Kesultanan Kubu

Kesultanan  Kubu adalah sebuah pemerintahan kerajaan Islam yang daerah   kekuasaannya sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten  Kubu Raya,  Provinsi Kalimantan  Barat,  Indonesia. Data yang ditemukan menyebutkan, asal-muasal berdirinya  Kesultanan  Kubu adalah berkat prakarsa orang-orang Arab yang datang  dari Hadramaut (Yaman  Selatan), kira-kira pada tahun 1720 Masehi, atau  tepatnya pada tanggal 17  Ramadhan tahun 1144 dalam penanggalan Islam  (Hijriah). Dengan demikian,  asal-muasal Kesultanan Kubu persis dengan sejarah berdirinya Kesultanan  Pontianak  dan sama-sama menjadi pemerintahan Islam berbasis Arab yang ada  di  tanah Melayu, khususnya yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat.
1. Sejarah
Riwayat  Kesultanan Kubu diawali dengan kedatangan serombongan orang yang   berasal dari sebuah tempat bernama Ar-Ridha yang terletak di Kota Trim,  Hadramaut,  atau yang sekarang bernama Yaman Selatan. Rombongan yang  datang ke wilayah Kalimantan  Barat pada kira-kira tahun 1720 M ini  berjumlah kurang lebih 45 orang. Perantauan  orang-orang Islam yang  datang dari Hadramaut itu bertujuan untuk menyiarkan  agama Islam ke  negeri-negeri seberang. 
Dalam buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat karya   J.U. Lontaan (1975), disebutkan nama-nama tokoh yang mempelopori  perjalanan  rombongan dari Hadramaut itu ke negeri-negeri Melayu, yakni  Syarif Hussein  Jammael yang kemudian memakai nama Syarif Habib Hussein  Alqadrie, Sayyid Idrus  bin Sayyid Abdul Rahman al-Idrus atau Syarif  Idrus, Syarif Abdurrakhman As  Sagaf, dan Syarif Akhmad (Lontaan  1975:217). Gelar Sayyid atau Habib atau  Syarif menandakan bahwa  orang-orang ini termasuk keturunan Nabi Muhammad. Syarif  Idrus kelak  menurunkan sultan-sultan yang memerintah Kesultanan Kubu sedangkan   Syarif Hussein Jammael atau Syarif Habib Hussein Alqadrie menurunkan   sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan  Kadriah di Pontianak. 
a. Asal-usul Berdirinya Kesultanan Kubu
Syarif  Habib Hussein Alqadrie, Syarif Idrus, Syarif Abdurrakhman As Sagaf,   dan Syarif Akhmad adalah saudara satu seperguruan. Perjalanan menuju ke  negeri-negeri  Timur dilakukan atas saran guru besar mereka dengan  tujuan untuk menemukan  daerah yang subur sekaligus untuk menyebarkan  ajaran Islam hingga akhirnya  mereka menginjakkan kaki di Terengganu  (sekarang termasuk ke dalam wilayah  negara Malaysia) untuk kemudian  menuju ke Aceh, lalu ke Palembang. 
Mereka  menetap cukup lama di Palembang, bahkan Syarif Idrus kemudian   dinikahkan dengan puteri Sultan Palembang pada tahun 1747. Syarif Idrus   memiliki beberapa orang anak dari perkawinannya dengan putri Sultan  Palembang,  antara lain Syarif Muhammad bin Syarif Idrus al-Idrus,  Syarif Alwi bin Syarif  Idrus al-Idrus, Syarif Abdurrahman bin Syarif  Idrus, Syarif Mustafa bin Syarif  Idrus al-Idrus, dan Syarifa Muzayanah  binti Syarif Idrus al-Idrus. Dari  Palembang, rombongan ini kemudian  menyusuri pesisir pulau Jawa, antara lain ke Banten,  Betawi, Cirebon,  Demak, Mataram, hingga bagian timur Jawa (Mahayudin Haji Yahya,   1999:224-225). 
Selanjutnya,  rombongan tersebut berlabuh di Semarang dan bermukim di kota  itu  selama dua tahun. Ketika menetap di Semarang, rombongan pendakwah dari   Timur Tengah itu memperoleh informasi bahwa ada suatu tempat yang subur  di  seberang lautan. Maka dari itu, mereka kemudian menyeberangi Laut  Jawa dan  sampailah ke wilayah Kesultanan  Matan/Tanjungpura  di Ketapang, Kalimantan Barat. Kehadiran rombongan  penyiar Islam itu  disambut baik oleh keluarga Kesultanan Matan. Bahkan oleh  rakyat Matan,  mereka sangat dihormati bagaikan wali (Musni Umberan, et.al., 1995:46-47).
Tidak  lama setelah menetap di Kesultanan Matan dan mengajarkan Islam kepada   penduduknya, rombongan Syarif Idrus memutuskan untuk menuju Kerajaan  Mempawah  (sekarang terletak di Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat). Namun,   tidak semua anggota rombongan mengikuti kebijakan Syarif Idrus. Sebagian  yang  lain, terutama para pengikut Syarif Habib Hussein Alqadrie,  memilih bertahan di  Kesultanan Matan. Rombongan besar dari Yaman  Selatan ini pun kemudian terbagi. Rombongan  di bawah pimpinan Syarif  Idrus segera bersiap untuk berlayar menuju Kerajaan  Mempawah, sedangkan  para pendukung Syarif Habib Hussein Alqadrie tetap tinggal  di  Kesultanan Matan untuk beberapa lama lagi. 
Perjalanan  rombongan Syarif Idrus dilakukan melalui jalan laut, kemudian  masuk ke  Sungai Kapuas Kecil yang pada waktu itu masih tertutup hutan   belantara. Dalam perjalanan menyusuri sungai selama beberapa hari,  rombongan itu  tertarik pada suatu cabang sungai, terutama Syarif Idrus  yang merasa bahwa  tempat tersebut sangat baik sebagai tempat permukiman  (Lontaan, 1975:218).  Rombongan Syarif Idrus kemudian berlabuh di  persimpangan sungai, yakni di  daerah muara. Dengan demikian, mereka  tidak melanjutkan perjalanan yang pada  awalnya bertujuan ke Kerajaan  Mempawah. 
Pada  akhirnya nanti, justru rombongan Syarif Habib Hussein Alqadrie yang   tiba di Mempawah dan diterima dengan baik oleh keluarga Kerajaan  Mempawah yang  saat itu dipimpin oleh Opu  Daeng Manambon  bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740-1761 M). Husein  Alqadrie  kemudian diangkat sebagai patih dan imam besar Kerajaan Mempawah dan  diperkenankan  menempati daerah Kuala Mempawah (Galah Herang) sebagai  pusat pengajaran agama Islam  di Mempawah. 
Anak  lelaki Husein Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie  kemudian  dinikahkan dengan putri Opu Daeng Menambon, bernama Putri  Candramidi (Erwin  Rizal, tt:40). Kelak, Syarif Abdurrahman Alqadrie  mendirikan Kesultanan Kadriah  di Pontianak. Meski sudah merintis  pendirian Kadriah sejak tahun 1771 M, namun  baru pada tahun 1778 M  Abdurrahman Alqadrie secara resmi dinobatkan sebagai  Sultan Kadriah  Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie yang  berkuasa  sampai tahun 1808 M (Alqadrie, 2005, dalam  http://syarif-untan.tripod.com).
Tidak  lama setelah didirikan, permukiman baru yang dibangun Syarif Idrus  didatangi  banyak orang dan kemudian terjadi saling interaksi lintas  etnis dan budaya di  sana. Setiap hari, orang-orang dari Suku Dayak yang  berlalu-lalang di Sungai Kapuas  Kecil, menyempatkan diri untuk  mengunjungi kampung baru yang didirikan Syarif  Idrus itu. Orang-orang  Suku Dayak itu tertarik dengan segala hal baru yang  mereka temukan di  tempat tersebut, terutama kepemimpinan Syarif Idrus. Bahkan, mereka   menawarkan diri untuk diizinkan bergabung di bawah kepemimpinan Syarif  Idrus. Maka  kemudian permukiman itu semakin lama semakin besar dan  perlahan-lahan berubah  menjadi sebuah bandar perdagangan yang sangat  ramai (Lontaan, 1975:220). Pada  tahun 1772 M, seluruh rakyat bersepakat  mengangkat Syarif Idrus menjadi  pemimpin mereka. Di bawah pimpinan  Syarif Idrus, banyak kemajuan yang  diperoleh, terutama dalam bidang  pertahanan, ekonomi, dan perdagangan.
Kemakmuran  permukiman yang didirikan oleh Syarif Idrus di tepi Sungai  Kapuas  Kecil ternyata memancing niat buruk gerombolan perompak (lanun) untuk   menjarahnya. Beberapa kali perkampungan Syarif Idrus menjadi korban  keganasan  para bajak laut sehingga mengalami kerugian yang tidak  sedikit. Oleh karena  itu, Syarif Idrus kemudian memutuskan kebijakan  untuk memindahkan pusat  pemerintahannya ke daerah di pinggir anak  Sungai Kapuas Besar (dikenal juga  dengan nama Sungai Terentang) dan  membuat sistem pertahanan yang lebih kuat  sebagai langkah untuk  mengantisipasi serangan dari luar. Kubu pertahanan dibuat  dengan cara  menimbun sungai agar tidak dapat dicapai oleh musuh (Rizal, tt:44).
Sejak  benteng pertahanan tersebut dibangun dengan kokoh, mulailah orang   menamakan kampung itu dengan sebutan Kubu yang berlaku hingga saat ini.  Benteng  pertahanan yang dibangun oleh para pengikut setia Syarif Idrus  terbukti kuat. Kendati  telah berkali-kali mendapat serangan dari musuh,  tapi benteng pertahanan ini  masih cukup ampuh menahannya. Inilah awal  mula mengapa tempat itu disebut  dengan nama Kubu dan kemudian menjadi  Kesultanan Kubu.  
Kedigdayaan  benteng tersebut justru membuat penduduk Kubu menjadi lengah.  Mereka  terlanjur sangat meyakini bahwa benteng perkampungan mereka tidak dapat   ditembus oleh musuh yang sekuat apapun. Mereka tidak memperhitungkan  lagi bahwa  musuh tetap mencari akal untuk menerobos benteng hingga pada  suatu ketika, terjadilah  serbuan mendadak dari orang-orang Siak.  Karena dalam kondisi yang tidak siap, pihak  Kubu menjadi kocar-kacir  karena serangan itu. 
Saat  serbuan itu terjadi, Syarif Idrus yang sedang menunaikan ibadah shalat   akhirnya tewas terbunuh. Atas kejadian tersebut, penduduk Kubu dan  keturunannya  bersumpah tidak akan menjalin kekerabatan, termasuk  menikah dan dinikahi,  dengan dan oleh orang Siak beserta anak-cucunya  (Lontaan, 1975:221). Kejadian penyerangan  Kubu oleh Siak itu terjadi di  penghujung abad ke-18, atau kira-kira pada tahun 1795.  
b. Kesultanan Kubu pada Masa Kolonial
Sebelum  gugur, Syarif Idrus ternyata telah membuka pintu bagi Belanda dengan   bersedia menandatangani kontrak politik yang menyepakati sejumlah pasal,   terutama dalam hal pembagian wilayah kekuasaan dan dalam bidang  ekonomi. Pada  medio abad ke-18 itu, Belanda melalui VOC (Vereenigde  Oost indische Compagnie)  yang dibentuk sejak 20 Maret 1602 M, sudah  menanamkan pengaruhnya di beberapa kerajaan  di Kalimantan Barat dengan kedudukan yang berpusat di Pontianak (Alqadrie,  2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Sepeninggal  Syarif Idrus, pemerintahan Kesultanan Kubu dilanjutkan oleh  putera  mahkota yang bernama Syarif Muhammad bin Syarif Idrus. Di bawah   kepemimpinan Sultan Syarif Muhammad yang berlangsung sejak tahun 1795 M,  hegemoni  Belanda masih kental dalam mempengaruhi pemerintahan  Kesultanan Kubu. Pengaruh  Belanda bertahan lama dan mencapai puncak  dengan disepakatinya kontrak politik tertanggal  7 Juni 1823 antara  Belanda dengan Sultan Syarif Muhammad (Lontaan, 1975:221).
Pasal-pasal  yang termaktub dalam kontrak politik itu sangat menguntungkan  Belanda.  Kenyataan itu membuat beberapa kalangan dari keluarga Kesultanan Kubu  merasa  tidak senang. Salah seorang keluarga Kesultanan Kubu yang paling  keras mengecam  kontrak politik dengan Belanda itu adalah Syarif Alwi  bin Syarif Idrus, yang  tidak lain adalah saudara sekandung Sultan  Syarif Muhammad. Sebagai bentuk  kekecewaan, Syarif Alwi keluar dari  wilayah Kubu dan menuju daerah Gunung  Ambawang bersama para  pengikutnya. 
Di  Gunung Ambawang, Syarif Alwi bin Syarif Idrus mendirikan pemerintahan   baru yang kemudian dikenal dengan nama Kesultanan Ambawang, yang  sebenarnya didirikan  di daerah kekuasaan Kesultanan Kubu. Selain itu,  Syarif Alwi menunjukkan rasa  ketidaksukaannya terhadap Belanda dengan  mengibarkan bendera Inggris di wilayah  kekuasaannya. Tindakan Syarif  Alwi yang mendirikan pemerintahan baru tanpa  seizin Belanda, ditambah  dengan pengibaran bendera Inggris yang notabene  merupakan pesaing  Belanda di Asia Tenggara, jelas memantik kemurkaan pihak Kompeni.   Syarif Alwi kemudian dikejar-kejar pasukan Belanda hingga kemudian ia  meminta  perlindungan dan menetap di Serawak (sekarang termasuk wilayah  Malaysia) yang  merupakan daerah jajahan Inggris  (www.pontianakonline.com). 
Pada  tahun 1829, Sultan Syarif Muhammad bin Syarif Idrus meninggal dunia.   Kedudukan almarhum sebagai pemimpin Kesultanan Kubu dilanjutkan oleh  puteranya  yang bernama Syarif Abdul Rahman bin Syarif Muhammad.  Pemerintahan Sultan  Syarif Abdul Rahman tidak luput dari campur tangan  Belanda. Pada tanggal 7 Juni  1829, Sultan Syarif Abdul Rahman  menandatangani kontrak politik yang disodorkan  oleh Belanda. Hegemoni  Belanda terhadap eksistensi Kesultanan Kubu masih  berlanjut pada era  sultan-sultan berikutnya. 
Pengganti  Sultan Syarif Abdul Rahman adalah Sultan Syarif Ismail bin Syarif   Abdul Rahman yang dinobatkan sebagai Sultan Kubu dan sekaligus  menandatangani  kontrak politik dengan Belanda pada tanggal 28 Mei 1841.  Setelah pemerintahan  Sultan Syarif Ismail berakhir pada tahun 1864,  yang berhak naik tahta sebagai Sultan  Kubu yang berikutnya adalah  putera mahkota, yakni Syarif Zin bin Ismail. Namun  karena Syarif Zin  bin Ismail dianggap belum cukup umur untuk memimpin, maka  yang kemudian  ditabalkan sebagai Sultan Kubu adalah Syarif Hassan bin Syarif Abdul   Rahman, saudara dari Sultan Syarif Ismail. Sultan Hassan menyepakati  kontrak  politik dengan Belanda pada tanggal 27 Juni 1871 (Lontaan,  1975:223).
Kesultanan  Kubu mengalami masa gemilang pada era pemerintahan Sultan Syarif   Hassan. Kejayaan yang dicapai oleh Kesultanan Kubu terutama dalam bidang   pertahanan, perdagangan, dan pembangunan (Rizal, tt:45). Sultan Syarif  Hassan telah  membangun tata kota yang baik dan teratur. Selain itu,  selama masa kepemimpinannya,  Sultan Syarif Hassan juga membenahi sarana  transportasi, bahkan jalan-jalan  yang menuju daerah-daerah pedalaman  pun diperbaiki. Kemungkinan besar, pada  masa pemerintahan Sultan Syarif  Hassan inilah pembangunan Masjid Jami Khairu  Sa’adah, yang menjadi  masjid agung Kesultanan Kubu, mulai dilakukan.
Syarif  Zin bin Ismail, putera almarhum Sultan Syarif Ismail, adalah orang   yang seharusnya paling punya hak untuk bertahta di Kesultanan Kubu  karena  naiknya Sultan Syarif Hassan, yang tidak lain adalah paman  Syarif Zin bin  Ismail, sebagai pemimpin Kesultanan Kubu adalah sebagai  pemangku kesultanan  sembari menunggu Syarif Zin bin Ismail tumbuh  dewasa dan sanggup menjadi  pemimpin. Namun kenyataan yang terjadi  tidaklah demikian karena yang dinobatkan  sebagai Sultan Kubu  selanjutnya justru anak lelaki Sultan Syarif Hassan, yaitu Syarif  Abbas  bin Syarif Hassan. Sultan baru ini menandatangani kontrak politik  dengan  pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 8 November 1900.  Pemerintahan Sultan  Syarif Abbas di Kesultanan Kubu berakhir pada  tahun 1911. 
c. Akhir Riwayat Kesultanan Kubu
Kandasnya  kepemimpinan Sultan Syarif Abbas bin Hassan bukan karena sang  Sultan  mangkat, melainkan diturunkan secara paksa oleh pemerintah kolonial   Hindia Belanda. Lengsernya Sultan Syarif Abbas bin Hassan dari  singgasana  Kesultanan Kubu membuka peluang bagi Syarif Zin bin Syarif  Ismail untuk  mengambil-alih tahta yang sebenarnya telah menjadi haknya  sejak lama. Meski  sempat terjadi pergolakan antara pihak Sultan Syarif  Abbas bin Syarif Hassan melawan  pihak Syarif Zin bin Syarif Ismail,  namun pada akhirnya Sultan Syarif Abbas  mengalami kekalahan dan  terpaksa mempersilakan Syarif Zin naik tahta sebagai  penggantinya.
Peralihan  pemerintahan Kesultanan Kubu ini disetujui oleh pemerintah  kolonial  Hindia Belanda yang segera menyodorkan surat kontrak politik tertanggal   26 September 1911 kepada Sultan Syarif Zin bin Syarif Ismail. Setahun  sebelum  kontrak politik itu ditandatangani, yaitu pada tahun 1910,  pemerintah kolonial  Hindia Belanda sebenarnya telah membentuk suatu  lembaga pemerintahan bernama Bestuur Commite yang fungsi  dan  wewenangnya kurang lebih sebagai instansi bentukan Belanda untuk  mengawasi  jalannya pemerintahan Kesultanan Kubu. Seorang   kerabat Kesultanan Kubu, bernama Syarif Kasimin, dipercaya oleh  Belanda untuk  memimpin lembaga pemerintahan ala kolonial itu. Belanda  juga mengangkat seorang  abdi setia bernama Syarif Saleh untuk ikut  mengurusi Bestuur Commite (Lontaan, 1975:223). 
Oleh  Belanda, Syarif Kasimin ditetapkan untuk membawahi daerah Tanjung   Bunga, sedangkan Syarif Saleh diberi wewenang di daerah Kubu sampai ke  Padang  Tikar. Besar kemungkinan, karena merasa kewenangannya sebagai  Sultan semakin dipersempit  oleh Belanda, Sultan Syarif Zin bin Ismail  kemudian memindahkan pusat  pemerintahannya ke Kerta Mulia. Perpindahan  pusat pemerintahan Kesultanan Kubu  itu juga dimungkinkan terjadi karena  diadakannya perkawinan antara putera Sultan  Syarif Zin bin Syarif  Ismail, yakni Syarif Agel bin Syarif Zin, dengan seorang  perempuan  bangsawan bernama Syarifa binti Syarif Said. Dalam rangka perkawinan   ini, Syarif Said, ayah dari calon mempelai perempuan, berjanji akan   menghadiahkan sebidang tanah yang luas kepada Syarif Agel. Tanah  pemberian  inilah yang kemudian digunakan Sultan Syarif Zin bin Syarif  Ismail sebagai pusat  pemerintahan Kesultanan Kubu.
Lontaan  (1975) menulis bahwa Syarif Agel bin Syarif Zin tidak pernah  menduduki  tahta Kesultanan Kubu. Karir puncaknya hanya sebagai Menteri I dalam   pemerintahan ayahnya (Lontaan, 1975:226). Di samping Syarif Agil, Sultan  Syarif  Zin sejatinya juga memiliki anak lelaki lainnya yang telah  ditetapkan sebagai  putera mahkota, yaitu yang bernama Syarif Hassan bin  Syarif Zin. Akan tetapi,  hingga Sultan Syarif Zin bin Syarif Ismail  menghembuskan nafas penghabisan pada  tahun 1921, Syarif Hassan bin  Syarif Zin dianggap belum cukup umur untuk  menggantikan sang ayah  sebagai Sultan Kubu. Maka dari itu, ditunjuklah Syarif Saleh,  keturunan  Syarif Idrus, sebagai pemangku adat Kesultanan Kubu untuk sementara   sembari menunggu putera mahkota tumbuh dewasa. 
Syarif  Hassan bin Syarif Zin adalah anak lelaki tertua dari Sultan Syarif  Zin  bin Syarif Ismail. Ia menamatkan pendidikan di Hollandsch Inlandsche  School  (HIS) di Pontianak pada tahun 1925. Setelah itu, Syarif Hassan  bin Syarif Zin dikirim  ke Ketapang untuk bekerja sebagai leerling  schryver (juru  buku) selama dua warsa hingga tahun 1927. Syarif Hassan bin  Syarif Zin  kemudian kembali ke Pontianak untuk bekerja di kantor Asisten  Residen  sampai tahun 1930 sebelum dipindahkan ke Sanggau pada tahun yang sama.  Syarif  Hassan bin Syarif Zin tidak bertahan lama di Sanggau karena  setahun kemudian ia  kembali lagi ke Pontianak untuk bekerja di kantor  Kontrolir Pontianak. Pada  tahun 1933, putra mahkota Kesultanan Kubu ini  merantau hingga ke Batavia (Lontaan,  1975:226).
Syarif  Hassan bin Syarif Zin berada di pusat pemerintahan kolonial Hindia   Belanda di Batavia selama sepuluh tahun hingga kekuasaan Belanda di  Indonesia  berakhir dan digantikan oleh pendudukan tentara Jepang. Pada  tahun 1943, ia  kembali ke kampung halamannya menuruti panggilan  pemerintah militer Jepang yang  telah membentuk Komite Pemerintahan  untuk Kesultanan Kubu. Sultan Syarif Saleh  sendiri telah turun tahta  pada tahun 1943 itu. Komite Pemerintahan untuk  Kesultanan Kubu bentukan  Jepang terdiri dari tiga anggota, yaitu Syarif Hassan  bin Syarif Zin,  Syarif Jusuf bin Husin, dan Anang Dardi. Setelah Jepang  menyerah kepada  tentara Sekutu pada tahun 1944 hingga setahun kemudian  Indonesia  menyatakan kemerdekaannya, pemerintahan Kesultanan Kubu sempat vakum   karena faktor politik dan keamanan yang belum stabil. 
Pada  tahun 1949, seiring pengakuan kedaulatan penuh dari Belanda kepada   Indonesia, Syarif Hassan bin Syarif Zin diangkat sebagai pemimpin daerah   otonomi Kesultanan Kubu. Jabatan tersebut diampunya hingga pada tahun  1958 di  mana pada tahun itulah riwayat Kesultanan Kubu berakhir dan  wilayahnya diserahkan  kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak saat  itu, wilayah Kesultanan Kubu  berubah menjadi kecamatan yang beribukota  di Kota Kubu dan berada di dalam  wilayah administratif Kabupaten  Pontianak, Kalimantan Barat (Rizal, tt:46). Pada   tahun 2007, Kecamatan Kubu dimekarkan  dari Kabupaten Pontianak dan menjadi kabupaten baru dengan nama Kabupaten Kubu  Raya. 
2. Silsilah
Berikut  ini adalah daftar para pemimpin Kesultanan Kubu sejak awal  berdirinya  hingga masa digabungkannya wilayah Kesultanan Kubu dengan negara   Republik Indonesia:
- Sayyid Idrus bin Sayyid Abdul Rahman al-Idrus atau Syarif Idrus (1772 – 1795)
- Sultan Syarif Muhammad bin Syarif Idrus (1795 – 1829)
- Sultan Syarif Abdul Rahman bin Syarif Muhammad (1829 – 1841)
- Sultan Syarif Ismail bin Syarif Abdul Rahman (1841 – 1864)
- Sultan Syarif Hassan bin Syarif Abdul Rahman (1864 – 1900)
- Sultan Syarif Abbas bin Syarif Hassan (1900 – 1911)
- Sultan Syarif Zin bin Syarif Ismail (1911 – 1921)
- Sultan Syarif Saleh bin Syarif Idrus (1921 – 1943)
- Sultan Syarif Hassan bin Syarif Zin (1943 – 1958) (Rizal, tt:45-46)
3. Sistem Pemerintahan
Pada  awal berdirinya, Kubu hanya merupakan sebuah perkampungan kecil yang   dibentuk atas prakarsa Syarif Idrus. Akan tetapi, lama-kelamaan  permukiman yang  terletak di muara sungai tersebut semakin lama semakin  banyak didatangi orang,  bahkan kemudian menjadi bandar dagang yang  ramai. Tidak hanya pengikut Syarif  Idrus saja yang tinggal di tempat  itu, melainkan juga orang-orang Suku Dayak yang  sebelumnya sering  melintas dan melihat ada permukiman penduduk di situ. Orang-orang  Suku  Dayak tersebut kagum terhadap pola kehidupan dan terutama gaya   kepemimpinan Syeh Idrus. Oleh karena itu, orang-orang Suku Dayak  kemudian berkeputusan  untuk menggabungkan diri ke wilayah yang dipimpin  Syarif Idrus. 
Atas  kesepakatan warga yang berasal dari berbagai etnis dan kalangan,  kemudian  diputuskan bahwa Syeh Idrus diangkat menjadi pemimpin mereka  hingga kemudian  tempat itu dikenal dengan nama Kesultanan Kubu  (Lontaan, 1975:221). Sebelum  Syarif Idrus gugur akibat serangan dari  orang-orang Siak pada tahun 1795, raja  pertama Kesultanan Kubu ini  ternyata telah menandatangani kontrak politik dengan  Belanda. Sejak  itu, jalannya sistem pemerintahan Kesultanan Kubu berada di  bawah  hegemoni Belanda karena secara turun-temurun, sultan-sultan yang  berkuasa  di Kesultanan Kubu selalu bersedia mengadakan kesepakatan  dengan Belanda.
Kontrak  politik yang dibuat Belanda itu berisi hampir sama dengan kontrak   politik serupa antara Belanda dengan kerajaan-kerajaan lainnya di  Kalimantan  Barat. Beberapa poin terpenting dalam perjanjian itu antara  lain (1) pihak  Kesultanan dan Belanda mengatur sistem pemerintahan dan  mempertahankan  Kesultanan bersama-sama; (2) jika Sultan wafat, pihak  Kesultanan boleh  mengajukan calon Sultan kepada Belanda, sementara yang  berhak mengangkat Sultan  secara resmi adalah pihak Belanda; (3) Sultan  mengangkat para menteri harus  dengan sepengetahuan pihak Belanda; (4)  Sultan hanya boleh membangun benteng atas  persetujuan pihak Belanda;  (5) sebaliknya, apabila Belanda hendak mendirikan  benteng, Sultan harus  mengizinkan dan membantu pelaksanaan pembangunan benteng  Belanda  tersebut.
Berikutnya,  (6) apabila ada tentara/pegawai Belanda yang lari kepada  Sultan,  Sultan harus menyerahkannya kembali kepada pihak Belanda; (7) mata uang   Belanda yang berlaku di Batavia juga diberlakukan di wilayah  Kesultanan; (8)  Sultan tidak diharuskan memungut cukai kepada pihak  Belanda; (9) harga jual  atas hasil hutan dan hasil bumi di wilayah  Kesultanan ditentukan oleh pihak  Belanda; (10) bila terjadi serangan  dari luar, pihak Belanda akan membantu  Sultan; (11) Sultan dan daerah  bawahannya wajib membantu Belanda terhadap  serangan musuh yang datang  dari darat dan laut; dan (12) Sultan dihimbau agar  mengadakan upacara  sebagai bentuk kesetiaan kepada Belanda (Hasanudin &  Budi  Kristanto, dalam Humaniora, No.1/2001).
Pada tahun 1910, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan Bestuur Commite, sebuah lembaga pemerintahan  untuk mengawasi jalannya pemerintahan Kesultanan Kubu. Syarif Kasimin, salah seorang kerabat Kesultanan Kubu, diangkat  oleh Belanda untuk memimpin Bestuur  Commite.  Belanda juga mengangkat seorang abdi setia bernama Syarif Shaleh  untuk  ikut mengurusi lembaga bentukan kolonial itu (Lontaan, 1975:223). 
Pemerintahan  Kesultanan Kubu juga memiliki lembaga internal yang dinamakan Dewan   Kesultanan. Anggota-anggota dari lembaga ini adalah orang-orang yang  berasal  dari keluarga Kesultanan Kubu. Fungsi Dewan Kesultanan adalah  sebagai penasihat  kesultanan dan mampu mempengaruhi kebijakan Sultan  meski keputusan akhir masih  tetap berada di tangan Sultan. Dewan  Kesultanan juga dapat memainkan perannya  ketika terjadi pemilihan  kandidat calon Sultan sebelum diserahkan kepada  pemerintah kolonial  Hindia Belanda.
Setelah era penjajahan Belanda dan Jepang berakhir, wilayah Kesultanan Kubu  dijadikan sebagai wilayah Self Bestuur (kurang   lebih setara dengan daerah otonomi) sejak tahun 1949-1958. Pada tahun  1958  itulah riwayat Kesultanan Kubu berakhir dan menggabungkan diri  sebagai bagian  dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kota  Kubu kemudian menjadi  ibukota Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak,  Provinsi Kalimantan Barat  (Lontaan, 1975:226).
Sejak  tahun 2007, Kecamatan Kubu telah resmi dikembangkan menjadi Kabupaten   Kubu Raya dan disahkan dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2007 tentang  Pembentukan  Kabupaten Kubu Raya di Provinsi Kalimantan Barat pada  tanggal 10 Agustus 2007  dan untuk pertamakalinya telah mengadakan  Pemilihan Kepala Daerah (Bupati)  Kabupaten Kubu Raya pada tanggal 25  Oktober 2008.
4. Wilayah Kekuasaan
Tempat  pertama yang dipilih oleh Syarif Idrus sebagai pusat pemerintahannya   adalah di persimpangan atau muara Sungai Kapuas Kecil atau yang dikenal  juga  dengan nama Terentang. Lama-kelamaan, karena wilayah ini berhasil  membangun  benteng pertahanan yang sangat kokoh sehingga sulit ditembus  oleh musuh dari  luar, permukiman penduduk di bawah pimpinan Syarif  Idrus ini kemudian dinamakan  dengan sebutan Kubu.
Setelah  menjelma menjadi pemerintahan bercorak Islam yang berbentuk kesultanan,   Kubu memiliki wilayah yang cukup luas. Pemerintahan Islam di  Kesultanan Kubu  beribukota di Kota Kubu sebagai pusat pemerintahan, dan  kota ini masih  dipertahankan hingga sekarang sebagai ibukota Kabupaten  Kubu Raya, Provinsi  Kalimantan Barat. Sebuah tempat di dataran tinggi,  yakni Gunung Ambawang, juga  menjadi bagian dari wilayah Kesultanan  Kubu. Di Gunung Ambawang pernah berdiri  sebuah kerajaan lain bernama  Kesultanan Ambawang yang didirikan oleh salah  seorang putera Syarif  Idrus, yaitu Syarif Alwi bin Syarif Idrus. Syarif Alwi membelot  dari  Kubu karena tidak suka melihat campur-tangan Belanda dalam urusan-urusan   internal Kesultanan Kubu yang kala itu dipimpin oleh saudaranya  sendiri, Sultan  Syarif Muhammad. 
Ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk Bestuur Komite (Komite  Pemerintahan) pada tahun 1910, ditunjuklah  dua orang kerabat  kesultanan untuk memimpin daerah-daerah yang menjadi taklukan   Kesultanan Kubu. Kedua petinggi Kesultanan Kubu tersebut adalah Syarif  Kasimin  yang ditetapkan oleh Belanda untuk memerintah daerah yang  bernama Tanjung  Bunga, dan Syarif Saleh yang diberi wewenang untuk  memimpin di daerah Padang  Tikar. Kini, kawasan situs Istana Kubu  merupakan kawasan yang berada di tepian  Sungai Terantang. Sungai ini  merupakan jalur transportasi yang masih sangat penting  dalam kawasan  tersebut dan itu masih berlaku hingga sekarang (Rizal, tt:45).  Selanjutnya,  pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Zin bin Ismail, pusat  pemerintahan  Kesultanan Kubu dipindahkan ke daerah Kerta Mulia  (Lontaan, 1975:225).
Setelah  era Kesultanan Kubu berakhir pada tahun 1958, daerah kekuasaannya   dijadikan dalam satu wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Kubu dengan  ibukota  kecamatan di Kota Kubu. Tahun 2007, Kecamatan Kubu secara resmi  telah berubah  menjadi Kabupaten Kubu Raya yang wilayahnya meliputi  daerah-daerah yang dahulu  dikuasai oleh pemerintahan Kesultanan Kubu,  antara lain Batu Ampar, Terentang,  Telok Pakedai, Sungai Kakap, Rasau  Jaya, Sungai Raya, Ambawang, dan Kuala  Mandor-B.
Batas-batas  wilayah Kabupaten Kubu Raya adalah sebelah utara berbatasan  dengan  Kecamatan Siantan, Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak; di sebelah   timur berbatasan dengan Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, dan  Kecamatan  Tayan Hilir (Kabupaten Sanggau); di sebelah selatan  berbatasan dengan Kecamatan  Pulau Maya Karimata (Kabupaten Ketapang);  dan di sebelah barat berbatasan  dengan Laut Natuna.
(Iswara N. Raditya/Ker/13/02-2010)
Referensi
- Hasanudin & Budi Kristanto. 2001. “Proses terbentuknya heterogenitas etnis di Pontianak pada abad ke-19”, dalam Humaniora, Volume XIII, No. 1/2001.
- J.U. Lontaan. 1975. Sejarah hukum adat dan adat-istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kalbar.
- Mahayudin Haji Yahya. 1999. “Islam di Pontianak berdasarkan Hikayat Al-Habib Husain Al-Qadri”, disampaikan dalam Seminar Brunei Malay Sultanate in Nusantara. Brunei Darussalam: The Sultan Haji Hasanal Bolkiah Foundation.
- Erwin Rizal, tt. “Istana Mempawah dan Kubu”, dalam Istana-istana di Kalimantan Barat. Pontianak: Inventarisasi Istana di Kalimantan Barat.
- Musni Umberan, et.al. 1995. Sejarah kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat. Pontianak: Balai Kajian dan Nilai Tradisional Pontianak.
- “Sejarah Kerajaan Kubu”, diunduh pada tanggal 20 Februari 2010 dari www.pontianakonline.com.
- Syarif Ibrahim Alqadrie. 2005. “Kesultanan Qadariyah Pontianak: Perspektif sejarah dan sosiologi politik”, disampaikan dalam Seminar Kerajaan Nusantara oleh Kerajaan Pahang – Universiti Malaya, Malaysia: 8 – 11 Mei 2005. Diunduh pada tanggal 23 Desember 2009 dari http://syarif-untan.tripod.com.
- Sumber Foto: http://adiberkat.blogspot.com.
 
 
 
 
