM Kaimana dari Divisi Lambung Mangkurat dipimpin Mayor TNI Firmansjah, Kapten M Yusi, Lettu JS Themma, pelda M Noor Is dan lainnya. Sementara itu, KNKB semakin gencar memobilisasi massa rakyat Kalimantan Barat, terlebih dengan ditangkapnya sejumlah tokoh utama KNKB antara lain SH Marpaung Ketua Persatuan Buruh Indonesia (PBI), M Nazir Effendy, Munzirin AS, AS Djampi, Burhan Ibrahim, Gusti Mohammad Affandi Ranie.

Sebagai protes keras terhadap penangkapan tersebut, sejak tangal 6 Maret 1950 dimulailah pemogokan secara massa sekalimantan Barat. Khususnya di Pontianak, tak ubah seperti kota mati, seluruh aktifitas sosial ekonomi rakyat dihentikan. Menggerakkan dan menginstruksikan pemogokan ini di luar Pontianak, pemuda Ibrahim Saleh dan Buyung Raja Habibana, keduanya melalui jasa telepon mengadakan hubungan ke berbagai daerah. Di Landak Ngabang, merupakan basis kedua pemogokan missal yang dimotori Gusti Basman dan M Maris Budjang. Untuk menyelesaikan masalah ini serta pertentangan  antara KNKB dan Dewan DIKB, di Pontianak didatangkan Komisaris Umum Pemerintah RIS Mr Indra Kusuma dan M Soeprapto sebagai mediator. Kelak akhirnya pemogokan umum dihentikan sjak tanggal 18 Maret 1950. Kemudian dibentuk Badan Pertimbangan Kalimantan Barat selama periode transisi. Dengan terbentuknya Badan Pertimbangan Kalimantan Barat (BPKB), selanjutnya KNKB mengeluarkan perintah penghentian pemogokan umum yang dimulai sejak 6 Maret 1950 sampai 1950. Sebulan setelah kedatangan delegasi pertama TNI ke Kalimantan Barat, rapat GAPI di Gedung PBI pada 4 Pebruari 1950, membicarakan masalah pembubaran GAPI. Hal itu dengan ala­san, bahwa dianggap tugas GAPI telah selesai. Sejak hari itu, masing­masing anggota pengurus dan anggota GAPI menempuh jalan sendiri­-sendiri untuk memenuhi aspirasi politik masing-masing mereka. Sebagian mengambil prakarsa membentuk cabang-cabang partai, seperti Masyumi, PNI, PSI dan lain-lainnya.           



SABOTASE PEMUDA DI PONTIANAK
Pemuda-pemuda di Pontianak yang pada masa pendudukan Jepang dilatih sebagai Heiho, setelah secara berantai mendengar dan mengetahui tentang berita kemerdekaan Indonesia, berusaha saling mengadakan hubungan. Terutama sekali setelah dibentuknya sebuah organisasi pemuda yang dikenal dengan "Pemuda Penyongsong Repub­lik Indonesia", PPRI pada 15 September 1945 di Pontianak. Dari berkali-kali para pemuda pemuda di Ponrianak mengadakan hubungan kontak tersebut, mereka berusaha untuk mengadakan penyerbuan terhadap militer Jepang yang sudah meninggalkan Pontianak. Sejak sebelum militer Sekutu dengan tentara Australianya mendarat di Pontianak, Jepang sudah meninggalkan Pontianak menuju Batu Ampar. Pemuda-pemuda yang pernah terlatih di dalam Heiho, merencanakan untuk merampas persenjataan yang ada pada Jepang. Hal itu dimaksudkan untuk memperkuat pertahanan guna merealisasikan maupun manifestasi tentang kemerdekaan yang sudah diprokla­mirkan. Untuk itulah para pemuda bekas Heiho seperti AM Dhamhar berusaha menghubungi sejumlah rekannya. Dalam beberapa kali pertemuan, mereka merencanakan untuk tetap menyerbu Jepang di Batu Ampar. Akan tetapi, setelah dilakukan kembali pertemuan untuk Iebih mematangkan rencana tersebut, diputuskan untuk membatalkan rencana semula. Hal itu dengan dasar pertimbangan, bahwa terbatasnya sarana untuk menuju Batu Ampar, selain juga jarak waktu yang akan dihabiskan untuk mencapai ke sana sangat tidak memungkinkan.

Dalarn kondisi seperti itulah kemudian perhatian dialihkan dengan merencanakan mengadakan sabotase-sabotase di dalam Kota Pontianak. Hal itu akan ditempuh, karena sejak Oktober 1945, kekuatan militer NICA-Belanda di Pontianak sudah semakin kukuh, yang dalam suatu pemikiran, akan sangat mustahil dihadapi oleh para pemuda. Se1ain memang ruang gerak mereka dibarasi, juga masalah persenjataan yang tidak ada sama sekali. Sedangkan rencana semula untuk merampas senjata Jepang di Batu Ampar, urung dilaksanakan mengingat segala keterbatasan yang ada. Waktu rerus berjalan, para pemuda di Pontianak telah mendengar berita bahwa di berbagai daerah di luar Pontianak, telah berkecamuk pertempuran demi pertempuran, seperti di Sambas, Bengkayang, Ngabang, Sidas, Ketapang dan NangaPinoh. Untuk ituIah, dalam sebuah pertemuan mereka, disusun suatu rencana untuk mengadakan sabotase di Pontianak. Sasaran yang dituju masing-masing Gedung Copra Fonds yang terIetak di muara Gertak I, Tek Long Sungai Jawi. Selain itu akan menyerbu tangsi miIiter NICA-Belanda dan pcnyerbuan ke rumah penjara Sungai Jawi di muara Gertak III. Isyarat penyerbuan, dalam pertemuan itu dirumuskan, dengan pemadaman listrik di Pontianak.


Untuk membakar Gedung Copra Fonds.tersebut, ditugaskan kepada beberapa orang pemuda. Di antaranya AM Damhar, AS Djampi, Achmad Noor, Yacob Mahmud, Hamdy Moursal dan sejulah pemuda lainnya. Hingga waktu yang telah ditentukan, pertengahan Desember 1946, rencana sabotase dimulai.Oemar Saidi bersama rekan-rekannya sperti Syarif Muhammad Kusuma Yudha. Yusuf Yatim dan Arwi menaiki sebuah sekoci menuju ke Kapal Djampea. Kapal Djampea ini adalah sebuah kapal perusak milik Belanda dengan kecepatan 20 knot perjam. Kapal tersebut memiliki dua senapan mesin, satu di bagian belakang dan satunya lagi di bagian muka. Senapan mesin di atas kapal tersebut dengan peluru berantai yang masing-masing berisi 60 peluru, terdiri dari peluru tajam dan peluru api. Peluru-peluru ini apabila ditembakkan dan mengenai sasarannya akan meledak dan membakar apa saja yang ada di sekitarnya. Sebagaimana rencana semula, dengan Kapal Djampea ini akan berangkat merapat mendekati tangsi militer dari Sungai Kapuas. Selanjutnya, dengan melihat api menyala di dermaga Tek Long Gertak I, isyarat bahwa Gedung Copra Fonds sudah dibakar. Dan hal itu akan nampak kelihatan dikarenakan terjadinya pemadam listrik sekota Pontianak.

Setelah listrik dipadamkan, dan api mulai menyala tiba-tiba saja seorang pedagang Cina berteriak-teriak meminta bantuan menyatakan ada kebakaran. Dalam waktu tak terlalu dibuang-buang, sepasukan militer NICA-Belanda telah memadamkan api tersebut. Dengan demikian, rencana yang sudah diatur semula menjadi berantakan, dengan kata lain mengalami kegagalan. Padamnya api tersebut, menyebabkan tidak timbulnya reaksi seperti rencana semula. Oemar Saidi dan Syarif Muhammad Kusuma Yudha yang sedianya akan menyerbu ke tangsi militer Belanda di kiri dan kanan batal. Tak ada tembakan yang dilepaskan dari atas kapal Djampea. Gagalnya rencana sabotase membakar Gedung Copra Fonds pertengahan Desember 1946 itu, masih memberikan semangat kepada para pemuda di Pontianak untuk mengulangi kembali. Meski mereka sejak adanya insiden malam tersebut sudah diawasi oleh PID Belanda, namun beberapa di antara para pemuda itu seperti AM Damhar, Jacob Mahmud dan Sai, berusaha mengulangi kembali dengan menggranati gudang mesiu NICA-Belanda di Jeruju. Akan tctapi, masih mengalami kegagalan kembali karena penjagaan ketat atas gudang tersebut dan alat peledak yang dipergunakan jauh tak berimbang dengan yang dipergunakan militer NICA-Belanda.

Seterusnya, beberapa orang pemuda yang melakukan sabotase di Pontianak, memutuskan untuk berangkat ke Pulau Jawa. Diantaranya Syarif Muhammad Kusuma Yudha, AM Damhar, Djahri Rustam, Wagino (WD Mochtar) dan A Madjid pada pertengahan 1947. Sedangkan mereka yang tctap bertahan di Pontianak, berusaha untuk terus mengadakan gerakan. Akan tetapi, keberadaan mereka diburu­buru oleh PID NICA-Belanda. Untuk mengalihkan perhatian terhadap diri mereka oleh NICA-Belanda, beberapa orang pemuda seperti Oemar Saidi, Hamdani M Ali dan Achmad Noor menuju ke daerah Pantai Utara di Sambas menjalin hubungan kontak dengan Alianyang di sana. Namun kemudian, satu persat mereka ditangkapi NICA-Belanda. Setelah penangkapan pertama terhadap diri mereka didakwa melakukan sabotase terhadap Gedung Copra Fonds, untuk beberapa waktu mereka diinapkan dirumah penjara Sungai Jawi. Selama itu penyiksaan oleh NICA-Belanda diberlakukan terhadap mereka. Untuk beberapa saat mereka diperbolehkan menikmati pembebasan, namun dengan dalih yang dibuat-buat, pada 8 November 1948, Achmad Noor, Oemar Saidi, Hamdy Moursal, Jusuf Jatim, Abasjuni Abubakar, Saidi, Hamdani M Ali dan lain-lain kembali dirumah penjarakan di Sungai Jawi. Siksaan berat kembali dijalani, terlebih terhadap diri Oemar Saidi dan Hamdy Moursal serta La Ode Idjo yang didakwa sebagai dalang gerakan sabotase terdahulu.

Kegagalan melakukan sabotase juga menyebabkan pengusutan yang dilancarkan dengan ketat. Bersamaan dengan rencana untuk sabotase semula, di Sungai Ambawang oleh Kasan Gendon dan rekan-rekannya juga telah mempersiapkan diri untuk maksud tersebut meski belum dapat dilaksanakan. Dalam pengusutan yang dilakukan dengan lebih gencar oleh NICA-Belanda, menghasilkan ditangkapnya sejumlah pemuda lainnya. Di antaranya Kasan Gendon, Rabut bin Sehak, Soenardi Martosoediro seorang opnemer V en W, serta Memen Semita. Dalam penangkapan yang diberlakukan NICA-Belanda itu, dengan segala penyiksaan terhadap para tahanan tersebut, PID­ Gemscher belum berhasil memperoleh pengakuan dari para pelaku sabotase tersebut. Hingga pada akhirnya, setelah penyiksaan berat terhadap La Ode Idjo dan Oemar Saidi, komisaris Gemscher berdiri sambil membuka sebuah map dan menunjukkan selembar kertas berisi "Surat Tahanan". Beberapa hari kemudian terbukti, Dr M Soedarso, Radjikin dan Rd Soekotjo Katim ditangkap karena dituduh memberi­kan dukungan terhadap gerakan sabotase pemuda di Pontianak.

PERJUANGAN PEMUDA KUBU RAYA
Setelah di Pontianak Panitia (kemudian Pemuda) Persiapan (kemudian Penyongsong) Republik Indonesia (PPRI) yang berdiri 15 September 1945 mengalami kegagalan di mana beberapa tokoh utamanya ditawan NICA-Belanda, pada 17 Nopember 1945, para pemuda militan dan kaum republikein lainnya, membentuk kesatuan Barisan Koentji Wadja atau BKW. Dalam mukadimah pembentukannya disebutkan BKW berjuang non-kooperatif dan secara revolusi. Dalam pembentukan BKW disusun kepengurusan awal, yang juga para pendiri kesatuan ini, masing-masing Penasehat dr M Sedarso dan Rd Soekotjo Katim, pimpinan staf Sjarief Alwi AMS, penghubung AS Djampi dan anggota staf A Bakar Salman, Mardjuan Somanadipa, Rahmad Omar, Tarmidji Ramlan, Muhammad Sairin, A Karim SM, M Ali Budjang, Chaerul A Rasjid dan A Rachmad Zakaria. Dalam keberadaannya, BKW mempropagandakan kemerdekaan Indonesia, menyerukan tindakan non-kooperatif dan mengobarkan semangat revolusi terhadap Belanda yang membonceng Sekutu di Kalimantan Barat. Untuk langkah tersebut, pimpinan BKW menugaskan anggota staf untuk menjalin hubungan dengan daerah luar Pontianak, masing-masing M Ali Budjang dengan Sambas, A Rachman Zakaria dengan Landak dan Muhammad Sairin dengan Sintang. Awal 1946 BKW telah memiliki hubungan kontak luas dengan luar Pontianak, khususnya Singkawang, Mempawah dan Landak Ngabang. Namun di Mempawah  dan Anjongan Sungai Pinyuh terjadi penangkapan terhadap pemuda revolusioner di sana oleh NICA Belanda, khususnya terhadap A Muin H Achmad, A Hasan A Fatah, Thomas Blaise, M Jusuf Amin dan lainnya dari BPRIA Mempawah dan BPIKB Singkawang dan Bengkayang.

Sementara itu, Mei 1946 A Hamid Hasan dari Kesatuan BPIKB lolos dari penangkapan, menggabungkan diri dalam BKW. Pada 17 Agustus 1946 saat peringatan setahun Indonesia merdeka, BKW merencanakan pemberontakan bersenjata. Namun rencana itu mengalami kegagalan. Keburu tercium spionase NICA Belanda. Pada Oktober 1946, meletus perlawanan bersenjata rakyat Landak terhimpun dalam Geram (Gerakan Rakyat Merdeka) didahului pemberontakan BPIKB di Bengkayang. Di dua kewedanaan itu, NICA Beanda segera melakukan pembersihan. Ada di antara tokoh utama Geram Landak berhasil luput dari penangkapan dengan melakukan grilya hingga daerah Kewedanaan Kubu di Teluk Pak Kedai. Januari 1947, setelah gagal Djampea Affair di Sungai Kapuas yang dipimpin La Idjo Untu dengan melibatkan pemuda revolusioner di Sungai Ambawang antara lain Kasan Gendon dan Memen Seminta, NICA Belanda kembali melakukan penangkapan. Situasi Pontianak semakin tidak kondusif. Akibatnya para pemuda terkocar-kacir dan secara ilegal mengaktifkan API (Angkatan Pemuda Indonesia) pimpinan Y Lumenta. Para pemuda Sungai Kakap membentuk cabang API di Kalimas dipimpin Syarif Thaha Husein Almutahar. Pusat perjuangan merah putih di Sungai Kakap terpusat di Kalimas, Punggur Besar dan Pal IX. Sebetulnya kabar mengenai kemerdekaan Indonesia di Kewedanaan Sungai Kakap sudah diketahui masyarakat di sana sejak propaganda yang dilakukan Karmin dari Pontianak. Berita itu kemudian disebarluaskan Sjarief Jusuf Alkadrie Ketua Parindra Sungai Kakap bersama M Said H Loloh. Menyambut propaganda kemerdekaan itu, API Kalimas beranggota 52 pemuda yang pernah memperoleh latihan semi-militer dalam Heiho di zaman Jepang dipimpin Syarif Thaha Husein Almutahar.

Selain terus berlatih kemiliteran, API Kalimas juga mengadakan pementasan tonil (sandiwara keliling) di Kewedanaan Sungai Kakap untuk propaganda Indonesia sudah merdeka. Saat pementasan di pasar Punggur, Agustus 1947, para pimpinan API Kalimas ditangkap anggota PID Belanda yang dipimpin Uray Hanan dan Jafar. Mereka yang ditangkap antara lain Syarif Aidit, Syarif Abdullah, Ismail Lumak dan M Ali H Usman. Di masa pendudukan Jepang, sekalipun mendapatkan pelatihan dasar-dasar kemiliteran, namun anggota Seinendan di Negeri Kubu [termasuk Kalimas, Padang Tikar, Sungai Kakap dan Sungai Raya] sebagaimana di Kalimantan Barat lainnya tidak menggunakan senjata yang sebenarnya. Tugasnya adalah sebagai barisan cadangan yang mengamankan garis belakang. Seindendan memiliki cabang di setiap tingkatan wilayah administratif, yaitu dari tingkat Si hingga Shu. Selain itu, di pabrik-pabrik dibentuk pula Seinendan Kojo, sementara di daerah perkebunan dibentuk Seindendan Jigyogo. Seinendan juga memiliki cabang yang beranggotakan kaum wanita yang disebut Josyi Seindendan (Seindendan Putri). Di setiap sekolah lanjutan dibentuk Gakkutotai (Barisan Pelajar). Berkaitan dengan hal ini, setiap sekolah lanjutan dijadikan sebagai markas chutai (kompi) sementara tiap kelas merupakan shotai (seksi). Setiap shotai kemudian dibagi lagi menjadi butai (regu).

Meski pimpinannya ditangkapi, API Kalimas tetap aktif dan terus mengadakan hubungan dengan kaum republikein di Pontianak antara lain dengan Y Lumenta, Mohammad Achmadsjah dan SH Marpaung. Kemudian, 16 Desember 1947 terjadi penangkapan kembali terhadap pimpinan API.  Penangapan terbesar pada 19 Mei 1948 subuh terhadap pimpinan API Kalimas oleh PID Belanda. Pada hari itu ditawan antara lain Syarif Yusuf Alkadrie bersama 42 anggota API Kalimas lainnya dan dikirim ke penjara Sungai Jawi Pontianak.  Mereka semua dibebaskan 20 Nopember 1949. Berbeda dengan di Kewedanaan Teluk Pak Kedai, di mana Demang Gusti Achmad Djelma di sana mendukung perjuangan para pemuda. Sementara Assisten Demang dan Manteri Belasting Sungai Kakap menolak mendukung gerakan para pemuda. Sebelum kemerdekaan, di masa pendudukan militer Jepang, sejumlah pemuda Sungai Kakap dikirim sebagai romusha di Sungai Durian. Bahkan dua orang pemudanya Abdul Hamid Derap dan Kolol Abdul Wahid gugur dalam peristiwa kekejaman militer Jepang.

Sementara itu BKW tetap pada pendirian semula non-kooperatif. Karena Pontianak dipandang tidak memungkinkan lagi, Austus 1947 pusat BKW dialihkan ke Kuala Dua. Di Kuala Dua BKW semakin aktif, dan mendapat kunjungan utusan TRI dari Jawa, Kapten Radjimin. BKW di Kuala Dua mengadakan perubahan struktur organisasinya. Susunan kepengurusan selanjutnya terdiri dari penasehat dr M Soedarso dan Rd Soekotjo Katim, Komandan Pusat Sjarief Alwi AMS, Propaganda AS Djampi, Komandan Markas Umum Mardjuan Somanadipa, Komandan Persenjataan           A Bakar Salman, Komandan Pasukan Militer TRI       Radjimin, Komandan Kebatinan Tjandera Kusumah, Komandan Penyelidik Chaerul A Rasjid, Komandan Sosial Ekonomi M Tahir H Tajib, Komandan Pengangkutan Rahmat Omar dan Komandan Perlengkapan M Junus H Djafar. BKW mengaktifkan latihan kemiliteran para pemuda khususnya di Kuala Dua. Sebagian besar anggota BKW adalah mantan Heiho dan Seinendan di zaman Jepang. Mereka terbiasa dengan latihan kemiliteran. Pada 17 September 1947 latihan dialihkan ke Kumpai Kecil disebuah tempat Rejosari ditandai pengibaran merah putih di sana. Oktober 1947 pusat BKW dialihkan ke Tebang Kacang Hilir di sekitar Sungai Kapuas. Nopember 1947 pusat BKW kembali ke Rejosari Kumpai Kecil. Perpindahan lokasi ini menghindari incaran NICA Belanda melalui spionase yang banyak ditebarkan.

Desember 1947 para pimpinan BKW ditangkapi setelah disergap militer Belanda, antara lain Sjarief Alwi AMS, Mardjuan Somanadipa, Djiban, bersama sekitar 25 pemuda di Kuala Dua dan Tebang Kacang. Januari 1948, pimpinan BKW yang lolos dari penangkapan, M Ali Budjang Komandan Pasukan Seksi A Kompi I BKW lolos ke Singapura menemui perwakilan Republik Indonesia di sana mencari bantuan persenjataan. Februari 1948 kembali penangkapan terhadap Radjimin di Parit Limsen Sungai Purun. Akibat kekosongan pimpinan vital BKW, organisasi ini digerakkan secara bawah tanah oleh A Bakar Salman yang lolos dari penangkapan. Selanjutnya dipimpin sementara sejak Januari 1948 oleh Achmad Djajadi yang semula pimpinan Geram Landak yang lolos dari penangkapan di Ngabang. Dan ditunjang pimpinan Geram lain M Ali Durdja Mihardja. Agustus 1948 pimpinan Geram yang lolos menyatakan dukungan meneruskan perlawanan dengan mengaktifkan BKW. Achmad Djajadi memusatkan BKW di Sungai Purun, kemudian Kampung Sanggau, Tebang Kacang, Sungai Asam dan Peniraman hingga Sungai Pinyuh. Perkembangan selanjutnya BKW terus bergerak menentang faderal Belanda. Pada 30 April 1949 Achmad Djajadi berangkat ke Jakarta melalui laut menemui pimpinan militer TRI di Jawa untuk memperoleh dukungan. Sementara Mei 1949 militer Belanda melakukan penangkapan kembali, sejumlah pimpinan BKW tertawan di antaranya Tjandra Kusumah, Ismail Osman dan H Djarkasih. Juni 1949 Achmad Djajadi kembali dari Jawa, mengadakan pertemuan mengatur langkah perjuangan selanjutnya dengan Tarmidji Ramlan dan Muhammad Sairin. BKW memperoleh dukungan Pasukan Hizbullah dari Jawa dipimpin Kapten Taslim Muljono. Pada 4 Agustus 1949 Achmad Djajadi dan Taslim Muljono memimpin rapat pleno BKW di Tebang Kacang. Mengutus kurir menghubungi Gusti Muhammad Saleh Aliuddin pimpinan Geram Landak yang mengorganisir kelanjutan perlawanan di Kewedanaan Kubu dan berada di Teluk Pak Kedai.  Dan diputuskan mengadakan perlawanan bersenjata terhadap NICA dan KNIL.

Malam 4 Agustus direncanakan perlawanan bersenjata, namun gagal, karena spionase Belanda mengetahui rencana ini. Sebaliknya terjadi penangkapan terhadap A Bakar Salman, Tarmidji Ramlan, Muhammad Sairin. Sementara Achmad Djajadi lolos dari penangkapan karena dalam perjalanan menuju Teluk Pak Kedai menemui Gusti Muhammad Saleh Aliuddin di sana. Keberadaan BKW dipimpin Achmad Djajadi dan Ali Mihardja. Selanjutnya keduanya meneruskan perjuangan di Kubu dan Teluk Pak Kedai, karena di Kuala Dua dan Tebang Kacang sudah tak memungkinkan. Kelanjutan pemberontakan bersenjata rakyat Landak di bawah koordinasi Geram di Ngabang setelah penangkapan para tokoh utamanya, dilanjutkan di luar Kewedanaan Landak. Dua pimpinan Geram yang lolos Achmad Djajadi dan Gusti Saleh Aliuddin memusatkan perlawanan dengan menggabungkan diri semula dalam BKW, namun setelah kegagalan BKW melanjutkan di Teluk Pak Kedai Kewedanaan Kubu. Di sana mereka membentuk kembali Geram. Sebetulnya Februari 1947 Djajadi dan Gusti Saleh  mengadakan pertemuan di Tanjung Putus sebuah daerah terpencil di aliran Sungai Kapuas. Atas saran AS Djampi di Pontianak keduanya menggabungkan diri dalam BKW. Djajadi sendiri memusatkan diri di BKW sementara Gusti Saleh didukung Demang Teluk Pak Kedai Gusti Acmad Djelma yang pro-republik mengaktifkan Geram. Di sana Gusti Saleh diantarkan ke Teluk Pak Kedai menghubungi para pemuda bekas Heiho oleh Daeng Lahama Runa dan Abu Bakar. Saat penyergapan di Tanjung Putus, Gusti Saleh dan Djajadi lolos dan selamat, sementara Fatimah seorang perempuan tua di sana gugur ditembak militer Belanda.

Dari Teluk Pak Kedai, Gusti Saleh mengirim kurirnya Sung Kim Liung untuk mencari dukungan, termasuk mengamati kondisi terakhir di Pontianak, yang ternyata semakin tidak kondusif. Gusti Saleh kemudian menyusun struktur organisasi Geram di Kewedanaan Kubu dan merubah menjadi Gepta (Gerakan Pembela Tanah Air).  Di sana perkumpulan Cina yang pro-republik Chung Kwa Kong Hui dipimpin Tjhing Kie Siong menyatakan dukungan penuh, para pemuda Teluk Pak Kedai dikoordinir Daeng Katjong (Usman Buang) mengadakan suatu mufakat untuk meneruskan perlawanan terhadap militer Belanda. Demang Teluk Pak Kedai Gusti Achmad Djelma aktif mengerahkan stafnya memberikan dukungan materi. Dari Teluk Pak Kedai pusat Geram—Gepta kemudian dialihkan ke Gunung Ambawang dipimpin Gusti Muhammad Saleh Aliuddin dan Achmad Djajadi. Dalam suatu upaya melakukan perlawanan, Gepta dan BKW dipimpin Gusti Muhammad Saleh Aliuddin, Taslim Muljono dan Achmad Djajadi. Perkembangan terakhir, perlawanan dapat dipatahkan, Kapten Taslim Muljono tertawan dan tewas di dalam Penjara Sungai Jawi Pontianak akibat penyiksaan berat oleh militer Belanda. Gepta bertahan di Gunung Ambawang sampai awal 1950. Selanjutnya Gustii Muhammad Saleh Aliuddin, Achmad Djajadi dan beberapa anggotanya ke Pontianak dan melebur diri ke dalam STM I di bawah pimpinan Major dr Soeharsono dan meneruskan ke dalam militer Republik Indonesia.

Sudahkah Anda Sholat !!!

Karimunting. Powered by Blogger.