Biografi Mohammad Alianyang

Mohhamad Alianyang
Di beberapa tempat se-Kalbar ditemukan nama Jalan Ali Anyang. Nama tersebut dimaksudkan untuk mengenang jasa pejuang Kalbar yang lahir di Nanga Menantak Ambalau Sintang ini. Tujuannya, agar generasi muda Kalbar dapat mengingat jejak-jejak perjuangannya dalam menentang penjajahan. Ali Anyang lahir 20 Oktober 1920 di desa Nanga Menantak. Orangtuanya, Lakak dan Liang memberinya nama, Anjang. Dalam keluarganya yang suku Dayak ini, Ali Anyang merupakan anak kelima dari tujuh orang bersaudara.

          Pada usai 8 tahun, Ali Anyang menjadi anak angkat Raden Mas Suadi Djoyomiharjo, seorang kepala sekolah di daerah Sintang. Kemudian mengganti nama asli Ali Anyang yaitu Anjang menjadi Muhammad Ali Anyang. Ia memperoleh pengajaran agama Islam dari orangtua angkatnya. Dalam pendidikannya, Ali Anyang pernah bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS) di Pontianak. Setelah tamat dari HIS, melanjutkan ke Sekolah Juru Rawat Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichting (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pemerintah di Semarang. 

           Setelah tamat kembali ke Pontianak dan bekerja di Rumah Sakit Umum Sei Jawi Pontianak. Sebagai pemuda yang memiliki jiwa nasionalis tinggi, Ali Anyang tergerak hatinya untuk mengabdi dan berjuang membela kemerdekaan. Itu diwujudkan dengan bergabung bersama sejumlah pemuda yang menamakan diri Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Tujuan pembentukan PPRI tersebut adalah untuk menyebarluaskan berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh daerah di Kalbar. Sebagai anggota PPRI, Ali Anyang berperan dalam mencegah perebutan kekuasaan di Pontianak, yang akan dilakukan orang-orang Cina yang tergabung dalam organisasi Penjaga Keamanan Umum (PKO). Seperti diketahui, sejalan dengan diterimanya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Pontianak pada 27 Agustus 1945 terjadi kekosongan pemerintahan. Orang-orang Cina yang tergabung dalam PKO bermaksud menguasai sistem pemerintahan di Kalbar khususnya di Pontianak. Namun rencana PKO yang meresahkan masyarakat tersebut dapat dicegah oleh PPRI dengan melakukan penyergapan dan perlawanan terhadap anggota PKO. Pada 3–4 September 1945 terjadi pertempuran antara PPRI yang didukung oleh masyarakat pribumi menghadapi anggota PKO di sekitar Kota Pontianak.         Bentrokan tersebut mengakibatkan korban jiwa di kedua belah pihak. Mengetahui banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, dokter Soedarso sebagai ketua PPRI menginstruksikan Ali Anyang dan kawan-kawannya segera menghentikan pertempuran. Setelah pertempuran berhenti, anggota PKO melarikan diri ke luar Kota Pontianak. Pada Tanggal 29 September 1945, belum lama setelah tentara Jepang pergi, Kota Pontianak kedatangan tentara Australia dan Belanda (NICA) yang bermaksud mengambil alih kekuasaan yang sebelumnya dipegang penjajah Jepang. Kedatangan tentara Australia di Pontianak hanya berlangsung kurang lebih satu bulan. Selanjutnya pada Oktober 1945, kekuasaan atas Kalimantan Barat diserahkan kepada Belanda dengan Residennya yang bernama Van Der Zwaal.        Kedatangan NICA yang bermaksud menjajah kembali Kalbar, mendapat tantangan dari masyarakat. Ali Anyang beserta pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan lainnya berusaha menghalang-halangi maksud Belanda tersebut. Pada 12 November 1945, Ali Anyang bersama pejuang lainnya menyerbu ke tangsi dan gudang amunisi Belanda di Pontianak. Penyerbuan tersebut mengakibatkan beberapa orang pejuang mengalami luka berat dan ada yang gugur. Ali Anyang sendiri kemudian ditangkap dan ditahan di penjara Sei Jawi Pontianak. Beberapa bulan kemudian, tepatnya Februari 1946, Ali Anyang dibebaskan. Setelah keluar dari penjara, dokter Soedarso sebagai Ketua PPRI memerintahkan Ali Anyang untuk konsolidasi dan koordinasi kepada seluruh pejuang agar terus melakukan perlawanan terhadap Belanda di daerah-daerah. Karena di Kota Pontianak saat itu sudah sulit untuk melakukan pergerakan. Setelah menerima perintah dokter Soedarso, Ali Anyang pergi ke wilayah Pantai Utara Kalbar, antara lain ke Mempawah, Singkawang dan Sambas. Tiba di Singkawang. Ia ditetapkan sebagai Komandan Pemberontakan di Kalbar oleh organisasi Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). Selanjutnya ia menyusun dan mengkoordinir seluruh kekuatan yang ada. Pada 1 April 1946, terbentuklah sebuah organisasi diberi nama Barisan Pemberontak Indonesia Kalbar (BPIKB) yang bermarkas di Bengkayang yang dikomandani Ali Anyang.                  Pada 31 Agustus 1945, Ali Anyang dan pasukan BPIKB berencana menyerbu pasukan Belanda di Bengkayang yang sedang parade kemiliteran memperingati hari besar Ratu Wilhelmina. Namun penyerbuan itu gagal karena Belanda melakukan penjagaan ketat. Kegagalan serangan pertama tidak membuat pasukan Ali Anyang putus asa. Satu tahun kemudian tepatnya 8 Oktober 1946, Ali Anyang dan pasukannya kembali menyerbu tangsi militer Belanda di Bengkayang. Para pejuang berhasil menguasai Kota Bengkayang dan mengibarkan bendera merah putih diiringi lagu Indonesia Raya.            Penguasaan Kota Bengkayang oleh Ali Anyang dan pejuang lainnya tidak berlangsung lama, pasukan Belanda yang berasal dari Singkawang datang menggempur pasukan Ali Anyang. Pada 9 Oktober 1946, pasukan Belanda merebut kembali Kota Bengkayang. Pasukan Belanda kemudian mencari Ali Anyang yang dianggap sebagai aktor dari penyerbuan tersebut. Belanda mengeluarkan sayembara dengan hadiah 25.000 gulden bagi siapa saja yang berhasil menemukan Ali Anyang. Dalam pengejaran tersebut Ali Anyang dan pejuang lainnya tetap melakukan perlawanan. Hal ini dibuktikan dengan peristiwa penyerbuan tangsi Militer Belanda di Sambas pada 10 Januari 1949. Karena terdesak, Ali Anyang dan pasukannya mundur ke hutan-hutan. Pasukan Belanda terus mengejar hingga terjadi beberapa kali bentrokan senjata antara kedua belah pihak, yaitu 18 Januari 1949 di kampung Acan perbatasan Serawak dan 20 Maret 1949 bentrokan terjadi di kampung Camar Bulan. Pertempuran-pertempuran antara Ali Anyang dan pasukannya melawan Belanda akhirnya terhenti setelah pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.                      Setelah mendengar berita itu, Ali Anyang memerintahkan kepada seluruh anggota pasukannya untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Usai masa perang kemerdekaan, pada tahun 1950 Ali Anyang menikah dengan Siti Hajir seorang gadis asal Sambas. Dikarenakan tugasnya sebagai seorang perawat, Ali Anyang dan istrinya sering berpindah-pindah tempat. Di antaranya pernah ditugaskan ke Ciawi, Indramayu, Banjarmasin, Cililitan dan akhirnya kembali ke Kalbar. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai delapan orang anak yaitu Sri Endang Ratna Juwita, Ida Triwati, Mohammad Armin Ali Anyang, Rina Yulia, Rita Nuriati, Rini Nuraini, Siti Wahyuni dan Diah Purnama Wati. Semasa hidupnya, Ali Anyang pernah menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) II Kabupaten Sambas di Singkawang. Saat mengemban jabatannya tersebut, pada 7 April 1970 Ali Anyang meninggal dunia karena sakit. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing, Kota Singkawang. 

Biografi Bardan Nadi


Berkas:Bardan Nadi.jpgBardan Nadi merupakan seorang tokoh pejuang di daerah Ngabang , Kalimantan Barat.Ia mempunyai nama asli Sutrisno Sastrokusumo. Ia dilahirkan dari pasangan   R. Suratman Nadi Sastrosasmito dan Sarifah pada tahun 1912 di Magelang Jawa Tengah. Ayahnya berasal dari Solo dan ibunya dari Sedayu. Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai anggota pasukan keraton yang ada di Solo. Mereka tinggal di asrama di sekitar lingkungan keraton. Belanda kemudian merekrut R. Suratman menjadi anggota pasukan Belanda. Ia sering berpindah tempat tinggal karena mengikuti tugas ayahnya yang sering berpindah-pindah tempat tugas.

       Beberapa tempat yang telah diinjak dan dikenali olehnya antara lain Magelang, Semarang, Aceh, Bogor, Jakarta, Pontianak dan Ngabang. Selama mengikuti tugas orangtuanya, ia melihat banyak tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Oleh karena itu, ia bertekad tidak ingin membiarkan nasib bangsanya terus larut dalam penjajahan bangsa Belanda. Dalam riwayat pendidikan, pertama-tama ia bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS), kemudian ia melanjutkan ke tingkat Sekolah Pertama. Ia termasuk anak yang pintar. Ia gemar membaca buku-buku tentang pergerakan kebangsaan, keagamaan, kesenian dan olah raga. Selain belajar, ia juga senang mengikuti kegiatan kepanduan dan organisasi. Sifat dan tata krama Bardan Nadi yang sangat berbeda dengan anak-anak lainnya membuat orangtua teman sepermainannya memberikan nama tambahan “Bardan” kepadanya.

          Bardan dalam bahasa Arab berarti sejuk. Bardan Nadi tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki kepribadian, gaya hidup dan penampilan yang sederhana. Sikapnya ramah, suka menolong dan percaya diri sendiri. Setelah dewasa ia mempersunting seorang gadis dari Pontianak bernama Rahimi. Ia dan istrinya menetap di desa Sepatah, Sengah Temila daerah Ngabang. Mereka dikaruniai empat orang anak. Pada tahun 1944 Rahimi meninggal dunia karena sakit. Setelah kematian istrinya, ia tidak menikah kembali. Tugas merawat, mendidik dan membesarkan anak-anak dilakukannya sendiri. Bardan Nadi bekerja pada salah satu instansi Belanda yang ada di Ngabang.

        Selain menekuni pekerjaannya, secara diam-diam ia juga menekuni kegiatan politik untuk menentang penjajah Belanda. Pada tahun 1936, ia dan para pemuda Ngabang mendirikan perkumpulan kepemudaan bernama Surya Wirawan dan perkumpulan organisasi politik bernama Partai Indonesia Raya (Parindra). Ia berjuang bersama teman-temannya, antara lain Gusti Tamdjid, Gusti Lagum, Gusti Machmud Aliuddin, Sabran dan Gusti Affandi Rani.

    Kegiatan Bardan Nadi dalam berpolitik akhirnya diketahui oleh atasannya dan atasannya menilai bahwa kegiatan politik Bardan Nadi dapat membahayakan pemerintah kolonial Belanda. Kepala Pemerintah Kolonial Belanda di Ngabang kemudian meminta Bardan Nadi untuk menentukan 2 pilihan yaitu bekerja terus pada kantor instansi Belanda dengan meninggalkan semua kegiatan politiknya atau berhenti bekerja pada kantor instansi Belanda. Ia akhirnya memilih berhenti dari pekerjaannya di kantor instansi Belanda di Ngabang. Perjuangan Bardan Nadi sungguh mulia, ia rela mengorbankan dan meninggalkan jabatan dan pekerjaannya demi perjuangan. Bardan Nadi kemudian pindah dan bekerja pada instansi Departemen Pekerjaan Umum.

       Di tempat pekerjaan barunya, secara diam-diam ia tetap melanjutkan kegiatan politiknya, baik dalam Parindra maupun Surya Wirawan. Kegiatan politiknya tersebut akhirnya diketahui kembali oleh Belanda, tetapi Belanda tidak dapat langsung menindaknya karena bukti-bukti yang menyatakan adanya keterlibatan politik organisasi yang dipimpinnya tidak berhasil ditemukan. Pada masa Jepang berkuasa di Kalimantan Barat, Bardan Nadi masih tetap menekuni pekerjaannya sebagai mandor Pekerjaan Umum. Tetapi dalam bidang politik, kegiatan organisasi dan perjuangan pergerakan tidak dapat diteruskannya karena Jepang melarang setiap kegiatan organisasi.

     Jepang bertindak sangat hati-hati dan selalu mempunyai rasa curiga terhadap bangsa pribumi. Suatu pengalaman pahit nyaris menimpa Bardan Nadi bersama dengan ketujuh orang temannya, ketika mereka disuruh mengisi daftar asal-usul/daftar riwayat hidup yang telah dipersiapkan Jepang dalam rangka penangkapan. Mereka yang menjadi sasaran adalah Bardan Nadi, Sultan Abdul Latif, Gusti Machmud Aliuddin, Gusti Zainul Arifin, Gusti Lagum, Ya’ Bun Ya dan dua orang bangsa Cina. Adapun tujuan penangkapan mereka adalah karena Jepang menganggap mereka termasuk tokoh yang berpengaruh di masyarakat. Tetapi kemudian Bardan Nadi dan kawan-kawannya berhasil lolos dari rencana penangkapan dan pembunuhan oleh tentara Jepang tersebut. Dalam rangka memperkuat pasukannya di Indonesia, Jepang membentuk barisan pemuda yang dinamakan Seinendan. Bardan Nadi dan teman-temannya turut bergabung dalam Seinendan wilayah Distrik Sengah Temila desa Sepatah.

        Di desa Sepatah inilah, Bardan Nadi dan teman-temannya pernah mengadakan upacara penaikan Sang Saka Merah Putih tanpa didampingi bendera Jepang (Hinomaru). Tindakan patriotik tersebut mendapat dukungan dari masyarakat dan pejuang kemerdekaan. Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 baru dapat diterima di Pontianak pada akhir bulan Agustus 1945 melalui sebuah radio milik seorang pemuda bernama Sukandar. Sedangkan di Ngabang, berita proklamasi baru dapat diketahui pada bulan Oktober 1945 melalui telepon yang dikirim oleh Gusti Abdul Hamid yang sedang berada di Pontianak. Setelah mendengar berita proklamasi, tokoh-tokoh pejuang di Ngabang merasa tergugah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena walaupun bangsa Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, tetapi masih harus berhadapan lagi dengan Belanda yang ingin menjajah kembali bangsa Indonesia.

       Bardan Nadi dan teman-teman seperjuangannya membentuk organisasi Persatuan Rakyat Indonesia (PRI) pada bulan Maret tahun 1946. Gusti Abdul Hamid ditunjuk sebagai ketua dan Gusti Affandi selaku wakil Panembahan Landak ditunjuk sebagai pelindung PRI. Di Pontianak, organisasi sejenis PRI ini bernama Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI), yang dipimpin oleh Dr. M. Soedarso, Muzani A. Rani, Soekoco Katim dan lain-lain. Tujuan organisasi PRI adalah untuk menyatukan segenap lapisan masyarakat di daerah Landak/Ngabang dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1946, PRI berubah nama menjadi Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM). Meskipun terjadi perubahan nama, tetapi nama-nama pengurusnya tetap. Pengurus besar organisasi ini terdiri dari 15 orang. Gusti M. Said mengetuai bagian propaganda dengan anggota sebanyak 17 orang dan Bardan Nadi diangkat sebagai wakil kepala yang bertanggung jawab untuk seluruh daerah Ngabang. Pada tanggal 10 Oktober 1946, GERAM melakukan serangan terhadap Belanda dengan sasaran tangsi militer Belanda, rumah kontrolir Ngabang dan pos polisi Belanda (NICA). Dalam melancarkan serangan, GERAM membagi 2 daerah operasinya yaitu daerah Ngabang, Air Besar, Menyuke dan sekitarnya dipimpin oleh Gusti Lagum, sedangkan daerah Sengah Temila dan sekitarnya dipimpin Bardan Nadi. Setelah operasi dilancarkan, Bardan Nadi berhasil merebut dan menduduki kantor Demang desa Sepatah.

          Selanjutnya Bardan Nadi dan anak buahnya bergabung dengan pasukan GERAM dari Air Besar dan Menyuke. Pada tanggal 11 Oktober 1946, GERAM melancarkan serangan ke tangsi militer Belanda di Ngabang. Pasukan Belanda kemudian membalas serangan yang membuat pasukan GERAM terdesak. Setelah mendapat bantuan dari Pontianak, pasukan Belanda melakukan pengejaran terhadap pasukan GERAM sampai dengan tanggal 28 Oktober 1946. Pada tanggal 29 Oktober 1946, terjadi pertempuran di Sidas yang dipimpin oleh Bardan Nadi dan Panglima Adat Pak Kasih.

           Dalam pertempuran tersebut, Pak Kasih gugur bersama dengan 22 orang pejuang lainnya. Bardan Nadi dan pasukannya yang terdesak kemudian mundur dan bersembunyi di hutan. Pasukan Belanda terus mengejar dan ingin menangkap Bardan Nadi yang dianggap sebagai penggerak pecahnya pertempuran di Sidas. Pada tanggal 5 November 1946, pasukan Belanda menemukan dan mengepung tempat persembunyian Bardan Nadi dan keluarganya. Bardan Nadi melakukan perlawanan kepada pasukan Belanda sehingga mengakibatkan Paini Trisnowati, anak ketiga Bardan Nadi tewas terkena peluru pasukan Belanda. Setelah salah seorang anaknya tewas, Bardan Nadi akhirnya menyerah.

       Namun sebelum ditangkap, ia sempat mengeluarkan sehelai kertas dari saku bajunya dan dimasukkan ke mulut dan ditelannya. Hal tersebut dilakukan agar kertas dokumen itu tidak jatuh ke tangan Belanda karena isi kertas dokumen itu sangat rahasia, yang diterimanya dari dokter Soedarso, selaku pimpinan organisasi PPRI di Pontianak. Adapun isi kertas dokumen itu adalah supaya mengadakan pemberontakan terhadap penjajah Belanda, sesuai dengan situasi dan kondisi di daerahnya masing-masing. Setelah ia ditangkap dan sebelum tangannya diikat, ia meminta ijin kepada pasukan Belanda untuk mengubur jenazah putrinya. Setelah ditangkap, Bardan Nadi kemudian dibawa ke tangsi militer Belanda di Ngabang. Selama berada di dalam tangsi militer Belanda di Ngabang, ia mengalami penyiksaan dan sempat beberapa hari dirawat di poliklinik militer Belanda di Ngabang. Ia kemudian dipindahkan dari tangsi militer Belanda di Ngabang ke penjara Sungai Jawi Pontianak. Di penjara Sungai Jawi Pontianak, ia dimasukkan ke dalam sel yang berdampingan dengan sel yang ditempati oleh dokter Soedarso. Dalam masa penahanannya di penjara Sungai Jawi, ia kembali mengalami penyiksaan. Setelah beberapakali diperiksa, akhirnya Mahkamah Pengadilan Militer Belanda di Pontianak memutuskan menjatuhkan hukuman mati kepada dirinya.

             Hukuman tersebut dilaksanakan pada tanggal 17 April 1947. Sebelum ditembak mati, Bardan Nadi meminta kepada Kepala Penjara Sungai Jawi untuk mengeluarkan semua tahanan dari sel masing-masing dan selanjutnya dikumpulkan di halaman penjara untuk bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Ia memimpin sendiri lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan secara bersama-sama itu. Setelah selesai menyanyikan lagu Indonesia Raya, dengan suara lantang dan bersemangat, ia memekikkan “Merdeka, Merdeka, Merdeka”. Pekikkan itu disambut hangat oleh para tahanan yang berkumpul di halaman penjara. Mereka kagum atas tekad dan semangat Bardan Nadi. Selanjutnya pada tanggal 17 April 1947, pukul 07.00 WIB, Bardan Nadi menjalani hukuman mati dihadapan regu tembak pasukan Belanda.

            Darahnya telah membasahi bumi ibu pertiwi dan ia gugur sebagai pahlawan bangsa sejati. Jenazah Bardan Nadi dimakamkan di kompleks penjara Sungai Jawi Pontianak. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 14 April 1950, atas prakarsa bekas pejuang kemerdekaan, kerangka jenazah Bardan Nadi dipindahkan ke kota Ngabang. Ia dimakamkan kembali di dekat makam ayah dan ibunya di kompleks pemakaman Islam, Hilir Kantor. Dari riwayat di atas, generasi muda bangsa dan negara Indonesia hendaknya dapat memetik hikmah dan nilai-nilai perjuangan Bardan Nadi. Dalam suatu perjuangan memerlukan pengorbanan jiwa dan raga termasuk harta benda. Hal ini dapat melihat dari contoh sikap dan perbuatan Bardan Nadi dalam berjuang, dirinya rela kehilangan jabatan dan pekerjaannya, rela kehilangan nyawa anaknya, bahkan rela kehilangan nyawanya sendiri. Generasi muda hendaknya meneruskan perjuangan para pahlawan yang gugur dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dengan mengisi alam kemerdekaan ini dengan pembangunan. 

Biografi Pangeran Natakesuma

Pangeran Natakusuma Pangeran Nata Kesuma merupakan salah seorang tokoh pejuang dari kerajaan Landak yang menentang penjajahan Belanda di Kalimantan Barat. Nama aslinya adalah Gusti Abdurrani. 

      Ia putera dari Panembahan Gusti Abdulmajid yang memerintah kerajaan Landak pada tahun 1872-1875. Sejak masa mudanya, Pangeran Nata Kesuma telah mempunyai sifat-sifat yang baik, ramah tamah, suka menolong dan selalu dekat dengan rakyat. Pangeran Nata Kesuma sangat menentang kehadiran Belanda di kerajaan Landak terutama berkenaan dengan adanya kontrak kerjasama antara kerajaan Landak dan Belanda yang isinya lebih banyak merugikan kepentingan kerajaan Landak dan rakyatnya. Kontrak kerjasama antara kerajaan Landak dengan Belanda dimulai pertama kali pada tanggal 31 Mei 1845 semasa pemerintahan Panembahan Machmud Akamuddin. 

     Perjanjian tersebut dilanjutkan dengan ditandatanganinya kontrak kerjasama yang baru pada tanggal 17 Juli 1859, sewaktu kerajaan Landak diperintah oleh Panembahan Ratu Adi Kesuma Amaruddin. Perjanjian tahun 1859 ini dikenal dengan nama Lange Contract 1859. Kemudian semasa pemerintahan wakil Panembahan Pangeran Wiranata, pada tanggal 5 Juli 1883 diadakan lagi kontrak kerjasama yang baru antara kerajaan Landak dengan Belanda. Perjanjian ini diperbaharui lagi pada masa pemerintahan wakil Panembahan Landak Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang dengan ditandatanganinya Politiek Contract bertanggal 8 Oktober 1909. 

    Dari berbagai kontrak kerjasama yang pertama sampai dengan Politiek Contract menunjukkan bahwa semua kontrak itu secara berangsur-angsur telah mempersempit ruang gerak dan kekuasaan kerajaan Landak. Hal tersebut dibuktikan dari isi kontrak yang merugikan kerajaan Landak antara lain : 
1. Administrasi kerajaan Landak dipegang langsung oleh pemerintah Belanda, yang dikuasakan langsung kepada Controlour. Jabatan Menteri dihapuskan, jabatan Pembekal diubah menjadi Kepala Distrik dan jabatan Panembahan hanya berfungsi sebagai mandor saja. 
2. Apanage dihapuskan dan diganti dengan belasting yang harus dibayar dalam bentuk uang. 
3. Di samping membayar belasting, rakyat juga diwajibkan melakukan kerja rodi selama 20 hari dalam setahun. 
4. Pajak 10% dikenakan untuk hasil hutan dan pajak cukai bagi penambangan emas dan intan. 
5. Perjanjian Dua Belas Perkara yang dibuat oleh Raja Abdulkahar Ismahayana dengan saudara seibunya Ria Kanuhanjaya dihapuskan. 
6. Hukum Adat mulai disingkirkan dan Pengadilan Negeri mulai diterapkan. 

     Hal tersebut di atas membuat rakyat kerajaan Landak menderita. Di samping itu terjadi pula perpecahan di antara keluarga kerajaan Landak antara yang pro dan kontra dengan kehadiran Belanda. Melihat keadaan demikian, Pangeran Nata Kesuma yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri di kerajaan Landak merasa sangat sedih dan prihatin. Pangeran Nata Kesuma merasa tidak senang dengan kehadiran Belanda di kerajaan Landak karena dinilainya telah merugikan pihak kerajaan Landak sehingga rakyat menjadi sengsara dan terjadi perpecahan di antara keluarga kerajaan. 

    Pangeran Nata Kesuma kemudian merencanakan perlawanan terhadap Belanda di kerajaan Landak. Dengan dibantu oleh Ja’ Bujang yang bergelar Wedana Jaya Kesuma dan beberapa orang kepercayaannya, yakni : Panglima Ganti, Panglima Bida, Panglima Daud dan Panglima Anggui, Pangeran Nata Kesuma secara diam-diam mengorganisir suatu perlawanan terhadap Belanda. Pangeran Nata Kesuma kemudian mengirimkan damak (sejenis tongkat komando) ke seluruh rakyat di pelosok kerajaan Landak. Pengiriman damak tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar dukungan dan sambutan rakyat kerajaan Landak dalam mendukung rencana Pangeran Nata Kesuma menghadapi Belanda. Rakyat kerajaan Landak menyambut dengan semangat ajakan dari Pangeran Nata Kesuma yang berniat melawan Belanda. 

     Pemberontakan Pangeran Nata Kesuma berlangsung selama 2 tahun, yakni tahun 1913-1914. Pemberontakan ini membuat Belanda kewalahan. Untuk meredam pemberontakan, Belanda mengatur siasat untuk menangkap Pangeran Nata Kesuma. Setelah mendatangkan bantuan pasukan dari Pontianak, Belanda menyerbu ke tempat persembunyian Pangeran Nata Kesuma. Dengan menggunakan kapal Kahar, pasukan Belanda langsung mendarat dan mengepung Istana Pedalaman dan menangkap Pangeran Nata Kesuma. Selanjutnya Belanda membawa Pangeran Nata Kesuma dengan kapal menyusuri sungai Landak menuju ke kampung Munggu (± 8 km dari Ngabang) menuju lokasi basis pertahanan rakyat pengikut Pangeran Nata Kesuma. Siasat Belanda dengan membawa Pangeran Nata Kesuma di atas kapal dimaksudkan untuk menunjukkan kepada para pemberontak/pengikut Pangeran Nata Kesuma bahwa perdamaian antara Belanda dengan Pangeran Nata Kesuma telah tercapai. 

    Pangeran Nata Kesuma sempat memberikan isyarat dengan tangannya kepada pengikutnya supaya perlawanan diteruskan. Tetapi hal itu telah salah ditafsirkan oleh para pengikutnya sehingga tidak terdengar bunyi tembakan sebagai tanda adanya perlawanan terhadap Belanda. Demikianlah Belanda telah berhasil menjalankan siasatnya. Perang yang telah berkobar selama dua tahun dapat dihentikan. Meskipun telah banyak korban berguguran, baik dari pihak rakyat maupun Belanda, namun dengan dapat dihentikannya peperangan/pemberontakan ini pihak Belanda merasa lega sehingga roda pemerintahan kolonial dapat berjalan kembali. Setelah perjuangan fisik bersenjata pada tahun 1913-1914 tersebut, semangat perjuangan rakyat Landak masih tetap terus menyala, tetapi berhubung dengan situasi tidak mengijinkan, maka perjuangan lebih diarahkan kepada gerakan nasional. Setelah ditangkap oleh Belanda, Pangeran Nata Kesuma kemudian diadili. Pengadilan Belanda di Batavia memutuskan bahwa Pangeran Nata Kesuma harus menjalani hukuman pembuangan ke Bengkulu. Sementara nasib pengikut Pangeran Nata Kesuma adalah sebagai berikut, Panglima Ganti dihukum 20 tahun penjara, Pangeran Daud melarikan diri ke Serawak Malaysia serta Panglima Bida dan Panglima Anggui tidak diketahui bagaimana nasibnya. Dalam pengasingannya di Bengkulu, Pangeran Nata Kesuma diikuti oleh dua orang istrinya yaitu Encik Hajjah dan Nyimas Ahim serta beberapa puteranya diantaranya Gusti Affandi. 

    Selama pengasingannya, Pangeran Nata Kesuma tidak pernah menerima bantuan keuangan dari pemerintah Belanda. Ia mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan sendiri. Pangeran Nata Kesuma meninggal dunia di kampung Kelawi Bengkulu pada tahun 1920 dan dimakamkan di kampung tersebut. Masyarakat setempat di Bengkulu mengenal makam Pangeran Nata Kesuma sebagai makam Raja Borneo. Kerangka jenazah Pangeran Nata Kesuma dimakamkan kembali di kompleks pemakaman keluarga raja-raja Landak pada tanggal 27 September 1981 di Ngabang. Sikap dan perbuatan Pangeran Nata Kesuma dalam menentang penjajah Belanda patut dijadikan teladan. 

   Tekad dan keputusannya dalam berjuang tetap kokoh walaupun Pangeran Nata Kesuma menyadari bahwa ia dan pengikutnya hanya bermodalkan senjata tradisional menghadapi pasukan Belanda yang bersenjata lebih modern. Namun, terbukti pemberontakan yang dilakukannya mampu membuat Belanda kewalahan. Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa, hendaknya mewarisi jiwa dan semangat anti penjajahan yang dimiliki oleh Pangeran Nata Kesuma. Rela berkorban demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.

Biografi Raden Tumenggung Setia Pahlawan

Raden Tumenggung Setia Pahlawan Lahir di Sintang, Kalimantan Barat pada tahun 1771 Masehi. Ayahnya bernama Oerip dan ibunya bernama Siti Safriyah. Ayah Abdul Kadir bekerja sebagai hulubalang atau pemimpin pasukan kerajaan Sintang. Abdul Kadir sudah mengabdi sebagai pegawai kerajaan Sintang pada saat usianya masih sangat muda. 
   

   Selama mengabdi di kerajaan Sintang, ia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia pernah mendapat tugas dari Raja Sintang untuk mengamankan kerajaan Sintang dari gangguan pengacau dan perampok. Tugas tersebut dapat dilaksanakannya dengan baik. Abdul Kadir kemudian diangkat menjadi pembantu ayahnya yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan kawasan Melawi. Setelah ayahnya wafat, pada tahun 1845, ia diangkat sebagai kepala pemerintahan Melawi menggantikan kedudukan ayahnya. Karena jabatannya itu Abdul Kadir mendapatkan gelar Raden Tumenggung yang diberikan oleh Raja Sintang. Dalam perjuangannya, ia berhasil mempersatukan suku-suku Dayak dengan Melayu serta dapat mengembangkan potensi ekonomi daerah Melawi. Namun demikian, ia juga berjuang keras menghadapi ambisi Belanda-datang di Sintang pada tahun 1820-yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah Melawi. Dalam menghadapi Belanda, ia memakai strategi peran ganda, yaitu sebagai pejabat pemerintah Melawi ia tetap bersikap setia pada Raja Sintang yang berarti setia pula pada pemerintahan Belanda. Tetapi secara diam-diam ia juga menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Ia membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata di daerah Melawi dan sekitarnya untuk menghadapi pasukan Belanda. Pada tahun 1866, Belanda memberikan hadiah uang dan gelar Setia Pahlawan kepada Abdul Kadir Raden Tumenggung agar sikapnya melunak dan mau bekerjasama dengan Belanda. Namun demikian Abdul Kadir tidak merubah sikap dan pendiriannya. Ia tetap melakukan persiapan untuk melawan pemerintahan Belanda. Pada akhirnya di daerah Melawi sering terjadi gangguan keamanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Pada tahun 1868, Belanda yang marah akibat sering mendapat gangguan keamanan kemudian melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Pertempuranpun tidak bisa dihindari antara pasukan Belanda melawan pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Dalam menghadapi Belanda, Abdul Kadir tidak memimpin pertempuran secara langsung, melainkan ia hanya mengatur strategi perlawanan. Sebagai kepala pemerintahan Melawi, ia bisa memperoleh berbagai informasi tentang rencana-rencana operasi militer pemerintah Belanda. Berkat informasi itulah, para pemimpin perlawanan dapat mengacaukan operasi militer Belanda. 
    
   Selama tujuh tahun (1868-1875) Abdul Kadir Raden Tumenggung berhasil menerapkan strategi peran ganda, namun akhirnya pemerintah Belanda mengetahuinya. Pada tahun 1875 ia ditangkap dan dipenjarakan di benteng Saka Dua milik Belanda di Nanga Pinoh. Tiga minggu kemudian ia meninggal dunia dalam usia 104 tahun. Jenasahnya dimakamkan di Natali Mangguk Liang daerah Melawi. Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia adalah seorang tokoh pemberani. Tokoh pejuang yang mampu menghimpun serta menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda. Pemikirannya untuk melawan penjajah Belanda menjadi contoh bagi perlawanan rakyat selanjutnya. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan menghadapi penjajah Belanda, maka pada tahun 1999 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114/TK/Tahun 1999 tertanggal 13 Oktober 1999, Pemerintah Indonesia menganugerahkan Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan sebagai Pahlawan Nasional. 



Biografi Rahadi Osman

Rahadi Oesman 
 Rahadi Osman merupakan seorang pejuang kemerdekaan dari Kalimantan Barat. Ia lahir pada tanggal 1 Agustus 1925 di Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat. Lahir dari pasangan suami-istri bernama Ismail Osman dan Sutinah Harjo Soegondho. Keluarga Ismail Osman dikaruniai tujuh orang anak. Pada mulanya, Rahadi Osman diberi nama Abdul Syukur atau dengan nama kecil sering dipanggil ”Tjong”. 

    Abdul Syukur merupakan nama pemberian kakek dari ayahnya yang bernama Haji Osman bin Walhidin yang berasal dari Yogyakarta. Tetapi kemudian, oleh kakek dari sebelah ibunya memberi nama Rahadi Osman dan akhirnya jadilah nama tersebut seperti nama yang kita kenal sampai saat ini. 

     Rahadi Osman merupakan putra pertama dan satu-satunya anak laki-laki yang lahir dalam keluarga Ismail Osman. Saudaranya yang lain adalah Rahajoe Osman, Rahajeng Rachman Arif, Rahasri Ibrahim Saleh, Rahapik Badra, Rahaloes Rusadi dan Rahani A. Syafei. Ayah Rahadi Osman merupakan seorang pengusaha yang ternama. Ia pernah duduk sebagai sekretaris dalam organisasi Persatuan Anak Borneo (PAB) Kalimantan Barat yang pada saat itu ketuanya Raden Muslim Nalaprana yang dibantu oleh Gusti Putra sebagai pemimpin pemuda. 

     Pada waktu Jepang berkuasa di Kalimantan Barat, Ismail Osman termasuk orang yang ditangkap oleh tentara Jepang. Setelah ditangkap oleh tentara Jepang, Ismail Osman tidak diketahui lagi keberadaannya. Kemungkinan Ismail Osman telah dibunuh oleh Jepang. Rahadi Osman memiliki perawakan tubuh yang besar, tinggi, tegap dan berkacamata. Kepribadian, gaya hidup dan penampilannya sederhana. Ia Pertama-tama mengenyam pendidikan di Europesche Langere School (ELS) di Pontianak. Sekolah ELS adalah sekolah setingkat dengan sekolah dasar yang khusus bagi anak-anak Eropa. Di samping itu, kepada anak-anak pembesar pribumi juga diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan di ELS. 

     Bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Belanda sehingga sudah sepantasnya apabila Rahadi Osman dapat menggunakan bahasa Belanda. Ia dapat bersekolah di ELS karena tidak terlepas dari peranan dan kedudukan orang tuanya, Ismail Osman, yang pada waktu itu termasuk orang yang sukses dalam dunia usaha percetakan dan juga sering berhubungan dengan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang memerlukan jasa perusahaannya. Ia termasuk anak yang rajin dan berprestasi. Ia dapat menyelesaikan sekolahnya di ELS dengan baik selama tujuh tahun (1930 – 1937), sesuai dengan waktu yang ada dalam kurikulum sekolah itu. Setelah tamat dari ELS, pada tahun 1937 ia melanjutkan pendidikannya ke Hongere Burgerlijke School – Koning Willem III (HBS – K.W. III) selama lima tahun di Jakarta. Sejak ia menuntut ilmu di HBS, ia aktif sebagai anggota dalam organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) di Jakarta. Kegiatan organisasi KBI adalah untuk membangkitkan rasa kebangsaan bagi pemuda-pemuda Indonesia. Selanjutnya Rahadi melanjutkan pendidikannya ke Geneeskundinge Hoge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. 

     Pada zaman Jepang sekolah ini bernama Ika Dai Ghaku dan pada saat sekarang sekolah ini bernama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang terletak di Jalan Salemba Jakarta. Selama kuliah di sekolah kedokteran di Jakarta, ia melakukan berbagai pengabdian untuk bangsanya. Sebagai tanda bukti pengakuan dari pengabdiannya, nama Rahadi Osman tercantum pada urutan pertama dalam sebuah batu prasasti yang ada di ruang sebelah kiri gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Selama di Jakarta, ia pernah tinggal di Asrama Prapatan 10 Jakarta. Asrama ini merupakan asrama mahasiswa kedokteran Jakarta yang biasa digunakan sebagai pusat kegiatan pemuda pelajar dan mahasiswa pada saat-saat menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia. 

     Asrama tersebut sebagai markas gerakan bawah tanah dalam menyusun kegiatan dan strategi perjuangan. Oleh karena itu, pada zaman Jepang tempat tersebut selalu mendapat pengawasan. Rahadi Osman juga bergabung dalam gerakan pemuda Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni. Pada tanggal 15 Agustus 1945, dalam perang Asia Timur Raya Jepang menyerah kalah kepada Sekutu. Meskipun demikian, Jepang masih tetap bersikap keras terhadap bangsa Indonesia. Para pemuda pejuang yang menginginkan bangsa Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan Jepang kemudian mengadakan rapat untuk membicarakan persiapan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Rapat tersebut antara lain dihadiri oleh Adam Malik, Wibowo, Djohar Noor, Dick Soedarsono, Ali Akbar, Rahadi Osman dan Ridwan. Rapat yang kedua pada keesokan harinya dihadiri antara lain oleh Syahrir, Darwis, Ridwan, Chaerul Saleh, Eri Sadewo dan lain-lain. Rapat yang kedua pada tanggal 16 Agustus 1945 tersebut menghasilkan keputusan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 akan dilangsungkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia. 

       Setelah teks proklamasi dikumandangkan, para pemuda pejuang segera menyebar ke seluruh kota di Indonesia untuk mempropagandakan teks proklamasi. Berita proklamasi juga akan disiarkan melalui radio dari studio radio di Jakarta. Hasil keputusan rapat lainnya adalah akan dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dikemudian hari berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Setelah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, pada hari itu juga, Chairul Saleh memerintahkan Des Alwi, Ridwan dan Rahadi Osman membawa teks proklamasi untuk disiarkan melalui studio radio Jepang yang ada di Jakarta. 

       Pekerjaan Rahadi Osman dan teman-temannya tersebut penuh dengan tantangan karena di dalam dan sekitar lokasi studio radio selalu ada serdadu Jepang yang berjaga-jaga. Melalui usaha keras, akhirnya teks proklamasi berhasil dibawa ke dalam studio radio Jepang dan warta berita teks proklamasi berhasil disiarkan pada jam 1 siang tanggal 17 Agustus 1945. Dengan menyadari arti penting perjuangan kemerdekaan, Rahadi Osman cepat mengerti akan situasi dan keadaan. Kehancuran Republik berarti kembalinya penjajahan di bumi Indonesia. Oleh karena itu, Rahadi Osman menerjunkan diri bersama teman-teman dan lapisan masyarakat dalam kancah perjuangan mempertahankan proklamasi. Sebagai langkah pertama perjuangannya di Kalimantan Barat, pada awal bulan Oktober 1945, Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangannya menggabungkan diri dalam Palang Merah Indonesia (PMI). Pemakaian nama PMI ini hanya suatu siasat saja untuk memudahkan Rahadi Osman dan teman-temannya sampai di Kalimantan Barat. Usaha tersebut mendapat restu dan persetujuan dari Pangeran Muhammad Noor, yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan pada waktu itu. Sebelum pergi ke Kalimantan Barat, atas rekomendasi dari Ir. P. Muhammad Noor, Rahadi Osman dan rombongan diminta untuk menghadap Menteri Pertahanan Mr. Amir Syarifuddin. 

      Rahadi Osman dan Machrus Effendi kemudian pergi menghadap Mr. Amir Syarifuddin yang pada waktu itu selain menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Soekarno juga menjabat sebagai Menteri Penerangan. Setelah mereka menguraikan maksud dan tujuannya untuk berangkat ke Kalimantan Barat maka Mr. Amir Syarifuddin menyetujui dan memberikan sebuah mandat yang berisikan : “Boleh mempergunakan senjata dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) serta membentuk pemerintahan setempat”. Selanjutnya, menjelang pertengahan bulan November 1945, sebanyak 30 orang pemuda telah dipersiapkan untuk berjuang ke Kalimantan Barat. Pemuda-pemuda tersebut tidak hanya berasal dari Kalimantan Barat saja, tetapi ada yang berasal dari Jawa dan Sumatera. Namun rencana keberangkatan ekspedisi pejuang ini tidak terlaksana karena pasukan Belanda tidak mengizinkan keberangkatan kapal motor rombongan ekspedisi dari Tanjung Priok ke Kalimantan Barat. Karena keberangkatannya dihalang-halangi dari Jakarta, Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangan akhirnya memilih jalan melalui Pelabuhan Tegal menuju Kalimantan Barat. 

         Tepat pada tanggal 23 November 1945, jam 16.00 Wib, dari Pelabuhan Tegal diberangkatkan dua buah perahu kapal motor. Kapal Motor pertama bernama “Sri Kayung” yang ditumpangi oleh Rahadi Osman dan rombongan sebanyak 43 orang. Kapal ini diarahkan menuju Ketapang, sedangkan perahu yang satunya lagi diarahkan menuju Pontianak. Adapun perlengkapan yang dibawa terdiri dari : satu buah radio pengirim, satu buah radio penerima, beberapa peti alat penerangan, lima pucuk pistol, dua buah granat tangan buatan Jepang, yang ternyata rusak dan tidak boleh dipergunakan serta sejumlah parang. Keberangkatan rombongan ekspedisi ini dilepas oleh Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor dan pada waktu pemberangkatannya, Gubernur memberikan petuah kepada rombongan, yang bunyinya antara lain : “Saya bangga terhadap keinsyafan dan kesadaran yang saudara-saudara miliki, padahal saya tahu bahwa di seberang (maksudnya di Kalimantan), saudara berjuang menyabung nyawa, tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan dari pemerintah. Tetapi insya Allah, perjuangan maupun pengorbanan saudara tidak sia-sia. Selamat jalan dan selamat berjuang”. 

      Setelah mendengar petuah tersebut, sebagai komandan, Rahadi Osman tampil sambil berkata : “Apa yang kami lakukan sekarang ini adalah hanya sekedar menunaikan tugas dan kewajiban. Kami sudah terpanggil melaksanakan ini, karena hal ini merupakan aspirasi rakyat dari rakyat yang telah merdeka dan berdaulat. Kami hanya ingin doa restu, semoga perjuangan kami berhasil sebagaimana yang kami harapkan”.
   
       Keberangkatan rombongan Rahadi Osman ini merupakan pasukan ekspedisi pertama yang secara resmi dikirim oleh pemerintah Republik Indonesia ke Kalimantan dalam usaha mengemban tugas-tugas tertentu demi negara. Rombongan yang berjumlah 43 orang ini dipimpin oleh Rahadi Osman sebagai komandan dan Machrus Effendi sebagai kepala staf serta dibantu oleh tiga orang asisten, yaitu Abdul Kadir Kasim, Jafar Said dan A. Tambunan. Sedangkan anggota pasukan lainnya, antara lain tercatat nama Gusti Usman Idris, Haji Abdul Kadir, Rahat Lumbanpea, Soeminta, Tarmizi Arsyad, Hasan Thalib dan lain sebagainya. Pada tanggal 30 November 1945, rombongan Rahadi Osman berhasil mendarat di pantai kampung Sungai Besar, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang. Setibanya rombongan di Sungai Besar, mereka diterima dan disambut baik oleh kepala kampung Sungai Besar yang bernama Haji Abdul Rahim Saleh. Seluruh anggota rombongan ditempatkan di sebuah pondok yang berjarak sekitar 2 km dari kampung Sungai Besar. 

      Berdasarkan informasi dari Haji Abdul Rahim Saleh, Rahadi Osman dan rombongan mengetahui bahwasanya kota Ketapang telah diduduki oleh pasukan Belanda yang datang dari Pontianak. 

           Rahadi Osman kemudian memutuskan kampung Sungai Besar ditetapkan sebagai markas pertahanan sementara bagi pasukan Rahadi Osman. Keputusan tersebut didukung oleh rombongan pasukannya dan penduduk disekitar kampung Sungai Besar. Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangannya segera menyusun strategi untuk menghadapi Belanda di Ketapang. Akan tetapi akhirnya Belanda mengetahui adanya aktivitas pejuang yang akan menentang Belanda di Ketapang. 

     Setelah mengetahui markas persembunyian Rahadi Osman dan teman-teman seperjuangannya, Belanda mulai melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Serangan ini menimbulkan kepanikan terhadap anggota pasukan Rahadi Osman. Hal ini terjadi karena ketiadaan senjata untuk menghadang musuh dan ditambah lagi dengan kurangnya pengalaman dalam bertempur. Dalam serangan itu, Belanda kehilangan 3 orang pasukannya. Belanda semakin menekan pasukan Rahadi Osman hingga mengakibatkan Rahadi Osman gugur tertembak. Pasukan Rahadi Osman yang tersisa kemudian mengundurkan diri ke Pulau Bawal. Sungguh mulia perjuangan Rahadi Osman. Ia tewas akibat tertembak oleh pasukan Belanda dalam pertempuran di Sungai Besar Ketapang. 

      Peristiwa ini terjadi pada tanggal 7 Desember 1945 di daerah Sungai Besar, Kabupaten Ketapang. Lokasi ini letaknya sekitar 18 kilometer dari kota Ketapang. Setelah mendengar berita meninggalnya Rahadi Osman, ibu dan adik-adiknya merasa terkejut seakan-akan tidak percaya. Tetapi setelah si pembawa berita berhasil memperlihatkan gagang bekas kacamata Rahadi Osman, barulah ibu dan adik-adiknya yakin. Berita meninggalnya Rahadi Osman menambah duka cita ibu dan adik-adiknya karena belum lama sebelumnya, ayah mereka Ismail Osman telah ditangkap Jepang dan belum diketahui bagaimana nasibnya. Menurut keterangan dari pihak keluarga dan masyarakat setempat, jasad Rahadi Osman yang tewas bersimbah darah itu tetap tergeletak di tempat ia tertembak sampai malam hari. 

        Pada saat itu, tidak seorangpun dari teman seperjuangan atau rakyat setempat yang berani untuk mendekati mayatnya apalagi untuk mengangkatnya, karena pasukan Belanda selalu mengawasi tempat tersebut. Kemudian baru pada malam harinya di saat pasukan Belanda pergi, jenazah Rahadi Osman berhasil diangkat dan dikebumikan di Sungai Besar. Pada masa hidupnya, Rahadi Osman pernah mengatakan bahwa apabila ia tewas dalam pertempuran, permintaannya adalah agar ia dikubur di tempat tetes darahnya yang terakhir. Dengan alasan tersebut, maka jasad Rahardi Osman dikuburkan di kampung Sungai Besar Kabupaten Ketapang. Tetapi kemudian atas dasar kebijaksanan pemerintah Republik Indonesia bahwa pengumpulan jasad para pahlawan yang gugur di medan pertempuran perlu segera dilakukan dan disatukan dalam suatu tempat pemakaman yaitu Taman Makam Pahlawan. Dengan dasar inilah maka pada saat sekarang jenazah Rahadi Osman telah dipindahkan dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Tanjung Pura yang letaknya sekitar 5 kilometer dari kota Ketapang. 
       Upacara pemakaman kembali kerangka jenazah tersebut berlangsung secara militer dan yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah Gubernur Kalimantan Barat Parjoko. Dengan meninggalnya Rahadi Osman, berarti kita telah kehilangan seorang tokoh muda yang memiliki rasa nasionalisme tinggi. Generasi muda diharapkan mampu mengikuti jejak perjuanganya dan dan menjadikannya suri tauladan. Sebagai bangsa yang besar, sudah sepantasnya kita menghargai jasa-jasa para pahlawan dan berterimakasih kepada mereka selaku pejuang bangsa. 



Biografi Sultan Hamid ( Sang Pencetus Lambang Negara )

Mr. Hamid Al-Qadri tak lain adalah seorang sultan di Kesultanan Pontianak , Kalimantan Barat. Masyarakat Pontianak dan Kalimantan Barat biasa mengenalnya sebagai Sultan Hamid II. Nama lengkapnya adalah Syarif Abdul Hamid Al-Qadri, merupakan putra sulung Sultan Syarif Muhammad Al-Qadri.

       Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913, meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Banyak yang tak tahu kalau ternyata perancang lambang negara Indonesia adalah seorang Sultan di Kesultanan Pontianak. Kiprahnya dilupakan, bahkan beliau dituding sebagai pengkhianat bangsa. Ia dituduh sebagai dalang pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Westerling). 

Begitulah sejarah, siapa yang berkuasa, maka dialah yang bisa menulis sejarah sesuai dengan versinya (versi penguasa). Sultan Hamid II memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah Sultan Pontianak yang telah meneguhkan keberadaan Kalimantan Barat sebagai daerah yang seharusnya diperhitungkan dan dihargai sebagai negeri yang bermarwah. Beliau merupakan tokoh yang sudah kenyang asam garam perpolitikan pra kemerdekaan, semasa kemerdekaan dalam prosesi pembentukan identitas Negara Republik Indonesia ini, dan turut menjadi tokoh yang mempunyai peran dalam periode awal kemerdekaan.

     
        Selama sejarah berkembangnya negara ini, penuh cerita yang manipulatif, sehingga peranan-peranan putra Kalimantan ini diabaikan dan tiada dianggap sebagai tokoh yang memainkan peranan dalam pembentukan negara-bangsa ini. Sultan Hamid II di-stereotipekan sebagai pemberontak, anti negara kesatuan, dalang APRA, dan sebagainya. Sehingga dengan gampangnya sejarah yang dimunculkan mentadbirkan Sultan Hamid II sebagai sosok antagonis dalam republik ini. Hal lain yang juga dilakukan untuk menghilangkan eksistensi Sultan Hamid II adalah perihal siapa yang menjadi desainer dari Lambang Negara Indonesia yang masih terpakai hingga saat ini, yaitu Burung Garuda (biasa juga disebut Garuda Pancasila). Meskipun sejarah menutup-nutupi, namun sumbangsih Sultan Hamid II selaku perancang Lambang Negara Indonesia tersebut tak boleh dilupakan. 



3 Riam Atau Air Terjun Indah yang Ada di Bengkayang

Source: mudika-gerejaku.blogspot.com
Selain menikmati pesona Kota Bengkayang yang hijau dan asri dari Bukit Jamur. Masih banyak lagi tempat wisata indah yang bisa kita datangi. Contohnya adalah 3 riam atau air terjun yang asik untuk dijadikan sebagai tempat untuk bermain air, bahkan di salah satu riam atau air terjun ini kita bisa bermain seluncur. Bukan gemericik air saja yang menjadikan 3 riam ini menjadi terasa sejuk tetapi juga pemandangan hijau yang ada di sekitarnya.Berikut ini adalah 3 riam yang bisa traveler datangi saat berkunjung ke Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Riam Merasap
Source: bandit-iseng.blogspot.com
Source: bandit-iseng.blogspot.com
Riam ini terletak di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, tepatnya di Desa Batang Air, Kecamatan Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang. Riam ini tidak hanya dijadikan sebagai tempat berlibur warga Kabupaten Bengkayang saja, tetapi juga warga negara Malaysia karena letaknya hanya sekitar 10 km dari wilayah Malaysia. Tinggi Riam Merasap hanya sekitar 20 meter saja dengan lebar mencapai 8 meter. Banyak yang menyebut Riam Merasap sebagai Niagara di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Dinamakan Riam Merasap karena aliran air terjun yang jatuh menimbulkan percikan serta kabut yang terlihat seperti asap. Letaknya yang berada di tengah hutan tropis Kalimantan menjadikan tempat ini masih sangat alami dan terjaga kondisinya. Riam Merasap merupakan tempat yang sangat tepat didatangi bila sobat traveler sejati ingin mencari tempat yang hijau dan tenang.
Riam Batu Timah
Source: sungaibengkayang.blogspot.com
Source: sungaibengkayang.blogspot.com
Riam yang satu ini terletak sekitar 15 km dari pusat Kota Bengkayang menuju ke arah Lumar. Air yang mengalir deras di Riam Batu Timah ini berasal dari mata air yang berada di Gunung Bawang yang dahulu merupakan pusat dari salah satu kerajaan Dayak yang ada di Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia. Selain mengalir menuju Riam Batu Timah, air yang berasal dari Gunung Bawang tersebut dijadikan sebagai sumber mata air oleh PDAM Kabupaten Bengkayang menuju ke rumah warga. Riam Batu Timah hanyalah sebuah riam rendah yang bisasanya digunakan untuk bermain seluncur di atas aliran air. Selain bermain seluncur air, di Riam Batu Timah kita juga bisa menikmati keindahan alam yang masih hijau dan segar.

Riam Berawan

Source: sickperson.deviantart.com
Source: sickperson.deviantart.com
Riam Berawan terletak di Dusun Melayan, Desa Sahan, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Jaraknya sekitar 80 km dari pusat Kota Bengkayang. Riam Barawan mempunyai ketinggian sekitar 75 m dan merupakan salah satu riam tertinggi yang ada di Kabupaten Bengkayang. Riam Barawan bisa dijangkau dari Kota Bengkayang dengan menggunakan kendaraan roda dua atau empat selama kurang lebih 3 jam perjalanan. Setelah itu, perjalanan bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri hutan tropis Kalimantan yang masih hijau kurang lebih selama 30 menit.
Nah, pilih untuk mengunjungi riam yang mana dulu nih?
Salam traveler sejati!
(Source : Traveller )

Menikmati Pesona Bengkayang dari Bukit Jamur

Bengkayang adalah nama sebuah kabupaten yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Kabupaten Bengkayang berada di sisi utara Kalimantan Barat dan berbatasan langsung dengan wilayah negara bagian Sarawak, Malaysia. Nama Bengkayang diambil dari nama sebuah sungai yang mengalir di wilayah kabupaten ini. Kabupaten Bengkayang merupakan daerah yang dikelilingi oleh gunung, bukit dan lembah yang mempunyai pemandangan alam yang sangat mempesona. Salah satu tempat terbaik untuk melihat pesona alam Bengkayang adalah dari Bukit Jamur. Karena dari Bukit Jamur inilah kita bisa melihat pemandangan Kabupaten Bengkayang dari ketinggian.

bukit_jamur_3
Bukit Jamur oleh sebagian masyarakat Kabupaten Bengkayang disebut juga dengan nama Bukit Batu karena memang bukit ini terdiri dari hamparan batu yang cukup besar. Bukit Jamur terletak di Desa Belangko yang hanya berjarak sekitar 6 km dari pusat kota Kabupaten Bengkayang. Untuk mencapai desa ini hanya diperlukan waktu sekitar 15 menit dari pusat kota menggunakan kendaraan pribadi melalui jalan kecil desa yang kondisinya sudah cukup baik. Untuk mencapai puncaknya kita harus mendaki kurang lebih selama 2 jam melalui jalur kecil yang sudah dibuat oleh warga.
bukit_jamur_2
Perjalanan menuju puncak Bukit Jamur akan melewati hutan rimba dengan pepohonan yang masih sangat rindang dengan sumber air yang masih sangat melimpah dan udara yang sangat segar. Tidak perlu takut untuk kehabisan air, sebab kita bisa mengambil dan meminum air langsung dari sumber mata airnya yang sangat jernih. Hanya sedikit sinar matahari yang menembus ke dalam hutan tersebut karena rindangnya pohon. Selain itu kita juga akan melewati jalur dengan kemiringan hampir mencapai 85 derajat. Pemandangan lain yang bisa kita lihat sepanjang perjalanan adalah kolam-kolam bekas penambangan emas ilegal yang dilakukan oleh penduduk sekitar yang biasa disebut dengan dompeng.
Dua jam perjalanan yang cukup melelahkan ke puncak Bukit Jamur akan terbayar dengan pemandangan indah yang terlihat di depan mata. Kita bisa melihat seluruh pemandangan Kota Bengkayang yang dikelilingi oleh bukit dan lembah. Di atas Bukit Jamur ini kita juga bisa merasakan sensasi berada di atas awan.
Salam traveler sejati!

Pantai Gosong Sisi Gelap Yang Dikagumi

Letak yang dekat dengan muara sungai  menjadikan air laut di Pantai Gosong sangat keruh berwarna abu pekat, mungkin banyak orang yang tahu dengan pantai yang terletak di kecamatan Sungai Raya kepulauan kabupaten Bengkayang ini, namun mungkin hanya sedikit orang yang pernah menjambanginya. Kondisi air yang berlumpur menjadi satu alasan utama kenapa masyarakat enggan untuk berekreasi di pantai ini, karena kita tidak bisa menikmati air laut sambil berenang, kecuali kamu memang suka dengan air asin yang berlumpur.

Selain berlumpur, pantai ini juga dikenal sebagai pantai yang angker. Beberapa kejadian anehmemang pernah terjadi di pantai yang setiap tahunnya digunakan oleh banyak pelajar dan mahasiswa pencinta alam dari seluruh kawasan pesisir  kalimantan Barat dari Pontianak hingga Singkawang untuk proses pengakaderan mereka.

Pondok Penyalaian Kelapa (Lok: Pantai Gosong)
Nama Pantai Gosong sendiri diberikan kepada pantai di kaki Bukit Bunga karena kawasan ini pernah terbakar dan menyisakan hutan yang menjadi arang. Jika kamu menyempatkan untuk singgah ke pantai ini, kamu akan disuguhkan pemandangan yang  cukup indah. Kurangnya pengunjung ke pantai ini menjadikan kawasan Pantai Gosong relatif lebih bersih dari sampah-sampah plastik.

Tapak Dara (Lok: Pantai Gosong)

Walaupun tidak memungkinkan untuk berenang, kita dapat menyaksikan pemandangan pantai dan perkebunan kelapa yang luas dipantai ini.
Pohon-pohon kelapa yang tumbuh cukup rapat, pondok-pondok penyalaian kelapa, perahu-perahu nelayan setempat, serta rumah penduduk menghadirkan suasana perkampungan nelayan yang tenang.
Pantai ini dapat menjadi tujuan rekreasi bagi yang membutukan tempat yang tenang.

Ekspedisi 3 pulau; Randayan, Lemukutan, dan Kabung

Pesona Surga Bawah Laut Terindah di Kalbar
Eksotis. Itulah kesan yang tergambar dari tiga pulau yang ada di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang. Pulau Randayan, Pulau Lemukutan dan Pulau Kabung memiliki pesona yang luar biasa.


Catatan Perjalanan Efprizan Rzeznik, M Kusdharmadi
foto-foto: Defri Shando
      Untuk mereguk keindahan alam ketiga pulau tersebut tidaklah susah. Transportasi darat dan laut telah tersedia untuk menuju surga bawah laut tersebut. Dari Pontianak, rombongan yang terdiri atas para jurnalis Kota Pontianak yang tergabung dalam Forum Jurnalis Langkau, Sakawana serta Inhasa Diving Club, berangkat menggunakan bus. Perjalanan ditempuh selama 2,5 jam dengan rute Pontianak— Teluk Suak Bengkayang. Teluk Suak berada sekitar 115 kilometer dari Kota Pontianak, atau 32 kilometer dari Kota Singkawang.
Dari dermaga Teluk Suak, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan motor air. Angkutan penumpang tersebut tersedia sekitar pukul 9.00 sampai dengan 10.00 WIB. Untuk penumpang umum, biasanya dikenakan tarif sekitar Rp7.500—Rp10.00 per orang untuk sampai ke Pulau Kabung. Atau, untuk yang ingin berpergian dalam rombongan jumlah besar, bisa menyewa motor air yang disediakan oleh masyarakat setempat.
Alam siang itu cukup bersahabat. Matahari tidak begitu panas. Semilir angin laut, membuat mata seakan ingin terpejam. Dari daratan sudah tampak sebuah pulau yang berdiri menantang. “Itu pulau Penata,” kata salah seorang penambang motor air.
Pulau Randayan menjadi tujuan pertama rombongan. Akan tetapi, motor air berhenti sejenak di Pulau Lemukutan. Ini dilakukan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan sebelumnya. Kurang lebih 15 menit bersandar didermaga Pulau Lemukutan
Pulau Randayan mempunyai pantai dan warna air yang sangat jernih, cocok untuk olahraga menyelam. Tersedia villa-villa kecil menghadap ke laut.
Dari kejauhan tampak hamparan pasir putih membentang. Pohon-pohon kelapa tertiup angin kencang. Pulau ini mempunyai kelebihan akan alamnya yang memesona.
untuk penginapan, di Randayan tersedia cottage dengan harga bervariasi. Ada yang seharga Rp150 ribu permalam. Cukup untuk satu keluarga. Di dasar laut Pulau Randayan, terdapat banyak misteri kehidupan. Dari perilaku hidup terumbu-terumbu karang, hingga kisah-kisah makhluk hidup lainnya.
Mereka tumbuh dan berkembang biak secara alami dalam sebuah mata rantai kehidupan
 yang panjang. kondisi geografis pulau ini sangat layak dikunjungi. Letaknya sangat strategis. Aman serbuan ombak besar Laut Natuna.

Berdasarkan catatan yang ada, Pulau Randayan memiliki karang hidup sekitar 4,50 hektar, karang mati 3,69 hektare, lamun 0,63 hektar, dan pasir seluas 4,77 hektare. Kondisi itu sangat memungkinkan bagi siapa pun pehobi selam mengunjunginya.
Keindahan alam Randayan dimanfaatkan oleh salah seorang pelukis yang ikut serta dalam rombongan ini, Zul Ms. Ia mengabadikan keindahan tersebut dalam sebuah kanvas.
Surga Diving di Lemukutan
Pulau Lemukutan menjadi tujuan berikutnya. Pulau ini terbesar di Kabupaten Bengkayang dengan luas sekitar 7567 Ha, lebih luas dari Pulau Penata Besar dengan 4.675 Ha.
Pulau Lemukutan ini diapit oleh pulau-pulau kecil, seperti Randayan dan Kabung. Kabupaten Bengkayang memiliki 12 pulau kecil dengan kekayaan alam berlimpah-ruah. Baru lima dari 12 pulau, dihuni penduduk. Termasuk Pulau Lemukutan. Selebihnya, masih seonggok pulau tanpa penghuni.
Gugusan karang yang berwarna-warni akan semakin jelas terlihat saat menaiki perahu menuju Pulau Lemukutan. Bagan-bagan nelayan menyambut kedatangan. Kedalaman air di pulau ini antara dua hingga tiga meter sangat memudahkan bagi para penyelam pemula.

Di dasar laut kita dapat menikmati beraneka ragam tumbuhan laut yang berwarna warni, ikan-ikan tropis yang indah-indah dan beraneka ragam.
Tak banyak yang mengetahui asal mula sebutan Lemukutan, namun dari sekian banyak cerita rakyat yang ada, jika kita lihat dari topografi pulau ini memang menyerupai badan seekor lembu.
Kondisi hutan yang masih perawan, terjaga secara alami oleh masyarakat setempat, membuat pulau ini masih sangat alami.
Sepanjang perjalanan sebelum sampai di pulau Lemukutan, terlebih dahulu melewati gugusan pulau-pulau lain yang pemandangan bawah lautnyatidak kalah indah.
Air yang jernih, menyebabkan dasar laut dengan tumbuhan karang berwarna-warni, dapat dilihat langsung dari atas perahu. Bisa juga melihat rumput laut yang dibudidayakan masyarakat setempat.
Bermalam di Pulau ini sungguh mengasyikkan. Tidak seperti di Randayan yang menyediakan cottage, di pulau ini pengunjung dapat menginap di rumah penduduk yang memang disediakan khusus bagi para pengunjung. Rombongan menginap di rumah Arifin, warga sekitar. Pengunjung ddapat merasakan manisnya cumi dan ikan segar yang baru ditangkap nelayan.
Penyelam dari Inhasa Diving Club sangat mencintai pulau ini untuk aktifas mereka. Salah satu bagian laut di pulau ini berbentuk curam seperti jurang. Di sinilah keindahan alam bawah laut dapat ditemukan.
Kabung Surga Snorkling

Bermalam di Randayan, rombongan bertandang ke Pulau Kabung keesokan harinya. Di pulau inilah surga bagi para pengunjung untuk menikmati keindahan karang-karang aneka warna dan godaan ikan-ikan tropis.
Cukup dengan berbekal peralatan snorkle dan mengapung di air, Anda akan bertemu dengan alam lain yang begitu indah. Jam demi jam akan lewat begitu cepat dan tak terasa.
Ikan badut (clownfish), atau lebih populer dengan sebutan nemo (tokoh utama dalam film ‘Finding Nemo’) akan menyapa Anda. Jika berbekal roti tawar dan menyebarkannya di dalam air, maka ikan-ikan tersebut akan segera mendekati.
Sama seperti di Lemukutan, di pulau ini para pengunjung juga dapat bermalam di rumah penduduk yang telah disediakan. Seperti di homestay milik Ukas. Dengan merogoh kocek Rp100/malam, Anda akan dijamu sehabis-habisnya. Makanan yang lezat, ditambah dengan camilan yang selau datang silih berganti.

Di pulau ini para pengunjung juga dapat menikmati panorma pantainya yang indah. Dari homestay Ukas, untuk sampai ke pantai tersebut, pengunjung dapat berjalan kaki menyisiri bukit yang ditumbuhi pohon cengkeh sekitar 15 menit.
Perjalanan menuju ke pantai tersebut merupakan suatu pengalaman tersendiri. Harumnya bunga cengkeh menjadi seperti aroma terapi jiwa, bagi yang lelah dengan penatnya kehidupan kota dan polusi udara yang menyiksa. Di pantai tersebut terdapat batu-batu yang besar dengan pasir yang putih.
Wisata lainnya yang bisa didapatkan di Pulau Kabung atau Lemukutan yakni ikut mancing di bagan-bagan nelayan. Bagi pecinta fotografi, ketiga pulau tersbeut juga merupakan surga tersendiri untuk merekam keindahan ciptaan Tuhan melalui lensa.
Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah. Indahnya misteri-Mu, tak ada satupun kata yang terucap. Seperti sudah Engkau atur dalam masing-masing titik waktu. Hingga pada suatu saat menghantar ku ke tempat ini,” kata Shando Safella, fotografer koran ini mengagumi keindahan ketiga pulau tersebut. (**)

Sudahkah Anda Sholat !!!

Karimunting. Powered by Blogger.