Kerajaan Sambas

Kesultanan Sambas

1. Sejarah
Sumber yang digunakan oleh kaum sejarawan untuk melacak riwayat Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat adalah dua kitab sastra bercorak sejarah, yaitu Asal Raja-Raja Sambas dan Salsilah Kerajaan Sambas. Naskah Asal Raja-Raja Sambas diperkirakan telah berusia ratusan tahun tetapi belum diketahui data yang lebih jelas mengenai asal-usul naskah yang ditulis dengan aksara Arab-Melayu ini, baik siapa penulisnya, judul aslinya, maupun waktu dan tempat penulisannya (Pabali H. Musa, 2003:50).
Kesultanan Sambas memiliki riwayat panjang dan berkaitan dengan sejarah sejumlah kerajaan lain, seperti Kesultanan Brunei Darussalam, Johor, Serawak, Sukadana dan Kerajaan Hindu Ratu Sepudak, bahkan juga dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Secara garis besar, riwayat Kesultanan Sambas terbagi atas dua periode, yakni pada masa Hindu dan Islam, selain juga pada masa kolonial dan pascakemerdekaan Indonesia.
a. Kerajaan Sambas Tua pada Masa Hindu
Kesultanan Sambas sebenarnya merupakan kelanjutan dari Kerajaan Hindu Ratu Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua. Kerajaan ini berada di bawah pengaruh Kesultanan Johor. Pada waktu itu, Kesultanan Johor sedang menapak zaman keemasannya di mana kerajaan ini memiliki daerah taklukan yang luas dan mulai menyaingi kebesaran Kerajaan Majapahit di Jawa (Musa, 2003:1).
Hegemoni Kesultanan Johor terhadap kerajaan-kerajaan lain, termasuk sebagai penyaing Mahapahit terlihat jelas karena sebelumnya Kerajaan Sambas Tua merupakan wilayah taklukan Majapahit pada era pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1351-1389 Masehi) dan Mahapatih Gajah Mada. Hal ini tercatat dalam kitab Negarakrtagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada tahun 1365 M (Yudithia Ratih, tt:62).
Ekspedisi Pamalayu Majapahit pada abad ke-14 M sangat berperan terhadap berdirinya Kerajaan Sambas Tua yang diawali oleh pemerintahan yang dipimpin Raden Janur dengan pusat pemerintahan di daerah bernama Paloh. Asal-muasal berdirinya pemerintahan di Paloh bermula dari kedatangan orang-orang dari Majapahit di bawah pimpinan Raden Janur pada sekitar tahun 1364 M. Setelah beberapa saat berinteraksi dengan warga lokal, mereka mendirikan pemerintahan baru dengan Raden Janur sebagai rajanya (Ratih, tt:62).
Pemerintahan di Paloh mengalami pergeseran kepemimpinan karena raja yang memimpin bukan lagi keturunan Majapahit. Hal itu terjadi karena Raden Janur tidak memiliki keturunan dan mengangkat anak bernama Tang Nunggal. Raja Tang Nunggal, yang dikenal sebagai sosok yang kejam, menimbulkan kegelisahan dari Majapahit selaku kerajaan yang membawahi Paloh. Oleh karena itu, sepeninggal Tang Nunggal, kendali pemerintahan di Paloh kembali diambil-alih Majapahit (Ratih, tt:62).
Pada pertengahan abad ke-15, pemerintahan di Paloh dipindahkan ke Kota Lama, Benua Bantanan-Tempapan, berjarak 36 kilometer ke arah barat Kota Sambas sekarang. Pada tahun 1550 M, pemerintahan di Kota Lama dipimpin oleh Ratu Sepudak dan kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Hindu Ratu Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua. Ratu Sepudak didampingi saudaranya bernama Timbung Paseban (Ratih, tt:62).
Seiring berkembangnya Islam di nusantara, pada tahun 1570 M, pengaruh Majapahit atas Kerajaan Sambas Tua mulai melemah. Di sisi lain, Kesultanan Johor di Semenanjung Malaka justru sedang menapak masa kejayaan, termasuk berambisi untuk menguasai kerajaan-kerajaan taklukan Majapahit di Sumatra dan Kalimantan, hingga pada akhirnya Johor berhasil menguasai Kerajaan Sambas Tua.
Istana Alwazikhoebillah
b. Berdirinya Kesultanan Sambas Islam
Pengaruh Islam yang masuk ke Kerajaan Sambas Tua sebenarnya datang dari Kesultanan Brunei Darussalam yang dipimpin Sultan Abdul Majid Hasan 1402 – 1408 M). Sultan ini tidak memiliki anak sehingga ketika beliau wafat pada tahun 1408 M, tahta kesultanan dilimpahkan kepada adik iparnya, bernama Ong Sum Pin, seorang muallaf keturunan Cina. Ong Sum Pin adalah suami dari Putri Ratna Dewi, adik kandung almarhum Sultan Abdul Majid Hasan. Setelah dinobatkan menjadi sultan, Ong Sum Pin menyandang gelar Sultan Ahmad (1408 – 1425 M) (Urai Riza Fahmi [ed.], 2003:2).  
Pasangan Sultan Ahmad dan Putri Ratna Dewi dikaruniai seorang anak perempuan bernama Putri Ratna Kesuma yang kemudian dikawinkan dengan seorang bangsawan Arab yang baru datang dari Mekah bernama Syarif Ali bin Hasan bin Abi Anami bin Barkat Pancaran Amir Hasan. Konon, Syarif Ali masih keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Pada tahun 1425 M, Syarif Ali ditabalkan sebagai Sultan Brunei Darussalam dengan gelar Sultan Barkat (1425 – 1432 M) menggantikan ayah mertuanya, yaitu Sultan Ahmad (Fahmi [ed.], 2003:2).
Selanjutnya, para pemimpin Kesultanan Brunei Darussalam pengganti Sultan Barkat secara berturut-turut antara lain: Sultan Sulaiman (1432 – 1485 M), Sultan Bolqiah (1485 – 1524 M), Sultan Abdul Kahar (1524 – 1530 M), Sultan Saiful Rijal (1530 – 1581 M), hingga Sultan Syah Brunei (1581 – 1582 M). Karena Sultan Syah Brunei tidak memiliki anak, maka kemudian yang dinobatkan sebagai sultan adalah adiknya bernama Pangeran Muhammad Hasan dengan gelar Sultan Muhammad Hasan (1582 – 1598 M). Sedangkan adik bungsu almarhum Sultan Syah Brunei, Pangeran Muhammad, diangkat sebagai bendahara kerajaan (Fahmi [ed.], 2003:2-3).
Sultan Muhammad Hasan mempunyai tiga orang putra, yaitu Pangeran Abdul Jalilul Akbar, Pangeran Muhammad Ali, dan Pangeran Raja Tengah. Menurut Urai Riza Fahmi (2003), Pangeran Raja Tengah inilah yang kelak menurunkan para penguasa Kesultanan Sambas Islam (Fahmi [ed.], 2003:3). Pada abad ke-16 itu, Pangeran Raja Tengah terkenal sebagai panglima perang yang telah menaklukan banyak negeri di bawah kuasa Kesultanan Brunei Darussalam. Atas jasa-jasanya itu, Pangeran Raja Tengah dipercaya untuk memimpin Serawak. Setelah dinobatkan sebagai Sultan Serawak pada tahun 1599 M, Pangeran Raja Tengah menyandang gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Syah atau sering juga disebut sebagai Sultan Tengah (Mawardi Rivai, tt:2-4).
Pada waktu itu, Kesultanan Brunei Darussalam berhubungan erat dengan Kesultanan Johor, terutama melalui ikatan perkawinan, termasuk bibi Sultan Tengah sendiri yang menjadi permaisuri Sultan Abdul Jalil, Sultan Johor yang bertahta antara tahun 1570 – 1571 M. Pada suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari Johor ke Serawak, kapal yang ditumpangi rombongan Sultan Tengah dihantam badai sehingga terdampar di wilayah Kerajaan Sukadana di Kalimantan Barat. Kerajaan Sukadana pada masa itu masih menganut agama Hindu dengan rajanya yang bernama Raja Giri Mustika. Kedatangan Sultan Tengah disambut dengan suka-cita oleh Kerajaan Sukadana yang memang berminat menjalin hubungan baik dengan Sultan Tengah yang terkenal pemberani itu.
Atas perantara seorang ahli agama Islam bernama Syeh Syamsudin yang baru saja kembali dari Mekah, Sultan Tengah mengislamkan Raja Giri Mustika beserta sebagian besar rakyat Sukadana. Bahkan, Raja Giri Mustika berkenan menikahkan Sultan Tengah dengan adiknya yang bernama Ratu Surya Kesuma. Pernikahan ini dianugerahi tiga orang putra dan dua orang putri, yaitu masing-masing bernama Raden Sulaiman, Raden Badarudin, Raden Abdul Wahab, Raden Rasymi Putri, dan Raden Ratnawati (Ratih, tt:63).
Dari bibinya yang menjadi permaisuri Sultan Johor, Sultan Tengah sering mendengar tentang Kerajaan Sambas Tua. Kerajaan Sambas Tua ketika itu memang masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Johor. Saat di Sukadana inilah Sultan Tengah semakin tertarik untuk mengunjungi Kerajaan Sambas Tua. Maka berangkatlah rombongan Sultan Tengah ke Kerajaan Sambas Tua yang terletak di Kota Lama, Benua Bantanan-Tempapan.
Di Kota Lama, rombongan Sultan Tengah disambut hangat oleh Ratu Sepudak. Pemimpin Kerajaan Sambas Tua ini mempunyai dua anak perempuan. Putri yang pertama bernama Raden Mas Ayu Anom dinikahkan dengan Pangeran Prabu Kencana yang tidak lain adalah keponakan Ratu Sepudak sendiri. Sedangkan putri Ratu Sepudak yang kedua bernama Raden Mas Ayu Bungsu. Sultan Tengah sendiri kemudian mendirikan permukiman di Kota Bangun, yang terletak tidak jauh dari Kota Lama, pusat pemerintahan Kerajaan Sambas Tua. Pembangunan permukiman ini atas persetujuan Ratu Sepundak.
Akan tetapi, belum seberapa lama Sultan Tengah bermukim di Sambas, Ratu Sepudak wafat. Sebagai penggantinya, maka diangkat Pangeran Prabu Kencana dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Sementara itu, putri kedua almarhum Ratu Sepudak, Raden Mas Ayu Bungsu, dinikahkan dengan putra sulung Sultan Tengah, yakni Raden Sulaiman. Pernikahan Raden Sulaiman dengan Raden Mas Ayu Bungsu dikaruniai seorang putra dan dua orang putri yang masing-masing bernama Raden Bima, Raden Ratna Dewi, dan Raden Ratna  (Fahmi [ed.], 2003:5).
Tidak lama setelah kelahiran Raden Bima, yaitu pada tahun 1055 Hijriah, Sultan Tengah memutuskan kembali ke Kesultanan Serawak yang telah lama ia tinggalkan. Sementara itu, Raden Sulaiman tetap tinggal di Kerajaan Sambas Tua dan diangkat sebagai patih/menteri pertahanan dan keamanan yang dibantu oleh tiga orang pejabat, yakni Kiai Dipa Sari, Kiai Dipa Negara, dan Kiai Setia Bakti (Musa, 2003:1).
Pada perkembangan selanjutnya, terjadi perselisihan antara Raden Sulaiman dengan Pangeran Mangkurat, keponakan almarhum Ratu Sepudak. Pangeran Mangkurat merasa Ratu Anom Kesuma Yuda lebih dekat kepada Raden Sulaiman daripada dirinya yang notabene adalah orang asli kerajaan. Perseteruan itu semakin membesar ketika Kiai Setia Bakti, salah seorang abdi setia Raden Sulaiman, ditemukan tewas terbunuh yang ternyata pelakunya adalah orang-orang suruhan Pangeran Mangkurat.
Untuk menghindarkan konflik internal, Raden Sulaiman menyingkir ke Kota Bangun, tempat Sultan Tengah mendirikan perkampungan ketika pertama kali tiba di Kerajaan Sambas Tua. Kabar bahwa Raden Sulaiman keluar dari Kota Lama didengar oleh beberapa petinggi negeri yang masih menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Sambas Tua, antara lain petinggi Nagur, Bantilan, dan Segerunding yang kemudian mengajak Raden Sulaiman pindah ke simpang Sungai Subah dan mendirikan negeri di Kota Bandir (Fahmi [ed.], 2003:6). Tiga tahun berselang, Raden Sulaiman pindah ke simpang Sungai Teberau di Lubuk Madung, dan kemudian pindah lagi ke muara tiga sungai (Sungai Subah, Sungai Teberau, dan Sungai Sambas Kecil), di Muara Ulakan (Fahmi [ed.], 2003:6).
Di Muara Ulakan, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Sementara dua adik laki-laki Raden Sulaiman, yaitu Raden Baharudin dan Raden Abdul Wahab, masing-masing diangkat sebagai Pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma (Fahmi [ed.], 2003:6). Dengan demikian, Kesultanan Sambas resmi berdiri di Muara Ulakan, berdampingan dengan Kerajaan Sambas Tua di Kota Lama. Di Muara Ulakan inilah Raden Sulaiman membangun Istana Alwazikhoebillah.
Koleksi Istana Kesultanan Sambas
c. Bersatunya Dua Pemerintahan di Sambas
Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara kalangan sejarawan tentang penentuan waktu yang tepat kapan Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas Islam, meski dalam beberapa naskah yang ditemukan menyebut tanggal 10 Dzulhijah tahun 1040 Hijriah sebagai tanggal di mana Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas Islam yang pertama (Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1994:17).
Sejumlah sejarawan saling bersilang pendapat ihwal penanggalan masehi pendirian Kesultanan Sambas. Machrus Effendy, misalnya, meyakini tahun 1612 M, sedangkan Mawardi Rivai menyebutkan tahun 1622 M. Sejarawan Melayu asal Brunei, Awang Al-Sufri, menyatakan tahun 1631 M (Musa, 2003:35). Tahun yang sama juga diyakini oleh Yudithia Ratih dalam tulisannya Istana Alwatzikubillah – Sambas (Ratih, tt:65). Terlepas dari perbedaan itu, sebenarnya dapat ditarik jalan tengah bahwa berdirinya Kesultanan Sambas paling tidak terjadi pada dekade-dekade awal abad ke-17. Mengenai tahun wafatnya Raden Sulaiman, pendiri Kesultanan Sambas Islam, oleh Pabali H. Musa disebutkan pada tahun 1669 M (Musa, 2003:36).
Sepeninggal Raden Sulaiman, pemerintahan Kerajaan Sambas Tua dipimpin oleh Ratu Anom Kesuma Yuda hingga wafat dan digantikan putranya yang bernama Raden Bekut dengan gelar Panembahan Kota Balai. Selanjutnya, penerus tahta Kesultanan Sambas Lama adalah Raden Mas Dungun yang menjadi raja terakhir karena tidak lama setelah dinobatkan, Raden Mas Dungun menyerahkan wilayahnya kepada Raden Sulaiman yang bertahta di Kota Bangun (Ratih, tt:63).
Dengan demikian, jika dirunut dari riwayat terdahulu, Kesultanan Sambas masih memiliki garis keturunan dengan Kerajaan Hindu Ratu Sepudak/Kerajaan Sambas Tua, Sukadana, Serawak, dan Brunei Darussalam. Untuk menjaga hubungan keluarga yang turun-temurun itu, Sultan Syafiuddin I menitahkan putra pertamanya, Raden Bima, agar mengunjungi Kesultanan Brunei Darussalam yang menjadi tempat asal Sultan Tengah, ayahanda Sultan Syafiuddin I sekaligus kakek dari Raden Bima.
Sebelumnya, Raden Bima terlebih dulu ke Sukadana untuk mengunjungi neneknya, Ratu Surya Kesuma. Pemimpin Sukadana waktu itu, Sultan Zainuddin, berkenan menjodohkan Raden Bima dengan adik perempuannya yang bernama Putri Indra Kusuma. Dari hasil perkawinan itu, Raden Bima dan Putri Indra Kusuma mempunyai seorang putra bernama Raden Milian yang dilahirkan pada tanggal 2 Rabbiul Awal 1075 H (Musa, 2003:9).
Setelah pulang ke Muara Ulakan untuk menemui ayah dan ibundanya dengan membawa serta Putri Indra Kusuma dan Raden Milian yang baru berusia satu setengah tahun, Raden Bima bersiap menuju ke Brunei Darussalam. Kedatangan Raden Bima disambut meriah oleh keluarga Kesultanan Brunei Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Mahyiddin (1673 – 1690 M). Bahkan, Sultan Mahyiddin berkenan memberikan anugerah gelar kehormatan Sultan Anum kepada Raden Bima. Selain itu, Raden Bima diberi banyak sekali benda-benda kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang masih dipergunakan dalam upacara-upacara adat Kesultanan Sambas sampai sekarang (Musa, 2003:9).
Sepulang dari Brunei, Raden Bima dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1668-1708 M). Ketika beliau wafat, tahta kesultanan diberikan kepada putranya yaitu Raden Milian bergelar Sultan Umar Akamuddin I (1708-1732 M). Pengganti Raden Milian adalah Raden Bungsu dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin (1732-1762 M). Setelah itu, berturut-turut yang menjabat sebagai Sultan Sambas hingga awal abad ke-19 adalah Sultan Umar Akamuddin II (1762-1786 M), Sultan Achmad Tajuddin (1786-1793 M), dan Sultan Abubakar Tajuddin I (1793-1815) (Ratih, tt:64).
d. Kesultanan Sambas di Era Kolonial
Pada tahun 1609 M, Belanda membuka hubungan dagang dengan Kesultanan Matan di Kalimantan Barat. Dari situ, Belanda mendengar kabar tentang Kerajaan Sambas Tua di bawah pimpinan Ratu Sepudak yang kaya akan hasil hutan dan emas. Namun baru pada tanggal 1 Oktober 1696 M, wakil Belanda, Samuel Bloemaert, mengadakan perjanjian dagang dengan Kesultanan Sambas yang telah bercorak Islam (Ratih, tt:62).
Pada tanggal 24 Juli 1812, Inggris menyerang Sambas. Peristiwa itu terjadi ketika Sultan Abubakar Tajuddin I sedang melawat ke Serawak. Namun, serangan Inggris itu berhasil dipatahkan. Pada tahun 1815, Sultan Abubakar Tajuddin I wafat dan digantikan Pangeran Anom dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafiudin I (1815-1828) (Ratih, tt:64).
Sejak akhir tahun 1823 Belanda dan Inggris membahas pembagian wilayah atas nusantara dan Malaka. Pada tanggal 17 Maret 1824, Belanda dan Inggris menyepakati perjanjian yang dikenal sebagai Traktat London. Isi Traktat London pada intinya adalah penyerahan negeri-negeri di nusantara dari Inggris kepada Belanda. Sedangkan Inggris berhak atas Malaka beserta tanah jajahannya dan Singapura (Netscher, 2002:465-466). Dengan demikian, wilayah Kesultanan Sambas kembali dikuasai Belanda.
Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I wafat tahun 1828 dan digantikan Raden Ishak atau Pangeran Ratu Nata Kusuma. Tapi karena Raden Ishak belum dewasa, maka pemerintahan sementara dipegang oleh saudara Sultan Muhammad Ali Syafiudin I, Pangeran Bendahara Sri Maha Sultan dengan gelar Sultan Usman Kamaluddin (1828-1830) (Ratih, tt:64). Sultan Usman Kamaluddin wafat tahun 1831 dan kepemimpinan dialihkan kepada adik Sultan Muhammad Ali Syafiudin I yang lain, Pangeran Tumenggung Jaya Kusuma bergelar Sultan Umar Akamuddin III (1830-1845). Ketika Sultan Umar Akamuddin III wafat tanggal 15 Desember 1845, Pangeran Ratu Nata Kusuma dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Abubakar Tajuddin II (Ratih, tt:64).
Dengan surat keputusan Gubernemen Hindia Belanda tertanggal 17 Januari 1848, putra sulung Sultan Abubakar Tajuddin II, Syafiuddin, diangkat sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati dan kemudian disekolahkan ke Jawa. Karena berselisih dengan pemerintah kolonial, Sultan Abubakar Tajuddin II diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, pada tahun 1855. Belanda kemudian mengangkat Pangeran Ratu Negara sebagai pengganti sultan dengan gelar Sultan Umar Kamluddin (1855-1866) (Ratih, tt:64).
Pada tanggal 23 Juli 1861, Pangeran Adipati pulang ke Sambas setelah menyelesaikan sekolahnya di Jawa. Kemudian, pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin II (1866 – 1922). Pada masa ini, Kesultanan Sambas mengalami masa kejayaan, salah satu wujudnya adalah dengan pembangunan Masjid Jami atau Masjid Agung Sambas pada tahun 1877 (Ratih, tt:64).
Selain membangun Masjid Jami, sebagai upaya untuk mengembangkan ajaran Islam, Sultan Muhammad Syafiuddin II juga mendirikan Madrasah Al-Sultaniyah. Sebelumnya, pada tahun 1872, Sultan telah membentuk Maharaja Imam sebagai institusi keagamaan tertinggi di istana. Untuk memimpin institusi yang memiliki otoritas terbesar dalam bidang kegamaan ini, Sultan menunjuk seorang ulama bernama Haji Muhammad Arif Nuruddin (Muhammad Rahmatullah,2003:6).
Masjid Jami Kesultanan Sambas
Kemajuan intelektual juga diperoleh Kesultanan Sambas pada era Sultan Muhammad Syafiuddin II dengan mendirikan sekolah-sekolah dan memberi penghargaan kepada siswa-siswa berprestasi untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir dan Arab Saudi (Fahmi [ed.], 2003:37). Salah seorang putra Sambas yang berhasil menempuh pendidikan di Mesir adalah Muhammad Basiuni Imran (1885 – 1976) yang kemudian diangkat sebagai Maharaja Imam Kesultanan Sambas sejak tahun 1913. Berkat pemikiran dan karya-karyanya, Muhammad Baisuni Imran dianggap sebagai pelopor pandangan reformisme Mesir di Indonesia (Erwin Mahrus, 2007:5).
Sebagai calon penggantinya, Sultan Muhammad Syafiuddin II mengangkat Raden Ahmad, sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Ahmad. Akan tetapi, Raden Ahmad, yang dikenal sangat gigih melawan penjajah Belanda, meninggal dunia dalam usia muda karena sakit. Dengan wafatnya Raden Ahmad, maka putra kedua Sultan Muhammad Syafiuddin II yang bernama Raden Muhammad Mulia Ibrahim ditetapkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Ratu Nata Wijaya.
Saat Sultan Muhammad Syafiuddin II merasa sudah tidak mampu lagi memimpin pemerintahan, sementara putra mahkota dirasa belum cukup umur untuk menggantikannya, maka dipilihlah putra Sultan Muhammad Syafiuddin II dari istri selir, yang bernama Raden Muhammad Ariadiningrat, sebagai pemimpin Kesultanan Sambas untuk sementara dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafiuddin II (1922 – 1926) (Fahmi [ed.], 2003:39).
Sultan Muhammad Syafiuddin II wafat pada tanggal 12 September 1924. Pada tanggal 9 Oktober 1926, menyusul kemudian Sultan Muhammad Ali Syafiuddin II yang meninggal dunia karena sakit. Dikarenakan putra mahkota masih belum dewasa, maka pemerintahan Kesultanan Sambas untuk sementara dipegang oleh lembaga bernama Bestuur Commisie yang terdiri dari sejumlah pejabat tinggi Kesultanan Sambas dan wakil pemerintah Hindia Belanda  (Fahmi [ed.], 2003:39).
Putra mahkota Pangeran Ratu Nata Wijaya dinobatkan sebagai Sultan Sambas pada tahun 1931 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943). Ketika pendudukan Belanda di Indonesia berakhir dan digantikan oleh pemerintahan militer Jepang pada tahun 1942, Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin mengajak sejumlah pemimpin kesultanan yang ada di Kalimantan Barat mengadakan pertemuan untuk bersatu melawan penjajah Jepang. Namun, pertemuan yang dilakukan pada tahun 1943 itu diketahui oleh aparat Jepang sehingga para pemimpin kesultanan ditangkap dan kemudian dibunuh di mana Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin termasuk yang menjadi korban kekejaman Jepang.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, Sambas dikuasai kembali oleh Belanda. Karena putra mahkota, Raden Muhammad Taufik dengan gelar Pangeran Ratu Muhammad Taufik, masih kecil, Belanda kembali membentuk Bestuur Commisie. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, Kesultanan Sambas menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di Singkawang (Fahmi [ed.], 2003:42). Pangeran Ratu Muhammad Taufik, putra mahkota Kesultanan Sambas yang tidak sempat dinobatkan sebagai sultan, meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 1984 (Fahmi [ed.], 2003:42).
2. Silsilah
Menurut Yudithia Ratih dalam tulisannya berjudul Istana Alwatzikubillah – Sambas, silsilah para sultan yang pernah memimpin Kerajaan Sambas Tua dan Kesultanan Sambas adalah sebagai berikut:
Kerajaan Hindu Ratu Sepudak/Kerajaan Sambas Tua:
01. Raden Janur (sekitar tahun 1364 M).
02. Tang Nunggal.
03. Ratu Sepudak (1550 M).
04. Pangeran Prabu Kencana bergelar Ratu Anom Kesuma Yuda.
05. Raden Bekut bergelar Panembahan Kota Balai.
06. Raden Mas Dungun.
Kesultanan (Islam) Sambas:
01. Sultan Muhammad Syafiuddin I (1631 – 1668 M).
02. Sultan Muhammad Tajuddin (1668 – 1708 M).
03. Sultan Umar Akamuddin I (1708 – 1732 M)
04. Sultan Abubakar Kamaluddin I (1732 – 1762 M).
05. Sultan Umar Akamuddin II (1762 – 1786 M).
06. Sultan Achmad Tajuddin (1786 – 1793 M).
07. Sultan Abubakar Tajuddin I (1793 – 1815).
08. Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I (1815 – 1828).
09. Sultan Usman Kamaluddin (1828 – 1831).
10. Sultan Umar Akamuddin III (1831 – 1845).
11. Sultan Abubakar Tajuddin II (1845 – 1855).
12. Sultan Umar Kamaluddin (1855 – 1866).
13. Sultan Muhammad Syafiudin II (1866 – 1922).
14. Sultan Muhammad Ali Syafiuddin II (1922 – 1926).
15. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931 – 1943) (Ratih, tt:65).
Sedangkan dari berbagai sumber yang dirangkum situs ensiklopedi Wikipedia disebutkan, setelah bergabung dengan Republik Indonesia, masih ada keturunan Sultan Sambas yang menjabat sebagai Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas, yaitu:
16. Pangeran Ratu Muhammad Taufik (1944 – 1984).
17. Pangeran Ratu Winata Kusuma (2000 – 2008).
18. Pangeran Ratu Muhammad Tarhan (2008 – sekarang) (http://id.wikipedia.org).
Makam Abubakar Tajuddin I
3. Sistem Pemerintahan
Pada masa Kerajaan Sambas Tua dipimpin oleh Ratu Anom Kesuma Yuda, sistem pemerintahan yang dianut adalah menurut adat-istiadat yang sudah turun-temurun, di mana raja sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dibantu oleh beberapa orang yang menempati jabatan sebagai Orang-Orang Besar. Jabatan ini di antaranya terdiri dari Pangeran Mangkurat yang bertugas memegang perbendaharaan kerajaan dan mewakili raja apabila raja sedang sakit atau berhalangan hadir dalam suatu upacara (Fahmi [ed.], 2003:5).  
Terdapat juga posisi menteri yang bekerja di bawah perintah raja sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Salah satu menteri Kerajaan Sambas Tua pada era Ratu Anom Kesuma Yuda adalah Raden Sulaiman sebagai menteri pertahanan dan keamanan. Raden Sulaiman inilah yang kelak mendirikan Kesultanan Sambas Islam. Di samping itu, juga terdapat pangkat dan gelar-gelar lainnya dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sambas Tua, seperti sida-sida, bentara, dan hulubalang, yang bertugas sebagai pengawal raja di dalam lingkungan istana (Fahmi [ed.], 2003:5).
Saat pengangkatan Orang-Orang Besar dan pegawai-pegawai tinggi kerajaan, diadakan sumpah akan selalu patuh dan setia kepada raja. Perwujudan sumpah itu dilakukan dengan meminum air dari rendaman keris pusaka kerajaan. Maksud dari ritual ini adalah jika orang yang disumpah melanggar ikrarnya setia kepada raja, maka keris itulah nantinya yang akan menuntut tanggung jawab atas perbuatannya (Fahmi [ed.], 2003:5).
Ketika berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Hindia Belanda, Kesultanan Sambas tidak lagi leluasa mengatur pemerintahannya sendiri. Penunjukan sultan dan putra mahkota harus dengan izin resmi dari pemerintah kolonial. Saat terjadi kekosongan pemerintahan, pemerintah kolonial berhak membentuk dewan pemerintahan kesultanan sementara bernama Bestuur Commisie yang terdiri dari bangsawan tinggi Kesultanan Sambas dan wakil dari pemerintah kolonial.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara resmi pada tahun 1949, Kesultanan Sambas bergabung dengan NKRI dan menjadi daerah swapraja. Pada perkembangannya, wilayah yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Karena sudah menjadi bagian dari wilayah negara Indonesia, jabatan sultan sebagai pemimpin Kesultanan Sambas ditiadakan dan digantikan dengan jabatan yang disebut Kepala Rumah Tangga Kesultanan Sambas hingga sekarang.
4. Wilayah Kekuasaan
Terdapat sejumlah nama tempat yang penting kaitannya dengan kekuasaan Kerajaan Sambas Tua dan Kesultanan Sambas. (1) Kota Lama, pusat pemerintahan Kerajaan Sambas Tua yang terletak di Sekura; (2) Kota Bangun, merupakan tempat pertama kalinya Sultan Tengah membangun perkampungan di Sambas; (3) Kota Bandir, daerah di hulu Sungai Subah yang merupakan tempat Raden Sulaiman mengasingkan diri setelah meninggalkan Kota Lama. Selama tiga tahun, Kota Bandir menjadi pusat pemerintahan transisional dari Kerajaan Sambas Tua ke Kesultanan Sambas; (4) Lubuk Madung, daerah simpang Sungai Teberau yang merupakan ibu kota pertama Kesultanan Sambas; dan (5) Muara Ulakan, pusat pemerintahan Kesultanan Sambas yang terakhir.
Selain tempat-tempat yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sambas Tua dan Kesultanan Sambas di atas, ditemukan juga sejumlah nama tempat yang diperkirakan menjadi wilayah taklukan Kerajaan Sambas Tua/Kesultanan Sambas, meskipun jumlah negeri-negeri taklukan tersebut tidak seberapa banyak karena Kerajaan Sambas Tua/Kesultanan Sambas juga menjadi negeri jajahan, dari Kerajaan Majapahit, Kesultanan Johor, hingga pada masa pendudukan Belanda dan kemudian Jepang. Beberapa negeri yang diduga menjadi negeri taklukan Kerajaan Sambas Tua/Kesultanan Sambas itu antara lain Nagur, Bantilan, dan Segerunding (Fahmi [ed.], 2003:6).
Jika ditinjau dari kondisi geografis dan administratif pada masa sekarang, kekuasaan Kesultanan Sambas meliputi seluruh wilayah Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas yang terletak di bagian pantai barat paling utara di Kalimantan Barat, hingga kini dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Sambas.
(Iswara NR/Ker/01/12-2009)
Referensi
  • “Kesultanan Sambas”, diunduh pada tanggal 20 Desember 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Sambas.
  • E. Netscher. 1870. De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865. Diterjemahkan dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia oleh Wan Ghalib dkk.  2002. Belanda di Johor dan Siak 1602 - 1865. Siak: Pemerintah Daerah Kabupaten Siak dan Yayasan Arkeologi dan Sejarah Bina Pusaka.
  • Erwin Mahrus. 2007. Falsafah dan gerakan pendidikan Islam Maharaja Imam Sambas Muhammad Basiuni Imran (1885–1976). Pontianak: Yayasan Pesisir – STAIN Pontianak Press.
  • Mawardi Rivai. Tanpa tahun. Peranan Sultan Tengah sebagai tokoh sejarah yang melahirkan hubungan bangsa serumpun dan pengaruhnya di antara tokoh rumpun Melayu lainnya di Kalimantan Barat. Makalah seminar di Malaysia (tidak siterbitkan).
  • Muhammad Rahmatullah. 2003. Pemikiran fikih Maharaja Imam Kesultanan Sambas Muhammad Basiuni Imran (1885–1976). Pontianak: Bulan Sabit Press.
  • Pabali H. Musa. 2003. Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat: Kajian naskah asal raja-raja dan silsilah Raja Sambas. Pontianak: STAIN Pontianak Press, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation.
  • Sri Wulan Rujiati Mulyadi. 1994. Kodikologi Melayu di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
  • Urai Riza Fahmi. 2003. Selayang Pandang Kerajaan Islam Sambas. Sambas: Mutiara.
  • Yudithia Ratih. “Istana Alwatzikubillah – Sambas”, dalam Istana-istana di Kalimantan Barat. Inventarisasi Istana di Kalimantan Barat: tanpa tahun.
Sumber Foto:
  • Yudithia Ratih. “Istana Alwatzikubillah – Sambas”, dalam Istana-istana di Kalimantan Barat. Inventarisasi Istana di Kalimantan Barat: tanpa tahun.
  • Foto-foto Istana Alwazikhoebillah, benda-benda koleksi Kesultanan Sambas, dan Masjid Jami dalam http://wisatamelayu.com.

0 comments:

Post a Comment

Sudahkah Anda Sholat !!!

Karimunting. Powered by Blogger.